Flamboyan Kembali Berbunga: Proses Kreatif Saya Mengarang Novel Perdana

Ide. Ilham. Bagi pengarang kreatif, dari mana pun, bisa datang. Entah secara spontan tiba-tiba saja. Entah ilham itu dijala, dengan membaca. Dan berdiskusi.

Demikianlah kali ini saya ingin berbagi cerita. Tentang proses kreatif bagaimana novel perdana saya ini, lahir, dan diterbitkan. Sederhana saja, sebenarnya!

Baca Buku Ter- sepanjang Karier sebagai Penulis

Namun, dari yang sederhana itu, telor yang pertama pecah itu, kemudian beranak-pinak. Menjadi berlaksa-laksa banyaknya.

Proses kreatif mengarang novel perdana

Pada tahun 1987.

Di masa kuliah tingkat I di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi “Widya Sasana” Jl. Terusan Rajabasa, Malang, Jawa Timur.

Flamboyan sedang berbunga, dan gejala alam biasa, dapat jadi sumber inspirasi mengarang dan melahirkan novel. Sekadar : bilang gitu aja kok!

Saya pada ketika itu seorang mahasiswa merangkai kisah indah dari peristiwa kecil dan keseharian yang diindera dan dialaminya.

Bulan Desember. Dan bulan lain, yang berujung: r. Biasanya musim flamboyan berbunga. Kembang yang senantiasa menyukakan mata. Memancarkan pesona tiada tara.  Menggerakkan palung hati teralam. Merangsang sang penulis untuk mengangkat pena.

Betapa merah menyala dari aura bunga Desember itu bisa mengilhami lahirnya novel yang diberi judul Flamboyan Kembali Berbunga.

Mana sambungannya?

Proses kreatif menulis novel ini terjadi selama tiga bulan. Di sela-sela kesibukan kuliah. Sang penulis menumpahkan ide-ide dan inspirasinya ke dalam kertas, seringkali di sela-sela waktu mendengarkan kuliah atau saat bosan mendengarkan “ajaran” dari dosen.

Baca Clear Thinking & Clear Writing

“Mana sambungannya?” menjadi pertanyaan yang tak terelakkan dan sering kali dijawab dengan senyuman dan janji bahwa cerita sedang ‘menggelinding’ di dalam kepala penulis. Proses kreatif menulis di antara mata kuliah dan tugas akademis lainnya menjadi keunikan tersendiri, menciptakan suasana yang lebih hidup dan penuh inspirasi.

Pertanyaan-pertanyaan dari teman-teman sekelas, seperti: Gregory Sabinus, Andi, Ipong, Nico, Egi, dan sesekali Agus, tentang kelanjutan novel yang ditulis di sela-sela kuliah, menjadi semacam “andrenalin” bagi saya. Untuk semakin mengembangkan dan kian berhekendak kuat menuntaskan : sebuah novel saja. Sekaligus, menebalkan pe-de. Dan penanda kepopuleran cerita bersambung tersebut.

Setiap kali kuliah belum dimulai, suasana kelas dipenuhi dengan rasa penasaran, dan mereka tidak sabar ingin tahu kelanjutan kisah yang telah dimulai.

Tidak jarang, cerita juga terus berkembang ketika dosen mengajar dan menyampaikan materi. Diktat yang menjadi materi pembelajaran ternyata menjadi ‘teman’ yang membantu proses kreatif. Pemanfaatan waktu yang ada, tanpa meninggalkan tanggung jawab sebagai mahasiswa, menunjukkan semangat dan dedikasi penulis terhadap karyanya.

Ternyata, oh ternyata… inilah multitasking itu!

Sementara menulis, penulis juga berani mengajukan pertanyaan pada dosen, menciptakan sebuah kesempatan untuk berdiskusi dan memperoleh wawasan tambahan. Mungkin, pada awalnya, hal ini terlihat seperti cara untuk mengalihkan perhatian dari kuliah. Tetapi kemudian disadari bahwa kemampuan melakukan lebih dari satu pekerjaan pada waktu yang sama adalah sebuah keterampilan bernama “multitasking.”

Dengan cara unik ini, novel Flamboyan Kembali Berbunga tidak hanya menjadi hasil kreativitas semata, tetapi juga mencerminkan semangat multitasking yang dimiliki penulisnya.

Proses menulis yang terjadi di sela-sela kegiatan lainnya, seperti mendengarkan kuliah dan berinteraksi dengan teman-teman sekelas, membawa nuansa kehangatan dan keceriaan ke dalam perjalanan cerita.

Ini bukan hanya kisah fiksi, tetapi juga kisah perjalanan kreatif sang penulis dalam mengekspresikan pemikirannya.

Untuk memastikan naskah novelnya rapi dan terbaca dengan baik, sang penulis meminta bantuan seorang kakak tingkat yang baik hati, Teguh Purwono. Teguh, yang terkenal dengan kecepatan mengetiknya, dengan senang hati membantu mengetikkan naskah tersebut. Dengan ketelitian dan keahliannya, hasilnya adalah sebuah naskah yang rapi dan siap untuk dipresentasikan.

Baca Creative Writing: Bukan Sekadar Tulisan Biasa

Ilustrasi cover novel ini menjadi titik puncak lain dari proses kreatif. Ipong Purnama Sidhi, seorang kawan sekelas, melukis ilustrasi klasik yang memberikan identitas visual unik pada novel tersebut. Ilustrasi ini tidak hanya menarik perhatian pembaca potensial, tetapi juga menjadi bagian integral dari karya seni secara keseluruhan.

Jawa Pos dan Basuki Soedjatmiko berjasa membuka kepengarangan saya

Naskah yang sudah jadi, bersama dengan ilustrasi, dikirimkan ke Redaksi harian Jawa Pos, salah satu surat kabar ternama di Indonesia. Di mana, pada ketika itu, Dahlan Iskan mulai muncul sebagai tokoh protgonis.

Di balik keunggulan sumber daya di Jawa Pos, yang diam, seperti: Nani Wijaya dan Basuki Soejatmiko; yang saya kenal baik. Mereka sangat dedikasi dalam berkarya. Dan auh dai sekadar mumpuni di bidang jurnalistik dan media.

Beruntung, naskah ini diterima oleh Redaktur Senior Jawa Pos, Basuki Soejatmiko, dan diputuskan untuk dimuat bersambung. Saya sering dari Malang, naik bus, ke Surabaya. Waktu itu, kantor pusat Jawa Pos berada di kompleks Jalan Kembang Jepun. Agaknya, para editor Jawa Pos senang saya datangi. Sembari bertanya proses kreatif mengarang. Dan meminta saya untuk terus berkontribusi, menulis, di koran yang kemudian menjadi cikal bakal kelompok percetakan salah satu yang terbesar di bumi Pancasila.

Dan memang di Jawa Pos. Selain mengirimkan cerita bersambung setelah yang perdana, saya masih mengirimkan artikel opini, resensi, dan cerber yang kedua dan juga dimuat berjudul Tetes Cinta yang Tercecer.

Saya berterima kasih kepada Jawa Pos. Terutama redaktur seniornya, Basuki Soejatmiko, yang piawai memoles. Selain, menurut saya, membimbing dan mengantar seorang pengarang untuk pede. Sudah tentu, memberi motivasi untuk berkanjang pada bidang, dan senantiasa bertanya, “Apa lagi setelah ini?”

Basuki Soejatmiko di kemudian hari menjadi rekan sesama Redaktur di sebuah buletin (majalah) sosial ekonomi cukup ternama waktu itu yang terbit di Surabaya, Busos (Buletin Sosial). Kami sering bertemu dan berdiskusi. Saya tak pernah bisa melupakan jasa Basuki Soejatmiko dalam proses saya sebagai seorang pengarang-penulis. Selain memberikan kesempatan.

Semangat invictus mulai membara

Setiap hari, cerita saya dimuat secara bersambung di koran terkemuka di Jawa ketika itu. Seingat saya, dimuat 37 kali. Jadi, lebih dari sebulan ditayangkan cerita saya itu di seluruh tanah Jawa.

Betapa bangganya saya ketika itu. Lebih dari sekadar menulis dan memuat cerita di koran terbesar Jawa.Tapi juga “dendam” sejarah saya, sebagai warga Varuna-dvipa, Tanjungpura, yang menjadi salah satu wilayah feudatori imperium Majapahit, saya “balaskan”. Bukan dengan menaklukkan (huwus) seperti era Mahapatih Gadjah Mada dan Prabu Hayam Wuruk, melainkan dengan: literasi!

Semangat invictus ini, yang kemudian mengobarkan saya untuk berkanjang dengan dunia: literasi. Hingga pada ketika ini. Inilah yang kemudian hari. Setelah kuliah dan mendapat kuliah Psikologi Sosial. Saya mafhum sebagai: the need for achievement (N-Ach) dalam teori psikologi sosial MCClland.

Seperti diketahui. “Need for Achievement” (N-Ach), yang merujuk pada dorongan atau kebutuhan seseorang untuk meraih prestasi dan sukses dalam tugas-tugas tertentu. N-Ach adalah salah satu dari tiga kebutuhan psikologis dasar yang diusulkan oleh David McClelland, bersama dengan “Need for Power” (N-Pow) dan “Need for Affiliation” (N-Affil).

Kembali ke cerbung, seklaigus novel perdana yang dimuat koran terbesar Jawa ketika itu.

Saya membeli Jawa Pos, setiap hari. Lalu menggunting bagian rubrik Cerita Bersambung. Dan mengkliping cerbung itu. Yang terarsip baik hingga kini. Tanpa terasa telah 36 tahun berlalu.

Ketika cerita melintasi halaman-halaman surat kabar, sang penulis meraih penghargaan berupa honor yang signifikan, 2 wesel pos. Masing-masing senilai rp 175.000.

Potongan wesel pos dari JawaPos untuk honor cerber ini, –resi– masih saya simpan hingga sekarang. Sebagai pertinggal bernilai sejarah.

Penerbit Nusa Indah di Ende membukukan

Dengan semangat yang bertambah, novel ini kemudian diusulkan kepada penerbit Nusa Indah Flores, salah satu penerbit tertua di Nusantara.

Kisah tentang “Flamboyan Kembali Berbunga” tidak hanya menceritakan petualangan tokoh-tokohnya, tetapi juga mencerminkan perjuangan kreatif sang penulis. Dalam prosesnya, ia menemukan bahwa keindahan bisa lahir dari kehidupan sehari-hari dan kisah sederhana, seperti pesonanya bulan Desember saat flamboyan kembali berbunga.

Kenangan dan peristiwa di balik cerita: sastra kontekstual

Pengakuan dari para pembaca yang menyatakan bahwa cerita saya terasa begitu akrab dan relevan dengan pengalaman mereka adalah indikasi kuat. Bahwa pengarang berhasil menyentuh hati dan merangkul kehidupan sehari-hari melalui tulisan saya.

Konsep sastra kontekstual yang saya sebutkan menunjukkan bahwa kisah saya bukan hanya sekadar karya fiksi, melainkan juga menjadi cermin pengalaman bersama umat manusia.

Dalam sastra kontekstual, saya mengaitkan karya saya dengan konteks budaya, sosial, dan personal. Pengalaman pribadi yang saya integrasikan ke dalam cerita memberikan kedalaman dan keaslian yang memungkinkan pembaca merasa terhubung secara emosional.

Hiroshima : Contoh Literary Journalism Terbaik yang Pernah Ada

Sastra semacam ini tidak hanya menghibur tetapi juga mengajak pembaca merenung, merasakan, dan memahami kehidupan dengan cara yang lebih mendalam.

Betapa bangganya saya ketika itu. Lebih dari sekadar menulis dan memuat cerita di koran terbesar Jawa.Tapi juga “dendam” sejarah saya, sebagai warga Varuna-dvipa, Tanjungpura, yang menjadi salah satu wilayah feudatori imperium Majapahit, saya “balaskan”. Bukan dengan menaklukkan (huwus) seperti era Mahapatih Gadjah Mada dan Prabu Hayam Wuruk, melainkan dengan: literasi!

Semangat invictus ini, yang kemudian mengobarkan saaya untuk berkanjang dengan dunia: literasi. Hingga pda ketika ini.

Pengalaman personal saya menjadi jembatan untuk memahami perjalanan manusia secara universal. Ketika pembaca merasakan keakraban dalam cerita saya, ini menunjukkan bahwa saya telah berhasil menyampaikan makna yang bersifat universal, menciptakan ikatan yang lebih kuat antara pembaca dan karya saya.

Terus mengeksplorasi sastra kontekstual ini dan merangkul keunikannya. Dalam setiap kata yang saya tulis, terdapat potensi untuk menciptakan pengalaman yang menyentuh dan memberi makna bagi pembaca saya.

Korrie Layun Rampan: mengamati dan mencatat

Pengakuan dari Korrie Layun Rampan, seorang kritikus dan pengarang Indonesia yang berpengaruh, memberikan nuansa istimewa pada perjalanan sastra siap saja, termasuk saya.

Kehadiran lelaki Dayak Benuaq itu sebagai Direktur majalah nasional, Sarinah, memperkuat sekaligus mencatat keberadaan siapa saja, yang berkualias dan subur karyanya dalam dunia sastra Indonesia.

Korrie Layun Rampan, yang membidangi fiksi dan memiliki kepekaan terhadap karya-karya sastra Indonesia (sering disebut penerus HB Jassin sebagai kritikus sastra terkemuka) menemukan nilai yang istimewa dalam karya perdana siapa saja –termasuk saya–  yang kemudian dibukukan.

Novel perdana sebagai “batu penjuru”

Penempatan Flamboyan Kembal Berbunga sebagai “batu penjuru” dalam senarai “Sastrawan Angkatan 2.000 dalam Sastra Indonesia” menunjukkan pengakuan dan apresiasi atas kontribusi kreatif karya literasi saya.

Baca https://id.wikipedia.org/wiki/Sastrawan_Dayak

Kemudian hari, saya baru mafhum. Bahwa novel perdana sangat penting sebagai “batu penjuru” yang meletakkan dasar karier kepengarangan seseorang di masa yang akan datang. Saya pernah menulis, “Hati-hati dengan novel perdana”, mungkin baik jika dimuat dalam narasi tersendiri nanti.

Fakta bahwa profil singkat dan karya saya tercatat dalam Leksikon Susastra Indonesia (2000: 390) menambahkan dimensi penting pada kehadiran Anda dalam jagad sastra. Ini bukan hanya sebuah pencapaian, tetapi juga menjadi jejak sejarah yang menghubungkan Anda dengan pantheon sastra Indonesia.

Baca Epistolary Novel: Cara Mudah Menulis Novel

Penting untuk diakui bahwa, kadang-kadang, kita sendiri tidak menyadari betapa pentingnya kontribusi kita dalam dunia sastra. Jangankan bermimpi. Firasat pun tidak! Akan disenaraikan suatu ketika kelak di kemudian hari. Dan dicatat dalam tonggak sastra Indonesia.

Dari sini saya berpikir: Berkarya, ya berkarya saja! Seperti matahari. Entah menyinari, dan menghangatkan orang, kita tetap bersinar. Memberi yang terbaik. Biarlah orang mengapresiasi. Dari kita sendiri, bukanlah apresiasi itu tujuannya. Melainkan berkarya. Dan membuat yang terbaik, di vak kita.

Melihat diri sendiri tercatat sedemikian penting dalam jagad sastra Indonesia, sesuai dengan “Sastrawan Angkatan 2.000,” adalah suatu kehormatan yang patut diapresiasi.

Sampai akhir nanti. Saya akan tetap berkanjang. Terus mengeksplorasi. Dan berkontribusi pada dunia sastra dengan semangat muda, yang kreatif . *)

Share your love
Avatar photo
Masri Sareb Putra
Articles: 731

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply