Ulasan Sepakbola Sindhunata

Sindhunata.
Kenal betul, tidak. Pernah bertemu saja. Di Batu, Malang, Jawa Timur tanah kelahirannya. Akrab saya sebenarnya dengan Dwianto Setyawan, sang abang, yang sama-sama penulis.

Tapi saya mafhum, Sindhunata senior saya di Kompas-Gramedia. Saya banyak tahu kisahnya menimba ilmu menulis di Kompas. Anak mas pak Jakob. “Menulis itu kayak Sindhu!” begitu kata pendiri Kompas, berkali-kali.Terutama kepada para junior wartawan Kompas.

Saya juga tahu Sindhu lewat kisahan sesama karyawan, semisal dari Arbain Rambey, St. Sularto, dan Parakitri. Sang “Anak ajaib” Kompas yang mungkin tak ditemukan lagi.

Tapi sepakbola adalah topik saya. Berbeda dengan Yesayas Oktovianus, yang saya kenal betul dan pernah menjadi lawan main Tim Kompas lawan Tim kami, Penerbitan. Di mana kami pernah dicukur habis tim Kompas.

Kadangkala membacanya, lebih nikmat daripada menonton langsung. Sebab imaginasi yang bermain liar. Melintas kata-kata ulasan Sindhu.

Sindhunata tak pernah saya saksikan mahir menggoreng si kulit bundar. Tak prnah saya dengar seorang pastor Jesuit, Doktor filsafat lulusan Jerman, bermain bola. Tapi pengarang Anak Bajang Menggiring Angin ini, mahir mengolah, dan mengulas sepakbola.

Maka tiap kali piala dunia, yang dicari dari Kompas bukan beritanya. Tapi seperti judul narasi ini.

Saya pun. Pagi ini, di Pontianak. Membeli koran Kompas bukan untuk membaca beritanya.

Tapi saya membeli Kompas untuk membaca –dan menikmati– ulasan sepakbolanya Sindhunata.

Membacanya, lebih nikmat daripada menonton langsung. Mengapa?

Sebab imaginasi yang bermain liar. Melintas kata-kata ulasan Sindhu.

Itulah kelebihan teks, tulisan: Memainkan imaginasi.

Ia, narasi tanpa gambar itu, adalah the theater of mind!

Kata dan kalimat. Begitulah cara kerjanya.

Share your love
Avatar photo
Masri Sareb Putra
Articles: 731

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply