Sumber: Hidupkatolik.com
Ibu Pertiwi sedang bersuka cita menyambut kehadiran Paus Fransiskus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik. Kehadiran sosok paus yang rendah hati dan bersahaja ini tentu akan menjadi momen bersejarah bagi bangsa Indonesia.
Kedatangan Bapa Suci tentu bukan hanya untuk umat Katolik di Indonesia, melainkan untuk seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, kehadiran beliau sudah selayaknya menjadi suka cita seluruh anak bangsa. Kedatangan Bapa Suci ke tanah air adalah anugerah bukan hanya untuk umat Katolik di Indonesia, melainkan untuk seluruh rakyat Indonesia.
Baca Bermimpi bersama Paus Fransiskus untuk Tata Dunia yang Semakin Baik
Kedatangan Bapa Suci memang merupakan anugerah terindah bagi bangsa Indonesia. Akan tetapi, tidak cukup rasanya bila kita melihatnya hanya sebatas anugerah. Anugerah itu sekaligus juga adalah tugas perutusan. Pertanyaannya, apa tugas perutusan yang Paus Fransiskus kehendaki untuk kita laksanakan bersama? Tugas itu ialah apa yang selalu dan tak pernah lelah beliau serukan: hidup bersama dalam kasih dan damai, dalam persaudaraan dan solidaritas, menghormati perbedaan, saling mendukung dan peduli satu sama lain.
Dari semua tugas itu, hidup saling peduli kiranya relevan untuk kita angkat sebagai bahan permenungan kita bersama dalam menjalani hidup berbangsa dan bernegara. Masih maraknya kasus korupsi, ada pejabat dan keluarganya yang bergaya hidup mewah (flexing) sementara masih banyak rakyat yang menderita kelaparan, adalah contoh lain yang menjadikan tema itu relevan bagi hidup bersama kita.
Hidup Peduli dengan Orang Lain adalah Kodrat kita sebagai Manusia
Mengapa kita hidup harus peduli dengan orang lain? Karena memang itulah yang menjadi jati diri kita sebagai manusia. Dari Kitab Kejadian kita mengetahui bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Dan manusia tidak diciptakan seorang diri. Allah menciptakan mereka laki-laki dan perempuan (Kej 1:27).
Konsili Vatikan II dalam dokumen Gaudium et Spes mengajarkan bahwa dengan diciptakannya manusia, laki-laki dan perempuan, hendak menandaskan bahwa dari kodratnya yang terdalam, manusia bersifat sosial; dan ia tidak dapat hidup tanpa berhubungan dengan sesama (Gaudium et Spes, 12). Hidup dalam hubungan dengan orang lain menuntut sikap hidup yang terbuka bagi kebutuhan dan penderitaan sesama. Sebab, manusia tidak dapat menemukan diri sepenuhnya tanpa dengan sepenuh hati memberikan dirinya (Gaudium et Spes, 24).
Kerelaan untuk hidup bagi orang lain mengalir dari iman kita kepada Allah yang telah menciptakan manusia, alam semesta beserta dengan isinya. Hal ini ditegaskan oleh Paus Fransiskus dan Sheikh Ahmed el-Tayeb, Imam Besar Al-Azhar, dalam dokumen yang dikenal dengan Dokumen Abu Dhabi.
Di dalam pendahuluan dari dokumen itu dikatakan bahwa melalui iman kepada Allah Pencipta, orang beriman dipanggil untuk mengungkapkan persaudaraan dengan melindungi ciptaan dan seluruh alam semesta serta mendukung semua orang, terutama mereka yang paling miskin dan yang paling membutuhkan.
Teladan Paus Fransiskus: Menjadi Pemimpin itu Peduli dan Melayani Sesama
Paus Fransiskus adalah pemimpin tertinggi Gereja Katolik. Kita barangkali akan membayangkan kalau Bapa Suci hidup dalam segala kemewahan dengan menduduki jabatan tersebut. Namun bila kita melihat lebih dekat keseharian hidup beliau, apa yang kita bayangkan itu akan segera runtuh. Paus Fransiskus adalah pribadi yang sederhana. Dengan menolak untuk tinggal di istana kepausan adalah salah satu contoh nyata kalau beliau sungguh hidup dalam kesederhanaan.
Baca John Paul II: Portrait of a Pontiff
Dengan kesederhanaannya itu, Paus Fransiskus menghayati dengan sungguh sabda Tuhan ini: “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu” (Mat 20:26-27).
Teladan hidup Paus Fransiskus ini menghantar kita pada poin penting lain dari refleksi kita atas kehadiran beliau di tanah air. Poin tersebut ialah soal bagaimana semestinya kekuasaan itu dijalankan. Paus Fransiskus sungguh menyadari bahwa jabatan yang ia emban sungguh berasal dari Tuhan sendiri. Jabatannya itu adalah anugerah dan bagi beliau sekaligus adalah tugas perutusan. Perutusan terutama dalam memajukan perdamaian, pelestarian lingkungan hidup dan memanusiakan sesama khususnya mereka yang kecil dan tersingkir.
Para pejabat dan abdi negara sudah sepatutnya meneladan hidup dan gaya kepemimpinan Paus Fransiskus. Pangkat, jabatan dan kedudukan itu asalnya dari Tuhan sendiri. Dari sebab itu gunakanlah dengan sebaik-baiknya untuk peduli dan melayani kebaikan bersama, bukan malah digunakan hanya untuk memenuhi kepentingan diri, kelompok dan keluarga sendiri.
Pesan dari Paus Fransiskus dan Imam Besar Sheikh Ahmed el-Tayeb dalam dokumen Abu Dhabi kiranya baik untuk kita renungkan bersama bahwa, pangkal terjadinya penderitaan, bencana dan malapetaka ialah ketidakpekaan hati nurani manusia, penjauhan dari nilai-nilai agama dan individualisme.