Karet di Borneo telah tumbuh jadi komoditas andalan harian. Oleh sebab instan, pagi disadap sore bisa dijual, rata-rata keluarga memiliki dan mengusahakan karet.
Harus diakui. Getah peninggalan warisan VOC ini sungguh menghidupkan meski dalam kondisi persaingan dengan karet sintesis dan sesama tanaman industri lainnnya; karet tetap menjadi pilihan. Sebab itu, dalam kondisi apa pun, karet tetap menjadi tumpuan hidup.
Di era pemerintahan Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono, karet mencapai masa keemasannya.
Per kilo, waktu itu sempat tembus a rp20.000 di masa Megawati. Zaman SBY masih berlanjut, harga sempat anjlog sedikit di kisaran rp 12.000-17.000, namun tidak pernah di bawah rp 10.000. So so-lah!
“Idealnya harga karet per kilo setara dengan gula atau beras,” kata Lijun, salah seorang petani karet di Jangkang.
“Pada era Mega da SBY, petani karet seperti dimanja,” kata Boi, salah seorang petani dan penyadap karet pula, bersaksi.
Lalu bagaimana kondisi petani dan dunia perkaretan saat ini?
Ketika pada 2014-2002, harga karet anjlog pada titik terendah sepanjang tahun (harga Rp 4.500/kilogram), banyak petani karet menghentikan kegiatan produksi (menyadap karet).
Petani karet mulai beralih ke pekerjaan lain, misalnya menjadi pemetik buah kelapa sawit atau bekerja pada juragan tertentu (Rp 50.000/hari; atau setara dengan 11 kg karet).
Semakin banyak petani yang menebang tanaman karetnya. Menggantinya dengan sawit, kopi, durian, koko, dan tanaman lainnya.
Ada kecenderungan karet yang produksinya menurun ditebang habis dan digantikan dengan sawit.
Masyarakat terkesan kurang antusias lagi membuka lahan baru untuk menanam atau peremajaan kembali karet akibat harga yang semakin anjlog dan kurang menjanjikan dibandingkan sawit.
Meski demikian, kelas menengah-atas tetap memproduksi karet dan menyimpannya dalam kolam penyimpanan.
Sembari tetap berharap ketika harga karet kembali normal menembus harga Rp 10.000/kilogram ke atas, baru akan dijual. Stok yang ada antara 1 – 3 ton tiap keluarga, utamanya keluarga kelas menengah-atas di Kab. Sanggau yang tidak terlalu terikat oleh fluktuasi harga karet dan memiliki sumber pendapatan lain.
Tapi realistiskah harapan itu? Sudah lebih 10 tahun menuggu harga karet kembali normal. Tapi yang ditunggu-tunggu, tidak pernah jadi kenyataan. Harapan sirna. Asa pun putus menunggunya.
Kini semakin banyak petani yang menebang tanaman karetnya. Menggantinya dengan sawit, kopi, durian, koko, dan tanaman lainnya.)
Tumpukan karet beku (bakwan) yang menunggu waktu dijual ketika harga cukup tinggi.
Kini, berbeda dengan 20 tahun lalu, orang lebih suka sehabis menyadap karet, lateksnya dibiarkan ditampung di mangkok sampai beku. Sedemikian rupa, ditimpa, sampai penuh dan beku.
Setelah beku, baru diambil/dipanen dan dimasukkan ke dalam tempat penyimpanan.
Cara ini lebih sangkil dan mangkus dibanding dibuat lembar getah. Selain repot memuat lateksnya, juga memerlukan cuka untuk dibekukan, dan harganya tidak jauh berbeda dengan karet “bakwan”.
(bersambung)