Kearahan: Tanggapan untuk Roti Semiotika yang Memadai

Penafian: beberapa bagian dari tulisan ini pernah jadi salah satu atau beberapa esai saya yang lain, akan tetapi kini saya kembangkan untuk membangun kesadaran baru atas buku saya sendiri Roti Semiotika yang Memadai. Kini saya menilai buku tersebut memiliki kelemahan dalam kearahan.

KETIKA saya duduk di kelas dua Biologi dulu, di SMA Negeri Cicalengka, mungkin dapat dibilang inilah fase pertama saya mulai banyak menimbang beragam kemungkinan pilihan hidup dengan merancang metode sendiri dan modalnya hanya meyakin-yakinkan hati yang sebenarnya amat sulit dibikin yakin kecuali dengan berusaha menutupi hasrat yang sebenarnya, dan jadinya merasa masuk pada kedewasaan pertama, yakni berpikir tanpa metodologi yang jelas, juga mungkin tidak menyadari sedihnya berpisah dari masa kanak-kanak nun jauh di belakang tahun-tahun sebelumnya kecuali kadang teramat rindu masa-masa tersebut, terasa ada yang sudah benar-benar hilang, datang sekilas-sekilas manakala saya menghendaki atau tidak untuk mengingatnya, sehingga harus meninggalkan atau menunda beberapa urusan dan menambah dengan urusan-urusan lain, sekaligus mulai merasa sudah memiliki salah satu jalan karir sebagai pengarang cerpen dan mendapatkan honorarium, tetap mempertahankan kebiasaan olahraga—karate dan berenang, sudah tidak mengaji kitab-kitab kuning lagi, saya sempat mengeluarkan tabungan agak banyak untuk membeli sebuah kalkulator yang amat saya idam-idamkan, dalam hal ini “kalkulator matematika”—demikian waktu itu saya menyebutnya untuk membedakan benda tersebut dengan “kalkulator warung” yang banyak orang miliki, baik orang itu punya warung maupun tidak, baik orang itu benar-benar membutuhkan kalkulator maupun sekadar ingin memilikinya.

Dan keputusan saya untuk membeli kalkulator tersebut tidak ada kaitan langsung dengan keasyikan saya membaca cerpen-cerpen orang, baik yang berbahasa Sunda maupun Indonesia, atau dengan keasyikan menulis cerpen sendiri, tetapi dunia lain saya saja yang hingga kini, dengan mengingatnya lagi, menciptakan salah satu garis pendek ke masa lalu, yakni bahwa saya pernah sangat mencintai urusan-urusan kecil dalam matematika, tertarik dengan hal-hal yang terasa aneh, dan masih saja saya tidak tahu jawabannya mengapa kemudian saya malah putus cinta dari dunia tersebut dan loncat jauh ke bidang pendidikan, bahasa, sastra, dan filsafat, yang dengan semua itu saya tidak dapat pastikan benar-benar memiliki kekasih-kekasih baru, tapi lebih tepat disebut batu loncatan-batu loncatan saja yang, jika suatu hari nanti terasa membosankan, saya akan loncat lagi saja ke batu selanjutnya.

Saya selalu ingat di masa sekolah dasar saya sering mengkliping kata-kata aneh, di antaranya jangjawokan yang dimuat di koran Galura atau majalah Manglé. Khusus untuk jangjawokan sebenarnya hanya sekali waktu pernah saya dapatkan, sisanya adalah puisi-puisi yang malah tidak terlalu membuat saya takjub, melainkan sejenis rasa heran kok ada orang-orang dengan kerumitan bahasa seperti itu. Sedangkan jangjawokan adalah puisi mantra yang tidak rumit melainkan seakan mengantarkan saya ke alam lain, dan konon—seperti dikatakan ibu saya waktu itu—digunakan orang-orang untuk meluluhkan hati orang lain, biasanya laki-laki ke perempuan, untuk menguatkan diri dalam arti kebal dari benda tajam atau api, mengubah sesuatu menjadi sesuatu yang lain seperti sihir, memindahkan kondisi satu ke kondisi yang lain, atau mengusir makhluk-makhluk halus. Saya sangat menyukai semua itu karena rasanya aneh, mempesona, tidak terpahami tapi asyik, bisa saya kira-kira, bisa pula saya baca dengan cara terbalik dari kata terakhir ke kata paling awal, bisa dibaca dari mana saja berloncat-loncat, dan semua itu sekonyong-konyong terputus ketika salah satu kliping—pas benar itu dia jangjawokan—ditemukan ibu saya ada di saku celana saya saat ia mau mencucinya. Ia membacanya sebentar dan mengerti untuk apa kata-kata tersebut dan melontarkan komentar-komentar kepada anaknya sebagai anak yang membawa “sesuatu yang belum saatnya” ke sekolahnya sebab itu termasuk jangjawokan untuk meluluhkan hati perempuan.

Kadang-kadang keputusan untuk putus cinta dari sesuatu itu bukan karena saya sudah tidak membutuhkannya, melainkan karena merasa orang lain—seperti ibu saya dalam kasus mantra itu—tidak terlalu suka dengan apa yang saya suka memang. Kita tidak pernah dapat membangun metodologi pengambilan keputusan sendirian, melainkan selalu membutuhkan cara pandang orang lain. Jika pun saya bisa putuskan sendiri sebuah perkara, saya tetap sadar bahwa itu bukan benar-benar keputusan sendiri melainkan keputusan sosial yang membuat saya menaatinya, setiap orang menanggung orang-orang yang menginternalisasi ke dalam diri masing-masing. Menyukai sesuatu hingga militan pada sesuatu itu memang baik, tetapi jika orang lain tidak suka dengan apa yang saya suka, kebaikan itu mengalami kegoyahan dan saya selalu putuskan untuk memikirkan ulang dan lebih sering meninggalkannya. Saya akan mempertahankan segala yang tidak jadi masalah untuk orang lain dan akan mengembangkan segala yang orang lain sukai dan butuhkan dari saya. Memang tidak dalam semua hal saya bertindak cepat meninggalkan sesuatu sehingga perlu menimbang lebih lama dan bahkan membutuhkan daya timbang pihak-pihak lainnya, tetapi ibu saya adalah salah satu otoritas yang di masa itu tidak banyak saya pertimbangkan. “Ibu” adalah konstruk kebenaran yang didukung oleh begitu banyak pernyataan sosial, budaya, juga agama, dan masing-masing atau kelindan semua itu berlaku dalam konteks keyakinan saya, di tempat kelahiran saya juga, dan tidak pernah berharap merupakan kebenaran mendasar yang berlaku di semua belahan dunia. Andaikan saya hidup di lapangan berbagai kebijakan yang berseberangan, mungkin saja saya tidak mudah memutuskan perkara-perkara paling sederhana sekali pun.

Hanya belakangan ini saya pun sadar bahwa rasanya memang hampir tak ada satu pun kenyataan, termasuk kenyataan fiksi di dalamnya, juga kenyataan dalam kenyataan itu sendiri, yang tidak saya dekati secara matematis, dan inilah penalaran yang tidak terlalu terikat oleh konstruk kolektif (sosial-budaya-agama), tetapi oleh petualangan subjektif yang tiada habis-habisnya di mana saya merasa punya dunia sendiri yang saya bangun dari hutang-hutang pengetahuan. Saya berhutang pada, misalnya, relasi antara eksponen di satu sisi dan logaritma di sisi lain, tak peduli kini saya sedang mengerjakan apa dan dalam posisi sebagai apa (anak, suami, ayah, tukang pisau, penggemar tanaman dan ayam hias, dosen, pengarang, editor, apa pun), mengingat relasi-relasi macam itu bagaimana pun memberi sumbangan besar pada cara saya memikirkan apa saja, termasuk memikirkan relasi itu sendiri. Tentu teori ini tidak berlaku bagi mereka yang tiap saat bekerja kelompok dalam diskusi-diskusi perihal eksponen dan logaritma sehingga selain pada keduanya terdapat relasi logis juga mungkin saja ada logika-logika kolektif yang berkembang dari persetujuan kelompok tersebut. Untuk mereka yang masih merawat imajinasi ilmiah secara subjektif, perangkat-perangkat ilmiah tersebut mungkin tinggal serpihan yang memberinya makna lebih besar daripada serpihannya itu sendiri disebabkan subjektivitas yang menghidupi dan membesarkan serpihan. Kerja-pikir seni yang utama bagi saya kadang-kadang saya yakin malah itu: pikiran-pikiran lain yang pada segala serpih memberi mungkin, dan lagi mengapa tidak kita berpikir di atas landasan mungkin tersebut.

Entah mengapa saya pernah percaya metode terbaik dalam menguraikan segala sesuatu itu adalah berpikir secara kearahan, dari-lahir-ke-batin dan/atau dari-batin-ke-lahir serta memahami masing-masing gugus—lahir di satu sisi dan batin di sisi lain—sebagai struktur dengan relasi-relasi antarunsur tertutup di dalamnya, sekurang-kurangnya melalui kemampuan memikirkan relasi-relasi tertutup dalam dunia ekstrinsik (lahir) jika kita bayangkan yang ekstrinsik itu berdiri sendiri dan bukan diskursus-latar bagi sesuatu di depan atau di dalamnya dan hal yang sama terjadi pada dunia intrinsik (batin), sebelum memikirkan bagaimana kedua gugus dapat menciptakan relasi-relasi terbuka untuk masing-masing struktur. Saya tak pernah menginginkan hal-hal yang tertutup pada salah satu pihak dibuka untuk pihak lainnya secara sembarangan, karena saya percaya masing-masing bangun struktur bekerja dengan pengaturan dirinya masing-masing. Tidak cukup bagi saya mendapatkan, sebagai contoh, penjelasan penciptaan kata sebagai proses yang tidak pernah berelasi secara alamiah dengan objek yang dikatakannya (“arbitrer”, Saussure) mengingat masih ada mungkin lainnya yang membuat setiap kata dapat kita jelaskan dengan cukup alasan.

Di tahun 2009 secara kebetulan saya pernah kuliah satu semester kepada “filosof lahir-batin” di UGM—siapa lagi kalau bukan Prof Damardjati Supadjar—dalam mata kuliah Kosmologi. Mungkin andaipun saat itu kami kuliah bidang lain, katakanlah Ontologi atau Epistemologi, beliau tetap akan berpegang pada konsep dasar lahir-batin itu karena alih-alih menempatkan diri sebagai ahli filsafat yang mengajar sesuai mata kuliah, beliau lebih banyak menyampaikan pikirannya sendiri sebagai filosof sehingga dalam Kosmologi pun ia tak benar-benar bekerja untuk menjelaskan apa itu kosmologi. Akan tetapi, lahir-batin yang dimaksudkannya itu pun seingat saya merupakan dualisme yang tidak dapat dicerai-beraikan sehingga keduanya dalam satu kesatuan. Apa yang lahir, dalam pandangan beliau, adalah apa yang lahir dari batin; dan apa yang dibatinkan adalah apa yang dibatinkan dari lahir. Beliau tak pernah menjelaskan batin itu sendiri apa kecuali sejenis internalisasi lahir, dan dengan demikian lahir merupakan proyeksi batin dan hal ini belaka yang masih ada kaitan dengan gagasan “kearahan” saya yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Beliau sendiri teramat ahli dalam hal matematika, namun di sini pula saya tidak pernah temukan penjelasannya bahwa matematika itu tidak dapat dikatakan suatu batin dari lahir secara identik mengingat sifatnya yang dari batin mengembangkan batin—dari serpih ke serpih— lagi dan lagi sejauh itu bersifat teoretik dan bukan terapan. Sebagai misal ketika saya makin menambah pengetahuan tentang rumus-rumus dasar eksponen yang tiap tambahannya bukan karena kenyataan baru di atasnya (lahir), melainkan kenyataan pembuktian sebelumnya sehingga saya sebut dari batin ke batin belaka; dan hal itu berlaku dalam proses penulisan puisi yang unsur musikalitasnya mendorong lahirnya bentuk, sementara bentuk itu sendiri bukan benar-benar struktur fisik melainkan ide yang kebetulan mengalami pematerialan, seperti gagasan esensial dari istilah “transubstansiasi”, yakni tentang perpindahan dari yang semula tidak substantif menjadi substantif.

Saya memandang kemampuan kita berpikir selalu melupakan unsur yang masih memungkinkan untuk dipecah-pecah lagi sedemikian hingga tiba pada unsur-unsur terkecil yang masih dapat kita temukan, dan karenanya memahami batin pun dapat berhenti sebagai struktur tanpa unsur, atau mungkin dapat juga dibayangkan sebagai objek—dalam realitas empirik—tanpa representamen, sedangkan unsur itu sendiri masih berunsurkan unsur-unsur lainnya; atau dengan kata lain kita tidak pernah dapat membatasi batin pada sejenis esensi, melainkan selalu ada batin di bawah batin, esensi di bawah esensi, dan jika itu dibalik pun sama: batasan lahir adalah lahir-lahir lainnya pula atau—terdengar paradoks—”esensi dari esensi lahiriah”. Inilah yang saya kira merupakan missing link dari pikiran Prof Damar, kecuali karena saya berusaha kreatif dengan tetap menyadari pesan tersembunyi dari metafora “pembagian angka nol” beliau, metafora yang selalu diulang-ulangnya dalam beragam kesempatan, yang jika penalaran saya benar maka mungkin itu pula maksud beliau: ke bawah tiada hingga, ke atas pun tiada hingga; dapat pula dibayangkan ke kiri tiada hingga, ke kanan tiada hingga, meski yang lebih tepat—berdasarkan “internalisasi” adalah ke atas (lahir) dan ke bawah (batin), dan karena keduanya menempati posisi paradoks esensi lahiriah tadi maka ke atas pun pada dasarnya ke bawah (lihat Gb 1) dan semua ini yang saya sebut tentang kearahan. Diskusi macam ini bagi sementara orang adalah buang-buang waktu, tapi bagi saya kita hanya mungkin mengkategori, mensistematisasi, mengurai, mengorganisasi, dunia, dengan cara masing-masing, dan tidak bisa orang lain memaksakan metodologinya kepada pihak lainnya lagi jika salah satu pihak merasa itu tidak lebih baik dari pihak lainnya itu, demikian juga sebaliknya pihak lain tidak harus menerima segala yang dirasa buang-buang waktu dari pikiran macam saya jika memang itu tak ada perlunya.

Gb 1 Ke Semua Arah: Internalisasi

 

Konsep lahir-batin Prof Damar itu—di tangan beliau sendiri—lebih banyak digunakan sebagai kelindan ontologi dan epistemologi, sehingga kenyataan dan kebenaran tak dapat dipisah satu dari lainnya. Akan tetapi, dalam terapannya yang agak mengganggu, misalnya “Pancasila tidak pernah lahir sejauh batinnya—keadilan—tidak pernah kita rasakan”, kita mulai melihat keduanya tidak hanya dapat dipisah, tapi memang menjelma dua hal yang perbandingannya tidak memenuhi hukum pembagian dalam bidang, bahkan beliau terjebak dalam memahami keadilan sebagai material, atau keadilan sebagai aspek lahir meskipun ia menyebutnya sebagai prasyarat bagi kelahiran, alias “batinnya”; dengan kata lain “Pancasila” dan “keadilan” yang merupakan unsur sila ke-5-nya ia setarakan saja sebagai lahir dan dalam hal ini pun sekaligus terjadi ketidakseimbangan bidang datar bertransversal. Sila-sila dalam Pancasila dapat kita ibaratkan sudut-sudut yang menempati bidang Pancasila tersebut (secara kebetulan gambar sila-sila itu dibuat di atas bidang datang dan dikalungkan di leher Burung Garuda), sehingga setiap sudutnya hanya dapat disandingkan dengan sudut-sudut di sekitarnya, baik yang berhadapan, berpunggungan, atau berseberangan, tidak dapat dengan bidang yang menempatkan setiap sudut tersebut. Kita tidak mungkin menyandingkan olahraga di satu sisi dengan sepak bola di sisi lain karena sepak bola berada di dalam bidang olahraga. Dengan cara itu beliau pun terlalu membesarkan aspek keadilan sebagai prasyarat dari Pancasila dan dengan demikian keadilan berada di luar bidang (bukan lagi tentang isi pokok sila ke-5) yang dengannya kita tidak dapat lagi melihat lahir dan batin sebagai dua entitas yang seimbang dalam kelindan; yang satu (batin) mesti lebih utama dari lainnya (lahir) ibarat membandingkan kerucut yang sepertiga volume tabung dengan tabungnya. Berbeda halnya dalam kasus membaca dan menulis, beliau berkata bahwa “membaca itu membatinkan yang lahir dan menulis itu melahirkan yang batin”, kita dapat merasakan keberimbangan keduanya, ada garis lintang yang membagi bidang sama persis, atau ada vertex yang dikitari keduanya secara sama sudut. Bahkan untuk urusan Pancasila, setiap penjumlahan unsur-unsur di dalamnya itu tidak akan bisa memenuhi hukum komplementer setingkat membaca-menulis. “Keadilan” bukan merupakan komplemen dari “persatuan”, maka itu akan berlaku sebaliknya, pun bukan komplemen dari “ketuhanan”, “kemanusiaan”, atau “kerakyatan”, pun masing-masing sila itu tidak dapat dianalogkan dengan sudut-sudut yang terbelah garis lintang-bidang.

Dalam hal-hal penerapan metodologi berpikir itulah kadang-kadang unsur terapan menempati realitas baru dan dengannya pula metodologi jadi terganggu; sedangkan realitas baru itu mengandung konsekuensi atas implikasi pembatinan lain lagi. Maka saya tidak berharap teman-teman saya yang pernah belajar langsung kepada beliau, atau para pembaca di sini, segera memahami Teori Lahir-Batin Prof Damar sesimpel itu karena kita tidak pernah bisa tentukan batas dari kapan kita memandang penulisan sastra (contoh dari pembatinan yang lahir) dan produknya sebagai alegori kehidupan (yang lahir) mengingat kita dapat memahami sastra sebagai lahir juga, bukan karena strukturnya, melainkan karena wacana yang kita miliki dan meliputi teks sastra—ia tidak dapat berdiri sendiri secara total sebagaimana ajaran strukturalisme, dan wacana itu berada di dalam latar sang batin, yang dengannya membuat kita mengerti—secara relatif—terhadap teks sastra dan dengan demikian kehidupan dalam pada ini menempati posisi sebagai alegori dari sastra. Kalau kita pindahkan pada konsep Prof Damar, maka yang lahir itu mungkin batin dan yang batin itu mungkin pula lahir, tergantung kita mengambil sudut pandang. Dan dengan itu semua sebenarnya kasus terapan sempurna dari metodologi tersebut adalah dalam praktik meminta maaf lahir-batin, sebagai praktik epistemologis dari dualitas yang tidak terpisahkan: sebagai kelindan, keduanya adalah kelindan yang terlalu rapat tapi pun agak sulit dibayangkan saling melebur dan jadi satu kesatuan, dan izinkan saya untuk sementara menyebutnya dengan istilah “monodualis” sehingga itu menjadi salah satu kesulitan kita memasuki dualisme secara total dan monisme secara total pula, apalagi jika kita sambil tergoda ide-ide pluralisme.

*

KEMBALI pada urusan-urusan kecil matematika yang ternyata tidak dapat diputuscintakan itu, dan mungkin saya malah amat ketergantungan meski kemudian belajar ilmu pendidikan, bahasa, sastra, filsafat, dan hal-hal lain lagi, di pikiran saya, misalnya, selalu tertanam sejenis geometri bidang datar atau bidang ruang yang jadi alat imajinasi melacak kaitan antarunsur dalam fiksi. Buku pertama saya yang jelas-jelas tak dapat menutup hati dari kecenderungan geometris tersebut adalah Roti Semiotika yang Memadai (Komodo Books, 2015) dan dengan salah satu metode yang dikembangkan di dalamnya—saya sebut Metode Temuan Argumen Interelasional—saya memandang relasi tiap unsur dalam fiksi yang baik adalah relasi tertutup—dalam arti terikat satu dengan lainnya secara padu tanpa bergantung pada hal-hal di luarnya—dan mengisi ruang rancang bangunnya sedemikian rupa untuk memenuhi rancang bangun tersebut, sehingga saya memandang isi sebagai motivasi dari bentuk, atau hal yang diarahkan dan melayani bentuk, sehingga aspek-aspek lahirlah yang melahirkan aspek-aspek batin jika isi kita analogkan dengan batin. Sedangkan “bentuk” itu sendiri dalam sastra, paradoksnya, tidak benar-benar tertangkap secara lahiriah sehingga kita akan dikembalikan pada monodualisme Prof Damar: pada bentuk terdapat isi dan isi itu mengembang (lebih tepatnya terproyeksi) dan tertangkap dari bentuk. Strukturalisme dapat kita pakai sebagai pendekatan belaka dalam memasuki bentuk, mengingat sifatnya yang mematerialkan bentuk—sastra adalah kenyataan bahasawi yang dapat diamati dan diverifikasi—tetapi tentu bukan yang material itu puncak dari bentuk, melainkan harus kembali pada rancang bangun yang mengimplikasikan ide, dan ide pun mengandung paradoks mengingat sifatnya yang setingkat dengan isi atau batin! Bagaimana mungkin kita dapat mengamati renik komponen penyusun masing-masing entitas jika keduanya tiada batas pemilahan.

Ketika saya pelajar menengah dulu, saya tahu bahwa tabung itu bentuk sekaligus motivasi bagi ide-ide pengukuran kerucut, pun sebaliknya ide-ide tentang kerucut merupakan motivasi bagi kebutuhan akan tabung lagi. Selain tabung, kita dapat memikirkan bidang ruang bola untuk kerucut dan relasinya dengan bola bertukar-tukar siapa yang jadi bentuk dan siapa yang jadi isi, siapa yang jadi lahir dan siapa yang jadi batin. Hal yang sama terjadi pada konsep persegi (cm2) yang merupakan ide bagi pengukuran bidang datar tapi persegi itu sendiri, pada satuan-satuannya, merupakan bentuk; bentuk sama dengan konsep dan konsep adalah bentuk. Maka saya kira kita harus sudahi diskusi-diskusi atas dualisme itu jika pada dasarnya realitas dualis itu tak dapat menanggalkan kesatuannya, dan dalam hal ini kita bertahan dengan kenyataan demi kenyataan yang monodualis.

Dan sejak pelajar menengah juga saya paling suka dengan ide-ide seputar mengarang nonteks, baik itu fiksi maupun nonfiksi, karena paling tidak ada dua mazhab yang saling bertarung pandangan yang dalam pengujiannya melalui pengalaman saya sendiri, keduanya dapat digunakan bahkan dicampurkan. Metode pertama melalui menyiapkan perencanaan kaitan antarhal terlebih dan tidak tiba-tiba menulis. Tradisi ini saya kira merupakan transformasi dari semangat para penulis karangan ilmiah yang melalui tabungan data, catatan lapangan, kartu rekam bacaan, komentar-komentar atas riset sejenis, teori-teori relevan yang akan digunakan, pilihan metodologi-teknik-dan prosedur, menjadi bahan dasar untuk penulisan. Metode kedua adalah metode “tulis saja!” dan ini terasa sebagai perlawanan dari tradisi akademik yang dibesarkan oleh tahapan-tahapan kerja. Metode “tulis saja!” mungkin baik sejauh itu dipahami sebagai metode motivatif bagi mereka yang lemah rangsang dan menjadikan proses menulis sebagai proses merangsang rancang bangun sehingga mereka percaya pada tahap terakhir, yakni penyuntingan. Tapi gagasan terakhir ini tidak dapat dikatakan bentuk berkembang dari proses pembentukan secara langsung, dari material-material kecil ke material besar, sebab menurut saya, “mau apa dan bagaimana” adalah langkah pertama yang harus dijawab dalam persiapan karangan nonteks apa pun karena pada dasarnya mengarang adalah menyampaikan pendapat (argumen) dalam bentuk bahasawi/sastrawi, sebagaimana kerja serupa dalam penalaran ilmiah—perbedaan keduanya hanya pada bentuk, sehingga metode terakhir penulisan adalah metode berlangsungnya perencanaan bersamaan dengan pembangunan atau pembangunan berbarengan dengan perencanaan: hubungan keduanya benar-benar pendek, tapi berdasarkan ontologi hubungan ini kita selalu melihat selalu ada jeda antarkeduanya, jeda untuk lorong resiprokalitas. Dalam metode penulisan pertama lorong itu dibuat panjang sehingga resiprokalitas mengalami jeda yang panjang. Jadi, memang keduanya tak ada beda kecuali karena jarak, sedangkan kearahannya sama belaka.

Argumen sastrawi itu penting bagi kehidupan sejauh ilmu formal tak dapat membicarakannya. Celah-celah kosong dalam ilmu psikologi, ilmu sosial, ilmu filsafat, antropologi, ilmu agama, ilmu apa saja, hanya bisa diisi oleh argumen sastra mengingat sastra memiliki kemampuan metaforis yang selau disegarkan oleh subjektivitas para pengarangnya yang bahasa ilmiah tidak dapat melakukannya. Bahasa metaforis ini yang menciptakan lorong panjang dengan pembaca, sedangkan lorong yang sama tidak akan dipakai oleh karya ilmiah.

Begitu banyak kenyataan yang sulit dibahasailmiahkan, tetapi seorang sastrawan dapat menggambarkannya dengan tarikan-tarikan garis pendek dari unsur-unsur berlainan: tokoh, misalnya, tidak hanya berelasi dengan tokoh lagi, tetapi juga dengan latar, dengan tema, dan unsur-unsur lainnya. Untuk hal itu saya mengibaratkannya pada perhitungan luas bidang ruang tanpa memperhatikan realitas bidang ruang lain yang dapat membantu menjelaskannya, misalnya kerucut sebagai kerucut tanpa menimbang tabung atau bola yang jadi latar volume kelilingnya. Guru-guru saya dulu menyebutnya dengan pendekatan intrinsik untuk sastra. Dan jika kita mengenakan pendekatan tabung atau bola terhadap kerucut, maka itu seperti mencari wacana di luar sastra yang menjadi penjelas sastra tersebut, dan tentang hal ini belum juga saya tulis bukunya, namun guru-guru saya dulu biasa menyebutnya dengan pendekatan ekstrinsik. Kedua istilah tersebut entah sudah berapa tahun kita gunakan dalam membicarakan sastra, tetapi seingat saya tidak pernah ada literatur yang bekerja keras untuk menjelaskan status ontologis dan epistemologisnya dan dengan kata lain teori tak pernah tumbuh melainkan tentang sinonim yang diperpanjang dalam halaman-halaman teori. Keduanya juga masih menunggu bentuk metodologis yang dapat berkolaborasi untuk menurunkannya ke arah lapangan-lapangan konkret. Studi kearahan masih begitu jauh panggang dari api saya kira jika lembaga-lembaga ilmiah tidak memiliki cukup alasan untuk kenyataan dan penalaran keduanya sehingga terapan-terapan untuk keduanya adalah terapan-terapan kreativitas perkiraan. Kita tak pernah punya standar kerja atau instrumen yang bisa jadi rujukan bersama yang selain dapat bekerja dengan pedoman tersebut, dapat mula melakukan kontrol dengan pedoman yang sama.

Andaikata kenyataan kerja ilmiah tersebut merupakan ruang terbuka demokrasi, maka itu akan baik dengan catatan ada transaksi argumen pada setiap ide yang tumbuh di dalamnya. Transaksi ini bagian dari kearahan dan merupakan kearahan dengan sifatnya yang makro, melintasi batas ruang masing-masing sehingga tidak lagi membayangkan kelindan melainkan irisan dan/atau perpotongan multidisiplin.

Kini sebenarnya saya tidak menyukai lagi istilah “interelasional” di buku saya itu, karena makna “inter” yang benar menurut saya seperti terdapat pada kata “inter[net]” yang justru mengajak kita melintasi jaring tertutup ke jaring tertutup lainnya yang ketertutupannya itu sebenarnya membuka diri tiada batas sehingga dengan demikian sebenarnya dan seharusnya saya menambahkan makna ekstrinsik dalam metode terdahulu tersebut. (Sekali lagi karena kita agak kesulitan memikirkan dualitas!). Dan seharusnya saya menjelaskan bahwa pada kata interelasional harus diandaikan tiap unsur dalam sastra itu memiliki jaringan tertutup sedangkan saya tidak kunjung dapat membuktikan unsur-unsur yang lebih kecil lagi kecuali itu sangat terbatas. Misalnya, kalau bicara “latar” maka ada “tempat” dan “waktu” dan dalam kajian-kajian sastra—tentu karena produk sastranya juga—kita belum lagi membicarakan “tempat” sebagai unsur dengan komponen-komponen abstrak lainnya, sebab jika tempat itu diisi nama kota, nama kampung, atau apa pun yang jadi tempat berlangsungnya peristiwa, itu semua hanya penyebutan substansi demi substansi. Sastra dengan entitas latar yang bukan substansi saya kira mungkin hanya diisi oleh sastra-sastra agama kuno dan penjelasan ke arahnya bukan lagi wilayah sastra, melainkan wilayah yang tidak usah dikatakan melainkan dirasakan dengan imajinasi yang membuatnya mungkin: sebuah peralihan ontologis dari hal-hal substansial ke substansi yang menginternalisasi ke arah esensi (mungkin ini yang jadi lawan dari transubstansiasi, dan untuk sementara kita sebut “transensiasi”).

Akan tetapi ketika di satu hari saya membaca pertanyaan Arjuna kepada Śrī Bhagavān dalam kitab suci Hindu Bhagavad Gita, saya merasa latar waktu bukan suatu soal waktu yang biasa dibicarakan dalam kajian sastra modern, tetapi waktu sebagai pertanyaan tentang dirinya sendiri sehingga alih-alih dari esensi ke substansi, kewaktuan di dalamnya adalah kewaktuan dari esensi ke esensi atau yang saya tekankan dari batin ke batin jika kembali pada tanggapan saya terhadap teori Prof Damar. Dan dalam matematika hal ini tidak dapat didekati dengan geometri lagi, tetapi entah apa, karena ia tak lagi terukur seperti kita mengukur luas, keliling, derajat, kemiringan, atau volume; ia adalah suatu entitas yang tidak dapat dibatasi lagi, dan itulah memang pentingnya sastra yang ilmu-ilmu lain tak dapat memasukinya dengan mudah, meski sastra tidak dapat disebut ilmu dan sebatas argumen yang dengannya menempati posisi prailmu selamanya. Bahasa-bahasa agama mungkin saja memandang prailmu sebagai ilmu khas agama, apalagi jika kemudian ditemukan fakta agamawi terjawab dan dibenarkan oleh fakta ilmiah. Dan mungkin itu pula salah satu penyebab saya pindah dari matematika ke bahasa, sastra, dan filsafat padahal dulu betapa cintanya kepada urusan-urusan kecil matematika itu.

Bagi yang belum membaca dialog Arjuna dan Śrī Bhagavān, mungkin dapat membaca cuplikannya di sini.

Arjuna berkata: Kelahiran-Mu baru belakangan kini sedang kelahiran Vivasvan adalah lebih dahulu, bagaimana aku dapat mengerti Engkau mengajarkannya pada mulanya? (JÑANA YOGA, IV-4)
Śrī Bhagavān bersabda: Banyak kelahiran-Ku di masa lalu demikian pula kelahiramu, Arjuna; semuanya ini Aku mengetahuinya, tetapi engkau sendiri tidak, wahai Arjuna. (JÑANA YOGA, IV-5)

Saya merasa begitu banyak rahasia dari geometri tetapi semua itu dapat ditemukan dan dipecahkan sejauh kita mau coba-coba segala kemungkinannya dengan pembayangan dan yang paling dramatis dalam pengalaman SMA saya adalah pembagian lingkaran menjadi serpihan pizza lantas kita bayangkan semua itu kita susun ulang menjadi persegi; sedangkan rahasia-rahasia dalam bahasa sastra saya kira memang bukan untuk dipecahkan, tetapi cukuplah itu kita pahami sebagai gambar, bacaan menyenangkan, dan dirasakan sebagai argumen-argumen tanpa kewajiban pembuktian ke luar dirinya, dan matematika teoretik pun bekerja semacam itu, cukup dengan permainan simbolnya. Tiap pengarang hebat tidak menjadi hebat karena kemampuannya memecahkan teka-teki kehidupan, tetapi sudah sangat hebat jika mampu membicarakan apa yang ia sendiri tidak dapat bicarakan dengan baik kecuali dengan kerja keras menggambarkan.

Begitu pun kali ini, dengan tidak bermaksud menulis sastra, saya pun tidak bermaksud menjelaskan segalanya (sehingga seakan sastra juga), melainkan berusaha menggambarkan segala yang masih berkaitan dengannya, di mana matematika, ilmu sastra itu sendiri, filsafat, dan apa saja dapat bersiap memasuki dunia ekstrinsik, yakni diskursus bagi kelindan ilmu dan pengetahuan. Di luar itu semua, saya pun ingin menghargai hal-hal lain yang mungkin tidak terbilang itu semua, yakni remeh-temeh yang dengan buku Roti Semiotika itu sadar atau tidak saya sedang membangun implikasi dan bahkan menghinakan unsur-unsur yang tidak padu. Kini bahkan saya ingin mengatakan: itu semua dengan sadar sekali dan jadinya saya terlalu dangkal.[]

Share your love
Avatar photo
Arip Senjaya

Pemenang Literasi Terapan Lokal Perpusnas 2022, alumni Batu Ruyud Writing Camp Kaltara, dosen filsafat Untirta, anggota Komite Buku Nonteks Pusbuk Kemdikbud, sastrawan, editor. Alumni UPI dan UGM.

Articles: 30

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply