Sikap hormat dan rasa takut terhadap alam
Bagaimana dengan hormat terhadap alam? Dalam religiositas suku Dayak, ungkapan ambil bagian dalam napas hidup ilahi (basengat) dinyatakan dalam semengat (semongat). Salah satu poin penting yang hendak digarisbawahi dari pemahaman suku Dayak tentang manusia yang memiliki kodrat ilahi (semengat) ialah manusia dimampukan untuk menangkap dan membaca tanda-tanda kehadiran Yang Transenden dalam peristiwa atau gejala alam. Berkat semengat mereka mampu membaca fenomena alam yang bisa mendatangkan berkat ataupun kutuk.
Dalam tradisi berladang, misalnya, kemampuan itu memainkan peran yang sangat penting. Mendapatkan hasil panen yang baik dan berlimpah tentu saja menjadi keinginan setiap warga. Akan tetapi, keinginan tersebut tidak pernah boleh mengabaikan pesan dari Yang Ilahi atau para leluhur yang hadir lewat tanda-tanda atau fenomena alam. Pesan itu biasanya hadir lewat suara burung atau pun mimpi. Pengabaian terhadap pesan tersebut dapat mendatangkan bencana bagi diri sendiri, keluarga dan seluruh anggota komunitas.
Bahwa Yang Ilahi hadir dalam dan lewat tanda-tanda dan fenomena alam mengundang kita manusia untuk memberikan rasa hormat. Penghormatan diberikan agar wujud-wujud yang tak nampak yang hadir di alam senantiasa mendukung pekerjaan kita dalam mengolah dan memanfaatkan alam.
Bukan hanya sikap hormat yang penting. Rasa takut terhadap alam juga mesti senantiasa hidup dalam diri kita. Dengan adanya rasa takut itu, maka kita akan memperlakukan alam dengan bijaksana, penuh hormat dan beradat. Kita akan mendengarkan dan mematuhi apa yang dipesankan oleh leluhur agar hidup kita selamat dan jerih payah dalam bekerja atau pun berladang mendatangkan hasil yang baik.
Saya kemudian berpikir terjadinya kerusakan hutan di bumi Kalimantan sepertinya mau memperlihatkan sudah memudarnya atau bahkan mungkin sama sekali sudah hilangnya rasa takut kita manusia terhadap Yang Ilahi yang kita yakini juga hadir dalam alam.
Mendudukkan Basengat Ka’ Jubata pada tempat pertama
Menjadi pertanyaan untuk kita, masyarakat Dayak, refleksikan bersama ialah apakah laku hidup kita sudah sungguh mengalir dari falsafah Basengat Ka’ Jubata? Sudahkah falsafah hidup ini menggema dalam hidup sehari-hari atau hanya menggema ketika ada pertemuan saja? Sungguhkah Tuhan (Jubata) menjadi pusat hidup kita? Atau justru sebaliknya kita, manusia, menjadikan diri sebagai pusat dari kehidupan?
Pertanyaan itu mengemuka ketika saya mengamat-amati kembali rumusan Trisila hidup kita orang Dayak. Muncul beberapa pertanyaan di benak saya terkait dengan rumusan yang sepertinya memang sudah baku itu. Mengapa manusia berada diawal dan Jubata ditempatkan di akhir? Mengapa harus dimulai dari memusatkan perhatian pada persoalan-persoalan di bumi (keadilan), baru kemudian mengarahkan pandangan ke surga? Mengapa Jubata diposisikan di akhir seolah Dia bukan menjadi asal dan pusat hidup kita?
Atau, apakah barangkali rumusan itu tidak lebih dari sekadar untuk memenuhi rasa bahasa supaya enak diucapkan dan didengar? Rasa-rasanya lebih dari pada itu. Bahwa dalam perjalanan waktu Trisila itu ditetapkan menjadi pedoman dan pandangan hidup orang Dayak, pastilah karena keberadaannya mau berbicara tentang hal yang sangat penting.
Dan, hal yang amat penting itu, seperti yang telah dikatakan sebelumnya, ialah berkaitan dengan apa yang menjadi esensi manusia Dayak. Jika memang itu yang menjadi esensi kita sebagai manusia Dayak, mengapa kemudian falsafah ini berada di urutan terakhir? Seakan-akan mau mengatakan kalau laku hidup kita sebagai manusia Dayak tidak mengalir dari falsafah tersebut?
Mgr. Valentinus Saeng, CP, Uskup Keuskupan Sanggau, pernah mengupas secara mendalam Trisila hidup orang Dayak ini dalam buku Kearifan Lokal~Pancasila Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan. Menarik bahwa beliau menjadikan peristiwa Tumbang Anoi 1894 sebagai latar belakang historis lahirnya Trisila hidup orang Dayak tersebut. Kita tahu dengan baik kalau perang antarsuku atau lebih dikenal dengan budaya ngayau (berburu kepala) menjadi latar belakang lahirnya keputusan Tumbang Anoi.
Memperkenalkan Trisila hidup orang Dayak, menurut Mgr. Valen, berada dalam dalam konteks sosialisasi dan internalisasi kesepakatan Tumbang Anoi dalam rangka mengubah pengertian dan pemahaman masyarakat Dayak tentang hakikat manusia, makna relasi dan interaksi sosial antarsuku dalam hidup bersama.
Demi mengetahui Mgr. Valen menjadikan peristiwa Tumbang Anoi sebagai latar belakang historis lahirnya Trisila hidup orang Dayak, membuat saya berpikir kalau laku dan gerak hidup kita sebagai manusia Dayak tidak mengalir dari falsafah Basengat Ka’ Jubata, terasa benar adanya.
Bahwa ada yang berpandangan kalau pertemuan Tumbang Anoi bukanlah fajar peradaban bagi orang Dayak, melainkan semata-mata sebagai cara licik pemerintah Belanda agar bisa dengan leluasa menjajah bangsa Dayak, sama sekali tidak menghilangkan fakta historis kalau kita sesama orang Dayak pernah saling membunuh.
Falsafah Basengat Ka’ Jubata memang belum lahir ketika bangsa Dayak saling berperang dan memusuhi. Realitas ini bagi beberapa orang mungkin akan dijadikan dasar pembenaran atas terjadinya pengayauan di masa lampau.
Menyetujui pandangan ini, hemat saya, sama saja dengan kita menyimpulkan kalau orang Dayak itu ialah kaum barbar yang kesukaannya ialah berperang. Menstigmatisir orang Dayak sebagai suku yang tak ber-Tuhan karena itu tidak memiliki rasa hormat dan belas kasih terhadap orang lain.
Padahal, faktanya tidaklah demikian. Bila kita merujuk kembali pada tulisan Mgr. Valen, perang antarsuku (ngayau) di masa lampau semestinya tidak terjadi. Sebab, kesadaran tentang eksistensi dan campur tangan Yang Kuasa sudah hidup dalam sanubari setiap suku Dayak yang ada di bumi Kalimantan.
Kesadaran itu, masih menurut Mgr. Valen, bukan berasal dari pendakuan revelatif (wahyu) maupun refleksi teologis yang begitu sistematis, metodis, ilmiah, dan koheren, melainkan dari pengalaman hidup sehari-hari.
Pengalaman hidup milik siapa? Ya pengalaman hidup semua suku Dayak yang hidup di bumi Kalimantan. Dalam aneka bentuk pengalaman hidup itu, Yang Kuasa menunjukkan kemahakuasaan dan kebaikannya bukan hanya kepada satu suku Dayak saja, melainkan kepada semua suku Dayak.
Dari sini kiranya kita dapat memahami mengapa setiap suku Dayak memiliki sebutan yang berbeda terhadap Yang Mahatinggi: Petara Raja Juwata, Jubata, Duata, Penompa, Duataq, Duato, Tanangaan, Ompokng Soma, Ranying Hatalla Langit dan sebagainya.
Sebuah perbedaan yang sama sekali tidak hendak mengatakan kalau Tuhan-nya suku Dayak yang satu lebih tinggi dan perkasa dari yang lain. Juga tidak hendak mengatakan kalau suku Dayak yang satu lebih tinggi harkat dan martabatnya dari suku Dayak yang lain. Tuhan yang mereka sembah dan imani adalah Tuhan yang satu dan sama. Yang mencurahkan berkat, perlindungan dan kebaikan-Nya kepada semua suku Dayak. Begitu pula, martabat semua suku Dayak berada pada derajat yang sama.
Diletakkan dalam pemahaman ini, hidupnya tradisi perburuan kepala (ngayau) di masa lalu, meski menurut pertimbangan manusia sudah ada alasan-alasan yang masuk akal untuk melakukannya, bagi saya pribadi masih tetap sulit untuk menerimanya. Sulit karena rasanya tidak mungkin Duata, Tanangaan, Ranying Hatalla Langit, dan lain-lain yang mereka sembah memerintahkan umat-Nya untuk menghilangkan nyawa orang lain. Justru sebaliknya Dia memerintahkan umat manusia untuk saling menjaga, menghormati dan mengasihi satu sama lain.
Peristiwa itu telah lama berlalu. Dia menjadi catatan hitam tersendiri dalam sejarah peradaban manusia Dayak. Akan tetapi, terjadinya peristiwa itu – dan juga terjadinya kerusakan hutan di bumi Kalimantan – dapat kita interpretasikan sebagai fenomena di mana manusia sudah menempatkan dirinya sebagai pusat dari kehidupan (antroposentrisme).
Oleh karena itu, ajakan untuk kembali kepada falsafah Basengat Ka’ Jubata selama kita menjalani Masa Prapaskah ini adalah ajakan untuk kembali ke Jubata sendiri. Memohon ampun kepada-Nya; memulihkan kembali relasi kita dengan-Nya, dengan sesama dan dengan alam yang telah rusak oleh karena dosa dan kesalahan kita.
Secara rumusan falsafah Basengat Ka’ Jubata memang berada di urutan terakhir. Namun, mari selama dalam masa tobat ini kita berupaya mendudukkannya di tempat pertama. Dengan begitu, maka kita sungguh mengakui dan mengimani Tuhan sebagai pencipta. Dia sendirilah yang menjadi asal, pusat dan tujuan hidup kita.
Dari iman kepercayaan itu kemudian mengalir sikap hormat terhadap martabat hidup sesama; mendorong kita untuk bersikap adil kepada sesama. Sebuah sikap yang sangat diperlukan agar konflik antarsesama orang Dayak seperti di masa silam tidak lagi terjadi. Sudah saatnya kita membangun bumi Kalimantan dalam “peradaban cinta” (bdk. Anjuran Apostolik Gereja di Asia, 25).
Dari iman yang sama mengalir juga sikap hormat dan rasa takut terhadap alam. Dengan adanya rasa takut itu, kita akan menjadi manusia-manusia yang hidupnya tidak diperbudak oleh nafsu keserakahan.
Mari kita ingat baik-baik perkatan Paus Fransiskus berikut ini: “Ibu Pertiwi sekarang menjerit karena segala kerusakan yang telah kita timpakan padanya, karena tanpa tanggung jawab kita menggunakan dan menyalahgunakan kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya” (Laudato Si, 2).
Sumber foto: Suarapemredkalbar.com