Gutenberg| Terima Kasih atas Jasa Besarmu!

“Gutenberg made everyone a reader,” kata McLuhan.

Ucapan pakar media itu benar. Tanpa pria berjenggot lebat-panjang kelahiran 1395 di Mainz, Jerman, kita tidak pernah seliterasi saat ini. Tidak pernah ada buku berbobot yang memintarkan kita.

Gutenberg dan buku pertama di dunia yang dicetak secara massal.

Lupa kacang pada kulitnya. Kita tentu sering mendengar ungkapan itu, melukiskan orang lupa asal usul sesuatu. Sengaja atau tidak, kita kerap lupa asal usul, meski ihwal yang paling sederhana sekalipun. Contoh, pernahkah kita berterima kasih kepada ibu karena ia telah melahirkan kita? Pernahkah kita bersyukur kepadanya, karena ibulah pertama kali mengajari kita bagaimana memakai celana yang benar?

Pasti tidak setiap orang melakukannya! Atau, pernahkah kita berterima kasih kepada guru TK (atau guru SD) yang pertama kali mengajari kita bisa membaca dan menulis? Mungkin sedikit sekali. Yang paling banyak, berterima kasih dalam hati.

Demikian pula, pernahkah kita sekadar mengingat nama Johannes Gutenberg, penemu mesin cetak pertama? Dialah yang memintarkan miliaran manusia sejagad, dengan penemuannya yang brilian. Kalau tak ada Gutenberg, niscaya ilmu pengetahuan dan peradaban tak dapat didokumentasikan dalam buku, sehingga dapat diturunkan dari generasi ke generasi.

Setiap hari kita membaca dan memegang buku. Di rumah, di sekolah, atau ketika sedang menunggu. Namun, pernahkah kita ingat sang penemu? Mungkin tidak! Padahal, hampir seluruh kehidupan kita dipengaruhi buku.

Buku yang kita kenal sekarang, merupakan sebuah proses penemuan panjang dan sangat berbelit. Buku tidak lahir begitu saja. Jauh hari sebelum Gutenberg,  sebenarnya sudah ada upaya, persiapan, dan naluri manusia untuk mengarah ke cetak-mencetak buku.

Mula-mula manusia berhasil berkomunikasi dengan suara atau bunyi. Lalu sederhana itu meningkat menjadi komunikasi tertulis. Setelah mengenal dunia sekitar dan dapat menggambar benda-benda, manusia mulai menciptakan komunikasi lewat gambar untuk “menuliskan” dan menyampaikan sesuatu, terutama pokok pikirannya. Bahasa tulis melalui gambar ini disebut juga dengan “piktograf” (dari kata picture = gambar dan grafein = tulisan).

Kurang lebih 6.000 tahun silam, di zaman Babilonia dan Ninive (wilayah Irak sekarang), di Asia Kecil sebenarnya sudah dikenal semacam buku –walaupun bentuknya masih sangat sederhana.

Buku tersebut dibuat dari tanah lempung (tanah liat) yang dipanggang seperti halnya batu bata. Para ahli menemukan di Ninive 25.000 lempeng tanah liat berbentuk segi empat yang telah dikeringkan. Setiap lempeng berisi susunan garis-garis berupa paku, karena itu disebut juga sebagai “tulisan paku”.

Jika manusia penghuni tepi sungai Eufrat membuat buku dari lempung, maka manusia yang bermukim di sepanjang sungai Nil jauh lebih maju peradabannya. Hal ini terbukti dari peninggalan kebudayaan material mereka. Mereka membuat buku sudah menggunakan papyrus yang tumbuh subur dan liar di sepanjang pesisir Laut Tengah. Bahkan, tumbuh-tumbuhan ini juga dengan mudah dapat ditemui di kiri dan kanan tepi Sungai Nil.

Manusia penghuni tepi Sungai Eufrat (Mesir) membuat buku diawali dengan memetik daun-daun papyrus, kemudian di permukaan daun itu diukir dengan huruf-huruf hieroglyp. Hieroglyp kemudian berkembang menjadi ideograph, yakni lambang yang mempunyai makna tertentu berupa huruf kanji yang sekarang ini masih diteruskan  oleh bangsa Cina dan Jepang.

Tanpa adanya jasa Gutenberg, kita tidak tahu seperti apakah perkembangan teknologi percetakan dan output-nya. Dan hingga kini pun, yang disebut “abad digital”, omset penjualan di Indonesia, tetap masih didominasi buku analog (cetak).

Tulisan dalam daun papyrus jika sudah penuh satu daun, maka disambung dengan daun yang lain. Lama-kelamaan jadi panjang, bahkan hingga bermeter-meter. Itu sebabnya, Kitab Taurat (Torah) disebut Pentateukh, atau Lima Gulungan, karena kitab itu memang terdiri atas lima gulungan panjang. Kitab gulungan  terpanjang dalam sejarah sepanjang 7,5 meter.

Di tempat terpisah. Orang Romawi menulis buku juga dengan gulungan. Namun, bahan yang mereka gunakan bukan dari daun papyrus, melainkan dari bahan kulit domba atau kulit kambing yang disebut dnegan vellum.

Materi kulit binatang ini ternyata cukup awet dan mudah untuk disimpan. Berabad-abad lamanya manusia menggunakan daun papyrus dan vellum untuk media tulis-menulis. Sampai kemudian mesin cetak ditemukan, baru orang meninggalkannya dan beralih menggunakan bahan baku kertas untuk buku.

Sementara itu, di India dan Indonesia yang ditumbuhi pohon palma, orang menulis menggunakan bahan dari daun lontar.

Di Cina. Tsai Lun yang hidup sekitar tahun 105M, telah melakukan eksperimen untuk membuat kertas. Ia menumbuk-numbuk beberapa jenis materi sejenis hennep, yang diadon dengan air, lalu dimasukkan ke dalam cetakan, lantas dijemur. Setelah kering, jadilah kertas. Dengan perantaraan tawanan-tawanan perang Cina, penemuan Tsai Lun lantas meluas sampai ke Arab, Mesir, Afrika Utara, dan kemudian Eropa. Para pakar memandang apa yang dirintis Tsai Lun merupakan cikal bakal jenis bahan baku cetak-tulis modern yang disebut kertas.

Waktu terus bergulir, manusia semakin maju pemikiran dan peradabannya. Di tahun 1041, Pi Seng, seorang warga Cina, menemukan alat cetak sederhana.

Akan tetapi, orang lebih mengenal apa yang dilakukan oleh Johannes Gutenberg, seorang  Jerman dari kawasan Mainz, sebagai “penemu” teknologi cetak yang pertama. Dari tangannyalah lahir  Septuaginta, kitab Latin pertama yang kemudian populer disebut sebagai “Injil Gutenberg”. Kitab ini disebut juga sebagai “Injil 42 Baris” karena setiap halamannya terdiri atas 42 baris.

Injil Gutenberg rampung pengerjaannya pada 15 Agustus 1456, dengan jumlah cetakan 200 eksemplar. Sebagian dicetak di atas kertas, dan sebagian lagi dicetak dalam vellum. Ukuran (format) buku 12 x 16, 5 inch. Konon, sekarang buku itu hanya tersisa 40 buah saja. Barang berharga dan bersejarah itu 14 buah berada di Amerika Serikat.

Boleh dikatakan, revolusi di dunia produksi media cetak dimulai ketika Gutenberg pada tahun 1456 menemukan mesin cetak sederhana. Meskipun sederhana, mesin cetak itu dapat memproduksi secara massal beberapa kitab (produk).

Penemuan Gutenberg merupakan titik awal yang menjadi inspirasi bagi penemuan-penemuan mesin cetak selanjutnya yang semakin hari semakin canggih. Sejak itu, teknologi percetakan semakin berkembang sehingga memicu perkembangan produksi media cetak seperti buku, majalah, surat kabar, serta berbagai terbitan berkala maupun tidak berkala lainnya.

Tanpa adanya jasa Gutenberg, kita tidak tahu seperti apakah perkembangan teknologi percetakan dan output-nya.

Share your love
Avatar photo
Masri Sareb Putra
Articles: 731

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply