Suku Dayak itu memiliki kekayaan ritus-ritus adat. Diadakannya ritus-ritus adat dalam berbagai dimensi kehidupan manusia Dayak sejatinya bertujuan untuk membangun dan meneguhkan harmoni dengan Yang Ilahi, dengan sesama dan leluhur serta dengan alam.
Harmoni tersebut ada kalanya mengalami gangguan. Saat orang sakit, saat ada bencana atau malapetaka oleh masyarakat Dayak biasanya dilihat sebagai saat di mana harmoni itu sedang terganggu. Ritual penyembuhan atau ritual tertentu mesti dilakukan sebagai upaya untuk memulihkan harmoni yang telah tercederai itu.
Ritual adat tolak bala adalah salah satunya. Ritual adat ini menjadi upaya pemulihan atas harmoni karena dengan tetap tinggal di dalam rumah untuk jangka waktu tertentu (sebagai bentuk pantangan), manusia diberi kesempatan untuk mengoreksi diri.
Dalam suku Dayak Iban ritual tolak bala juga disebut dengan ngampun. Yang artinya sudah jelas bahwa melalui ritual ini manusia memohon ampun kepada Yang Kuasa atas segala dosa dan kesalahan yang telah mereka perbuat.
Betapa orang Dayak patut berterima kasih kepada para leluhur karena telah mewariskan kearifan lokal ini. Ada banyak sekali pengajaran yang dapat kita petik dari ritual adat ini bagi kehidupan pribadi maupun bersama.
Dengan menciptakan ritual adat tolak bala, nenek moyang kita ingin mengingatkan bahwa bencana dan penyakit, ringkasnya penderitaan, akan selalu menjadi bagian dari peziarahan hidup kita sebagai mensia (manusia).
Akan tetapi, lewat ritual adat ini kita diingatkan agar tidak mudah menyerah pasrah begitu saja terhadap segala penyakit dan penderitaan. Sebagai manusia kita mesti berusaha sekuat tenaga. Dan dengan memohon pertolongan Petara Yang Agung, para leluhur mau mengingatkan agar dalam segala upaya yang manusia lakukan, Yang Kuasa mesti dilibatkan. Manusia boleh berusaha, namun selebihnya serahkan ke dalam tangan Yang Mahakuasa.
Dan bahwa segala bentuk upaya tersebut tidak dilakukan seorang diri, tapi melibatkan semua anggota komunitas, juga mau mengajarkan kepada kita betapa pentingnya gotong royong dan kebersamaan dalam menghadapi dan mengatasi setiap kesulitan dan tantangan hidup.
Cara masyarakat Dayak menghadapi kesulitan dan tantangan hidup secara bersama-sama, hemat saya, sungguh mencerminkan nilai hidup dan keutamaan Kristiani seperti yang akan saya udar di bawah ini.
Solidaritas
Dalam ritus sakramen pemberkatan perkawinan dalam Gereja Katolik, ketika sampai pada pengucapan janji oleh kedua mempelai, keduanya akan berjanji: “Di hadapan Tuhan…..Saya berjanji untuk setia kepadamu dalam untung dan malang, suka dan duka, sehat dan sakit…”
Dalam rumusan itu tertulis “dalam untung dan malang”, “suka dan duka, “sehat dan sakit”. Dari rumusan ini kedua mempelai hendak diingatkan bahwa hidup tidak hanya berisi untung, suka dan sehat saja, tapi juga ada malang, duka dan sakitnya juga.
Begitulah realitas kehidupan manusia. Bila mau jujur pastilah kebanyakan dari kita memilih untuk hidup sehat, selalu dalam keadaan untung atau dalam keadaan suka. Namun, kenyataan sering kali seperti yang tidak kita harapkan. Sakit, penderitaan yang mendengarnya saja kadang kita enggan, apalagi mengalaminya, seringkali juga datang menyapa.
Kenyataan bahwa sakit dan penderitaan selalu menjadi bagian dari hidup manusia, membuat manusia dikatakan sebagai homo dolens (makhluk yang menderita). Manusia menderita karena bencana alam, peperangan, kehilangan, mengalami ketidakadilan, kemiskinan, kelaparan, mengidap penyakit tertentu, dst.
Merebaknya wabah virus corona seakan semakin hendak menegaskan peziarahan hidup manusia yang tak akan pernah lepas dari penderitaan. Jutaaan nyawa telah hilang akibat pandemi Covid-19 ini. Pun juga banyak anak manusia menjadi putus asa dan patah semangat karena kehilangan orang-orang terkasih dan juga pekerjaan. Pandemi Covid-19 tidak memandang apa suku, bahasa, ras dan agama kita. Karena itu, solidaritas menjadi sikap hidup yang mesti kita kedepankan.
Solidaritas bukanlah bahasa yang asing bagi Gereja. Menjadi Gereja yang solider merupakan kodrat dari panggilan Gereja yang diutus untuk menjadi sakramen keselamatan bagi dunia. Kodrat ini menemukan sumbernya dari peristiwa inkarnasi Sang Sabda. Penjelmaan Putra Allah menjadi manusia merupakan sikap solider Allah yang paling dalam terhadap manusia (bdk. Dei Verbum, 4)
Keyakinan bahwa manusia itu diciptakan menurut gambar dan rupa Allah menjadi landasan utama bagi Gereja untuk solider dengan umat manusia. Berkaitan dengan hal ini, Paus St. Yohanes Paulus II dalam ensiklik Sollicitudo Rei Socialis menegaskan: “Solidaritas membantu kita memandang “pihak lain” – entah itu pribadi, masyarakat atau bangsa – tidak sebagai semacam alat belaka, beserta kemampuan kerja dan kekuatan fisiknya untuk dieksploitasi dengan biaya murah, kemudian disingkirkan kalau sudah kehilangan faedahnya, melainkan sebagai “sesama” kita, sebagai “penolong” (bdk. Kej 2:18-20), untuk menjadi mitra usaha yang sederajat dengan kita pada perjamuan kehidupan, atas undangan Allah yang sama-sama ditujukan kepada semua orang” (art. 39).
Demi menghayati hidup dalam semangat solidaritas, setiap individu dipanggil untuk bertanggung jawab terhadap keselamatan bersama. Di sinilah letak makna terdalam dari solidaritas sebagaimana dalam ensiklik yang sama ditandaskan oleh Paus St. Yohanes Paulus II:
“Solidaritas itu bukan perasaan belaskasihan yang samar-samar atau rasa sedih yang dangkal karena nasib buruk sekian banyak orang, dekat maupun jauh. Sebaliknya, solidaritas ialah tekad yang teguh dan tabah untuk membaktikan diri kepada kesejahteraan umum, artinya: kepada kesejahteraan semua orang dan setiap perorangan, karena kita ini semua sungguh bertanggung jawab atas semua orang” (art. 38).
Harapan Kristiani
Sebuah peristiwa di Thailand pada tahun 2018 yang lalu, tepatnya di gua Tham Luang, menjadi salah satu contoh yang menunjukkan kepada kita betapa harapan itu memiliki daya kekuatan yang luar biasa.
Di dalam gua tersebut terjebak sekelompok remaja klub sepakbola bersama pelatih mereka. Kabar tersebut seketika saja menggerakkan hati banyak orang untuk turut membantu mereka keluar dari gua tersebut.
Bahkan seorang dokter asal Australia yang memiliki keahlian cave-diving, Dr. Richard Harris, membatalkan liburannya di Thailand ketika mendengar kabar ada 13 orang terjebak dalam gua Tham Luang. Ia datang menawarkan diri untuk membantu. Akhirnya, berkat bantuan dan kerja sama berbagai pihak, setelah selama 17 hari terjebak di dalam gua, ke 13 orang tersebut dapat dikeluarkan dengan selamat.
“Harapan kecil telah menjadi kenyataan”. Itulah yang dikatakan Komandan kesatuan SEAL Angkatan Laut Thailand, Arpakorn Yuukongkaew. Dia percaya bahwa ke 13 orang yang terjebak dalam gua tersebut masih hidup. Harapan inilah yang mendorong dia bersama timnya untuk melaksanakan operasi penyelamatan.
Betapa harapan memiliki kekuatan yang luar biasa. Harapan menjadikan kita optimis dalam peziarahan hidup kita yang sering kali dihantui oleh kegagalan serta diliputi kecemasan dan kegelisahan.
Optimisme ini tidak hanya menyangkut keberadaan kita di dunia ini, tetapi juga keyakinan akan adanya hidup setelah ini, yakni hidup abadi. Karena itulah, Harapan merupakan salah satu keutamaan teologal, dengannya kita merindukan dan menantikan kehidupan abadi yang berasal dari Allah sebagai kebahagiaan kita, mempercayakan diri kita kepada janji Kristus, dan bersandar pada bantuan rahmat Roh Kudus agar pantas menerimanya dan tetap bertahan sampai akhir hidup kita (KKGK No.387).
“SPE SALVI facti sumus” – dalam harapan kita diselamatkan – demikian kata pembuka dari ensiklik Paus Benediktus XVI Spe Salvi, yang dikutip dari surat St. Paulus kepada jemaat di Roma (8:24; Spe Salvi No. 1).
Bila kita diselamatkan oleh harapan, apakah kemudian harapan Kristiani itu individualistis? Apakah kita hanya mengharapkan keselamatan bagi diri kita sendiri dan mengabaikan orang lain? Harapan yang demikian tentu tidak mencirikan harapan Kristiani yang sesungguhnya.
Bentuk dari harapan Kristiani yang sejati ialah bila kita tidak lagi hidup untuk diri kita sendiri. Harapan yang dimiliki oleh Arpakorn Yuukongkaew telah mendatangkan keselamatan bagi para saudaranya yang terjebak di dalam gua.
Kepada umat di Korintus, Rasul Paulus menulis, “Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka (2 Kor 5:15). Kristus telah mati bagi semua orang. Untuk hidup bagi-Nya berarti kita membuka diri untuk juga hidup bagi orang lain (being for others), sama seperti Kristus (bdk. Spe Salvi, art. 28).
Gereja mesti hadir dan terlibat
Di grup perpesanan, soal apakah Gereja mesti hadir dan melibatkan diri dalam ritual adat tolak bala pernah menjadi bahan diskusi ringan oleh para pastor yang bertugas di Keuskupan Sintang. Meski belum ada kata final seperti apa bentuk kehadiran dan keterlibatan Gereja, sebagian besar dari para pastor sepakat kalau Gereja mesti hadir dan terlibat dalam ritual adat ini.
Hemat saya, Gereja mesti hadir dan terlibat karena terdapat kaitan yang sangat erat antara pewahyuan diri Allah dan pengalaman eksistensial manusia. Dalam ritual tolak bala, pengalaman eksistensial manusia yang dijumpai oleh Gereja ialah pengalaman akan penderitaan yang dalam hal ini hadir dalam rupa pandemi Covid-19.
Sebuah wabah yang telah mendatangkan banyak kesengsaraan dalam hidup kita manusia. Jutaan manusia telah kehilangan nyawa. Banyak yang kehilangan orang-orang terkasih. Tak sedikit yang kehilangan pekerjaan.
Kenyataan pahit yang dialami anak manusia itu sudah cukup menjadi alasan bagi Bunda Gereja untuk hadir di tengah umat, turut merasakan dan menanggung beban derita anak-anaknya. Akan tetapi, bila Gereja hadir dan melibatkan diri dalam ritual tolak bala, bukan hanya sebatas untuk menunjukkan rasa hormat terhadap budaya lokal.
Kehadirannya adalah untuk memberi peneguhan dan penghiburan. Juga untuk membangkitkan semangat dalam diri umat agar terus melanjutkan hidup dengan penuh iman dan harapan.
Foto: Komunitas Adat Dayak Desa Tapang Sambas – Tapang Kemayau menggelar Ritual Tolak Bala (Adat Bekumpang). Sumber: kalimantanreview.com.