Karena Sophisticated Setitik Rusak Puisi Sekuda Nil

Suatu hari saya lagi makan di warteg, lalu teman saya datang, duduk di samping, dan bilang, “Kamu itu kecil-kecil kuda nil.” Tidaklah saya tersinggung karena itu metafora yang baik—memang cara saya makan tak mudah dia jelaskan selain dengan kata “kuda nil”. Saya hanya tersinggung oleh orang yang miskin metafora.

Anda bisa bayangkan bagaimana kuda nil makan, bukan? Mulutnya terbuka lebar dan semua yang bisa masuk mulut—wortel peot, timun kejemur, kacang panjang berlubang-lubang, ubi jalar belum dicuci, rumput liar, eceng gondok, pisang entah, tomat entah, kangkung sawah, akan dikunyah-telan bersamaan. Itu kuda nil miskin. Kuda nil sejahtera tentu makan paprika, asparagus putih—yang biasa ditaruh agak tersembunyi di hotel-hotel bintang lima, jamur matsutake, selada merah, kentang la bonnotte, juga kacang polong Spanyol semulut penuh.

Mereka yang tumpul metafora—dan bisa menyinggung saya—akan bilang “Kamu rakus amat sih makannya!” Kata “rakus” adalah produk orang kebanyakan nan kehabisan ide meskipun makannya sering di restoran bintang lima.

Dan dalam puisi kita jarang temukan metafora kuda nil, gajah nil, apalagi semut nil. Itu artinya para penyair juga sering pikirnya ikut-ikut seumumnya bangsa mereka. Terlalu memelihara spirit sejenis arketipe. Biasanya puisi itu berisi kata-kata macam “hari-harimu yang patah”—saya baca entah di puisi Jerman yang mana dulu (mungkin salah satu karya Bertolt Brecht) tapi temukan lagi dalam puisi Indonesia “Memorandum” Willy Fahmi Agiska.

Badut itu
masih duduk di atas kursi
yang dirakit dari hari-harimu
yang patah.

Tapi jangan gara-gara nila sebaris tersebut lantas kita pikir Willy juga terhitung penyair malas bikin metafora dan dibayangkan jangan-jangan karena sudah kaya dan tidak lagi makan di warteg. Bukan itu yang ingin saya bicarakan, tapi apa itu metafora.

Baik. Mengapa cara makan saya yang kuda nil dan hari-harimu/yang patah itu sama-sama metafora? Paling tidak karena kita masih dapat menangkap bentuk-bentuk kesamaan pandangan para penggunanya. Teman saya tidak mungkin mengatakan “Kamu itu kecil-kecil tardigrade!” karena dia pasti khawatir saya tidak pernah melihat cara binatang tardigrade makan, kenalan saja belum. Demikian juga hari-harimu/ yang patah lebih baik dipilih Willy daripada katakanlah hari-harimu/yang maksur (bahasa Arabnya patah) atau hari-harimu/yang cassée (patah juga, tapi Prancis). Metafora mensyaratkan kesamaan pandangan penyair dan pembacanya, dan itu teori tradisional dari abad ke-4 SM berdasar pandangan Pak Masyhur Aristoteles. Jadi, bukan karena ada kata yang tampak sophisticated maka kita nilai suatu baris puisi mengandung metafora yang baik. Kadang-kadang malah karena sophisticated setitik rusak puisi sekuda nil.

Ciri sederhana metafora adalah mengelipsis kata-kata macam “seperti”, “umpama”, “bagaikan”, “kayak”, “kek”, “serupa”, “macam”. Karenanya, metafora tidak terasa sebagai majas bandingan, melainkan saya sebut majas langsungan.

Orang awam metafora akan bilang “Kamu itu kalau makan [seperti] kuda nil”, atau dalam puisi Willy: yang dirakit dari hari-harimu/yang patah [bagaikan tiang tak tahan beban—memangnya pengantar iklan semen cor]. Saya sebut langsungan karena sifatnya yang percaya diri, yakin orang mengerti. Kalau masih mau disebut majas bandingan, metafora itu jenis yang paling padat setelah mengelipsisasi kata-kata di sekitarnya yang bertele-tele. Maka sejauh masih bisa dipadatkan, sejauh itu pula kita dapatkan efek efektivitas metafora, meski dalam puisi kadang-kadang itu tak mudah mengingat metafora berkorespondensi dengan alat-alat lainnya seperti ritme dan rima.

Misal, baris yang dirakit dari hari-harimu/yang patah bisa saya padatkan lagi jadi yang dirakit hari-hari patahmu. Versi saya jauh lebih padat karena menghilangkan “dari” dan “yang”, tapi Willy mungkin tak suka karena ritmenya terasa beda dengan keseluruhan sehingga membutuhkan “dari” dan “yang” untuk membuatnya kembali ritmik dengan bangun keseluruhan.

Efektif-efisien dalam puisi tidak sama dengan efektif-efisien dalam karya ilmiah. Puisi dapat mengulang-ngulang kata atau frasa atau kalimat untuk menciptakan efek tertentu seperti tampak pada puisi Sutardji Calzoum Bachri “Tapi”, sedangkan karya ilmiah akan dinilai tidak é-é/efektif-efisien jika mengulang-ulang.

Tapi
Aku bawakan bunga padamu
Tapi kau bilang masih
Aku bawakan resahku padamu
Tapi kau bilang hanya
Aku bawakan darahku padamu
Tapi kau bilang cuma
Aku bawakan mimpiku padamu
Tapi kau bilang meski
Aku bawakan dukaku padamu
Tapi kau bilang tapi
Aku bawakan mayatku padamu
Tapi kau bilang hampir
Aku bawakan arwahku padamu
Tapi kau bilang kalau
Tanpa apa aku datang padamu
Wah!

Puisi Pak Tardji tersebut kelihatannya puisi untuk sosok yang lebih rakus dari kuda nil. Sampai-sampai aku liriknya memutuskan tidak bawa apa pun, dan ternyata ketanpapapunan itulah yang lantas lebih disukai sosok tersebut. Bunyi Wah! bagaimanapun menciptakan ambigu apakah itu masih kata aku lirik atau kata engkau lirik. Andai itu masih kata-kata aku liriknya maka maknanya ya apa pun tidak mengenyangkan perut Sang Rakus.

Kembali ke metafora, sebenarnya ia merupakan cara kita berbahasa secara padat mengenyangkan. Tidak cair-encer-bertele-tele dan melimpah-ruah lantas tercecer-cecer di sekitar mulut kuda nil omong kosong berbusa-busa ilmiah kita. Bahasa ilmiah memang antimetafora, terlalu sophisticated untuk dikatakan tidak efektif dan efisien. Ramai-ramai dituduh sarang plagiarisme, para pemeluk teguhnya masih bilang itu hanya similarity index. Susah deh. Mereka tak ada lawan. Yang bukan menara gading jangan ambil bagian. Kuda nil kuda nil saja. Penyair penyair saja. Biarlah semua membadut sendiri-sendiri saja dalam rangka membhinnekatunggalikakan bahasa, bangsa. Amin. []

Share your love
Avatar photo
Arip Senjaya

Pemenang Literasi Terapan Lokal Perpusnas 2022, alumni Batu Ruyud Writing Camp Kaltara, dosen filsafat Untirta, anggota Komite Buku Nonteks Pusbuk Kemdikbud, sastrawan, editor. Alumni UPI dan UGM.

Articles: 30

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply