Tidak tahu bagi Anda.
Bagi saya, Latin bukan sekadar bahasa. Ia juga adalah logika.
Karena itu, belajar bahasa Latin, pertama-tama, kita perlu “meluruskan logika” dulu. Setidaknya, logika bahasa Latin itu sendiri. Sebagai induk bahasa-bahasa Eropa, meski dalam banyak hal, sama tapi tak serupa dengan bahasa Yunani.
Pada narasi yang berikutnya, yang lebih dalam, akan dibahas elemen bahasa Latin. Jika perlu, hingga sintaksis, poesis, hingga kepada retorikanya.
Kembali ke laptop, seperti judul narasi.
Saya merasa beruntung memiliki kamus langka. Sekaligus berharga ini. Saya haykul yakin. Orang yang mengantonginya, saat ini, amat sangat beruntung. Mengapa demikian? Sebab banyak sekali manfaatnya. Misal saja, dengan hanya sepatah kata (Latin), dapat menjadi satu artikel, bahkan buku.
Saya adalah kolektor buku-buku langka. Istlah keyennya: bibliofili. Koleksi buku saya, sejak 1994, “baru” 4.000 judul buku.
Dari sisi etimologi, seperti “media-morfosis” misalnya, Fidler bisa membuat sebuah buku yang fenomenal (1997).
Tahun 1994 ketika saya dinas luar kota ke Jogjakarta. Joko Pinurbo, sang penyair genre funny poem kita yang terkenal itu, Kepala Cabang PT Grasindo Jogja ketika itu mengantar saya ke kantor langsung Penerbit kamus itu.
Waktu itulah saya membeli kamus Latin-Indonesia bertahun terbit 1969 ini.
Di perpustakaan pribadi, buku ini salah satu yang ditandai “Hanya boleh baca di tempat”. Saking takutnya saya apabila ada yang meminjam, tapi tidak mengembalikan buku langka ini. Sangat berguna. Karena itu, yang memilikinya, menjadi sangat eksklusif. Namun, sebersit sebuah tanya. Sebagaimana judul narasi itu. Mengapa ya? Ya, mengapa tidak dicetak lagi?
Untuk diketahui. Saya adalah kolektor buku-buku langka. Istlah keyennya: bibliofili. Koleksi buku saya, sejak 1994, “baru” 4.000 judul buku.
Lain kali saya bercerita, bagaimana saya memburu buku-buku langka hingga Palasari, Bandung. Senen dan Kuningan di Jakarta.