Kopang:
Potret Perilaku Buku Kumpulan Cerpen
Ada semacam adagium. Buku kumpulan cerpen yang laku ialah yang cerpen-cerpennya sudah pernah diterbitkan.
Euforia panjang bagi penulis fiksi di Indonesia ketika runtuhnya kekuasaan Orde Baru. Mereka bebas menjaring ide, apa saja, kemudian menulisnya.
Pada konteks sekarang, kebebasan ideologi dalam berkarya sangat terbuka lebar. Karya-karya sastra serius yang biasanya sangat malu-malu dan tertutup dalam mengumbar seksualitas telah berubah watak menjadi terbuka dalam menggambarkan kelamin dan hubungan seksual. Padahal, pada zaman prareformasi tema seputar syahwat dan “adu kelamin” dalam sastra serius sangat ditabukan.
Harus diakui novel Ayu Utami Saman (1998) dan Larung (2001) dapat dianggap sebagai pelopor contoh karya dengan ciri keterbukaan baru dalam membicarakan seksualitas. Ayu Utami dengan sangat berani menampilkan seks menjadi tema utama dalam menceritakan empat tokoh perempuan, yaitu Shakuntala, Yasmin, Laila, dan Cok. Perilaku seksual yang diceritakan sepenuhnya bertentangan dengan norma masyarakat dengan tradisi keislaman yang sangat kental di negeri ini. Bayangkan saja, Shakuntala mempunyai kecenderungan biseksual, Laila jatuh cinta pada seorang lelaki yang sudah menikah tetapi akhirnya berhubungan seks dengan Shakuntala, Yasmin mengkhianati suaminya sekaligus memurtadkan seorang pastor, lalu mewujudkan fantasi sadomasokisnya dengan bekas pastor tersebut, dan Cok gemar berganti-ganti pasangan.
Arus utama Ayu Utami ini diikuti beberapa pengarang, seperti Djenar Maesa Ayu, Dinar Rahayu, dan Clara Ng. Karya-karya Djenar Maesa Ayu dapat dikatakan menjadi model dan inspirasi penulisan berunsur seks dalam genre cerpen. Karya-karya Djenar bertemakan seputar trauma masa kecil, pelecehan seksual, perselingkuhan, pelacur kelas atas, dan isu gender. Fenomena yang sama dapat dilihat dalam karya-karya Riani Kasih dan Mardian Sagiant dalam kumpulan cerpen ini. Dua penulis muda yang baru menyemplungi dunia kepengarangan ini begitu berani mengumbar seksualitas perempuan dan lelaki dalam dunia imajinasi mereka. Kedua penulis ini memiliki ideologi dan ketertarikan yang sama dengan Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu. Saya harus mengatakan bahwa pengaruh Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, dan “para pengikutnya”, seperti dalam kumpulan cerpen “Rahasia Bulan” yang disebut-sebut dalam cerpen Desah di Balik Celah menjadi inspirasi dalam melahirkan cerpen-cerpen mereka.
Kedua penulis muda ini pun bereksperimen dengan mengeksplorasi seksualitas perempuan dan lelaki dengan tema pelecehan seksual, biseksual, homoseksual, lesbian, trauma masa kecil, perkosaan, pelacuran, dan perselingkuhan dengan sudut pandang “awam” dalam karya perdana mereka. Karya “coba-coba” dalam mengeksplorasi seksualitas menjadikan mereka seolah-olah “berguru” dengan Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, dan kelompok penulis “Rahasia Bulan”. Oleh karena itu, karya perdana yang “coba-coba” ini merupakan proses mereka mencari-cari jati diri ideologi kepengarangan dalam berkarya.
Kumpulan cerpen Riani Kasih dan Mardian Sagiant ini berisikan isu seks bebas, baik dengan sesama jenis maupun pasangan heteroseksual yang digambarkan dengan literer dan terang-terangan. Cerita-cerita ini secara gamblang mengambarkan trauma seksual perempuan, homoseksual, lesbian, dan biseksual. Cerita-cerita ini menyinggung isu seksualitas lelaki terhadap perempuan dan perempuan terhadap lelaki. Bahkan, Riani Kasih dan Mardian Sagiant mengkritisi kekerasan psikis terhadap perempuan yang kerap dilakukan oleh lelaki, seperti dalam cerpen Kutemukan Kamu di Lamban Pesagi, Desah di Balik Celah, Paris untuk Paris, Bola Kaca di Lemari Kaca, dan Kopang.
Kutemukan Kamu di Lamban Pesagi merupakan sebuah cerpen yang menggambarkan trauma tokoh perempuan bernama Sarah karena diperkosa lelaki, akibatnya Sarah menjadi lesbian sehingga lebih menikmati berhubungan intim dengan Mala. Bahkan, cerpen ini menyimbolkan kekerasan seksual lelaki terhadap perempuan, seperti pemerkosaan Ramdani terhadap Sarah dan keterpaksaan Sarah melayani nafsu bejat yang berulang dari Ramdani sebagai akibat kerap ditinggal berdua oleh Undap (istri Ramdani) di rumah. Mungkin secara simbolik penulis mengingatkan untuk berhati-hati membiarkan perempuan dan lelaki berduan di rumah, walaupun dengan kerabat sendiri karena yang ketiga adalah setan! Selain itu, cerpen ini juga sebagai simbolisasi kekerasan psikis terhadap perempuan. Hal ini terjadi karena adanya pelanggaran komitmen pasangan menikah yang diperankan tokoh Ramdani sebagai suami terhadap perempuan bukan istrinya sehingga terjadi penyelewengan atau perselingkuhan. Sang istri (Undap) digambarkan sebagai perempuan yang kalap dan brutal ketika memergoki perselingkuhan itu sehingga membunuh sang suami di kamar tidur mereka sendiri.
Tema hubungan sesama jenis dijelaskan secara simbolik dalam cerpen Senyawa. Perilaku mencintai sesama lelaki dideskripsikan melalui watak George dan Aku (Damar). Mereka menjalin hubungan terlarang yang sangat mereka sukai dengan rasionalisasi masa bodoh apa kata orang, yang penting senang, dan tidak mengganggu orang. Cerpen ini semacam eksistensi dan pembenaran mengapa perilaku senang sesama jenis ini dilakukan. Sesuai dengan judulnya, perilaku ini dilakukan karena ada hubungan senyawa dan satu nyawa.
Lebih komplit lagi adalah cerpen Lelakiku Bernama Titik-Titik yang memadukan perempuan lesbian dan lelaki homo dalam ikatan perkawinan yang terpaksa dilakoni. Cerpen ini menceritakan perkawinan perempuan lesbian dan lelaki homoseksual sebagai pasangan heteroseksual. Watak Aku (homoseksual) dan Perempuanku (lesbian) dijodohkan orang tua sebagai suami-istri. Akan tetapi, mereka asyik dengan perselingkuhan dan syahwat menyimpang masing-masing. Cerpen ini menunjukkan keberpihakannya kepada penganut cinta sejati bahwa cinta tidak bisa dipaksakan karena dapat berakibat pada ketidaknyamanan dan/atau perselingkuhan.
Desah di Balik Celah merupakan sebuah cerita yang lumayan kompleks dalam menggambarkan hubungan perempuan heteroseksual yang sekaligus lesbian. Perilaku menyimpang perempuan biseksual di sebuah kamar kost yang kerap bergonta-ganti pasangan diceritakan oleh si Aku dengan cara yang cerdas. Perempuan ini hamil bersama kekasih lelakinya sehingga menuntut pertanggungjawaban. Sang lelaki menolak karena ia memiliki kekasih lain sedangkan sang perempuan dianggap hanya sebagai selingkuhan. Akibatnya, sang perempuan gelap mata, lalu membunuh kekasih lelakinya itu. Setelah itu, perempuan dibalik celah memotong urat nadinya sendiri dengan pisau dapur.
Isu perselingkuhan semakin ketara dalam cerpen Bola Kaca di Lemari Kaca, Kopang, dan Paris untuk Paris. Cerpen Bola Kaca di Lemari Kaca dikemas untuk menggarap peran lelaki pengusaha sebagai tokoh terkenal yang menyimpan seorang perempuan. Perempuan simpanan menyembunyikan dendam terhadap lelaki pengusaha yang tidak meluangkan perhatian dan waktu baginya dan sang anak. Perempuan simpanan dengan mudahnya membunuh lelaki pengusaha itu dengan menyuruh pembunuh upahan. Malangnya, cerpen ini tidak menggambarkan sisi psikologis perempuan simpanan dengan lengkap?; Mengapa ia harus membunuh? Oleh karena itu, terjadi lompatan plot dan penggambaran watak yang tidak mendukung konflik cerpen. Padahal, ia pun berselingkuh dengan lelaki selain lelaki pengusaha itu. Kelebihannya, cerita ini cukup kuat dengan sudut pandang simbolik “Aku” dalam bola kaca di lemari kaca. Cerpen ini mengingatkan banyaknya berita kriminal, gosip, dan infotainment di negeri ini yang konon semakin tidak mendidik karena berisikan perselingkuhan, pembunuhan, dan berbagai varian kekerasan.
Cerpen Kopang merupakan simbol perempuan hanya sebagai objek seksual. Perempuan dieksploitasi hanya untuk kepentingan ekonomi. Konsekuensinya, perempuan dijauhkan dari pendidikan, watak ini dimunculkan penulis melalui tokoh Aku yang tidak diberi kesempatan oleh ibunya yang seorang germo mengecap SMA dan perguruan tinggi. Padahal, ia merupakan gadis cerdas berprestasi. Bahkan, simbolisasi lelaki sebagai penguasa perempuan pun muncul dalam cerpen ini. Lelaki selaku penguasa perempuan, dapat menyeleweng dengan perempuan mana pun yang dia mau, seperti yang dilakukan kekasih si Aku yang seorang anak pejabat terhadap sang germo (ibunya Aku). Akibatnya, si Aku kalap dan gelap mata dengan membunuh pasangan selingkuh ini.
Cerpen Kopang ini sangat kental dengan lokalitas Kalimantan Barat dari segi judul dan plot awal cerita. Saya harus mengakui cerpen ini bagus dan lebih sempurna kalau penulis mengeksplorasi lebih dalam psikologis perempuan (Aku) dalam kaitannya dengan latar suasana dan tempat saat si Aku beroperasi sebagai pelaku kopang. Dengan demikian, maknawi judul cerpen ini, yaitu “Kopang” sebagai akronim dari kopi pangku dapat dijelaskan dengan terang. Malangnya, tema dan fakta lokal ini dikesankan hanya sebagai praktik pelacuran kelas atas sehingga mengabaikan esensi seksualitas masyarakat lokal kelas bawah dan menengah dalam cerpen ini. Ya, ini hak pengarang dalam berkarya, bentuk licentia poetika pengarang yang saya sendiri tidak berhak turut campur.
Paris untuk Paris, cerpen yang berkisah tentang mimpi untuk pergi ke Paris menjadi harapan seorang watak perempuan muda bernama Paris. Mimpi pergi ke Paris menjadi kandas seiring dengan meninggalnya sang ayah. Padahal, Paris dapat mewujudkan impiannya berlibur ke Paris melalui sang ayah. Awalnya, saat membaca plot awal cerita ini, ada semangat “serupa” Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi tetapi dengan watak dan konflik berbeda. Lagi-lagi, ide cerita sederhana yang awalnya menarik ini dibawa ke ranah seksualitas oleh penulis—ujung-ujungnya pasti seks! Paris yang bermimpi indah itu dijebak oleh anak pamannya sendiri untuk menikmati paris (surga) selangkangan sehingga terjadilah perkosaan. Pemerkosaan terjadi sebagai akibat kecerobohan dan keteledoran Paris yang bak pungguk merindukan bulan soal mimpinya ke Paris. Di sisi lain, pamannya yang dianggap sebagai pelindung ternyata berselingkuh dan menikmati “paris” ibunya Paris. Penulis menggambarkan sekulerisasi hidup dunia yang penuh dengan hasrat dan nafsu berbahaya yang kalau tidak dikelola dengan baik akan berakibat fatal, seperti pemerkosaan (diperkosa), terjerat syahwat berlebihan, dan perselingkuhan untuk memenuhi hasrat fana.
Cerpen yang cerdas dalam mengambarkan isu seksualitas dan peyalahgunaan obat-obatan terlarang adalah Basa-Basi Kloset. Monolog kehidupan dengan simbolisasi ruangan yang dianggap oleh sebagian orang kotor dan menjijikan tetapi bagi sebagian lagi memanfaatkannya untuk menguak nikmat dan kesenangan. Cerpen ini menggambarkan watak si kloset yang tidak pernah protes mau diapakan saja oleh pemakainya. Penulis menjelmakan suara kloset bak manusia berbicara tetapi tidak pernah didengar. Manusia tuli saat si kloset bersuara akan ketidaknyamanan dan penyimpangan perilaku manusia. Keputusasaan si kloset pun memuncak dengan mengatakan “Di dengar silakan, diabaikan silakan”. Sang kloset menjadi saksi bisu melihat manusia menghisap heroin, suntikan, hubungan intim terlarang, dan onani dengan nikmatnya. Manusia tidak pernah memikirkan perasaan si kloset yang kerap dikotori tanpa perasaan. Penulis menyimbolkan kehidupan dengan satire kloset tentang perilaku dosa dan menyimpang manusia. Dengan bahasa lain, penulis mungkin ingin mengatakan bahwa jangankan kloset, Tuhan saja kerap diabaikan dan dibuang jauh-jauh kehadiran-Nya saat manusia mereguk nikmat, apalagi sang kloset yang amat teraniaya dan menjijikan itu.
Simbolisasi seks bebas dan semaunya terungkai dalam cerpen Saya Memiliki Seekor Zombie, Seekor Binatang yang Bukan Binatang dan Gugur Maple di Willamette Park. Cerpen Saya Memiliki Seekor Zombie, Seekor Binatang yang Bukan Binatang terlalu banyak bermain dan berlebihan dengan skematik dalam membangun struktur cerita. Ceritanya abstrak dan membingungkan, kalau tidak mau disebut absurd. Frasa-frasa berulang tanpa makna pasti dalam mendukung keutuhan struktur cerita membuat bosan dan bingung. Saya hanya bisa menangkap zombie yang binatang tetapi bukan binatang merupakan simbol pemuas dan peminat selangkangan. Isu seksualitas yang bebas dan suka-suka itu merupakan praktik manusia-manusia hari ini, tanpa peduli dengan norma agama dan tata krama sosial kemasyarakatan. Walaupun, sudah dicibir dan dinasehati, perilaku menyimpang tetap saja dinikmati dan sekenanya.
Gugur Maple di Willamette Park, cerpen ini menggambarkan kehidupan modern masyarakat kosmopolitan dengan segala kemudahan teknologinya. Gaya hidup masyarakat yang hedonis dan materialis tanpa mengindahkan nilai agama. Perilaku seks bebas tanpa batas. Gaya hidup ala barat yang sarat dengan godaan sehingga dapat meruntuhkan iman. Cerpen ini menyimbolkan hubungan seks bebas tanpa pengaman akan berujung pada kematian akibat penyakit kelamin berbahaya. Penulis menggambarkannya dengan kata berujung pada “jeda” atau “kematian”.
Kejelasan maknawi yang tergambar dalam akhir cerita Gugur Maple di Willamette Park saya pinjam untuk mengatakan bahwa para penulis kumpulan cerpen ini mengingatkan bahwa seks bebas, hubungan sesama jenis, perselingkuhan, dan pemerkosaan dapat berakibat pada “jeda”. Oleh karena itu, para penulis mungkin ingin bersuara agar memanfaatkan hidup dengan aman, logis, adab, dan ilmu. Ilmu yang mengajak hati dan akal tunduk pada norma sosial kemasyarakatan dan keindahan sebagai insan yang beragama.
Karya sastra berbau seksual dalam kumpulan cerpen ini bagi sebagian orang dapat dianggap sebagai pembusukan budaya karena menggambarkan hubungan intim yang vulgar. Oleh karena itu, tema seksual bisa dianggap sampah, menyampah, dan disumpah serapah. Namun, karya-karya seputar seksualitas dalam kumpulan cerpen ini mengandung sesuatu yang baru, yaitu simbolisme pesan dan pelajaran hidup dalam dunia yang girah besarnya adalah materi, syahwat, dan senang-senang. Secara simbolik kedua penulis muda ini menggambarkan akibat-akibat fatal yang dapat terjadi dari sebuah interaksi seksual terlarang.
Idealnya, hubungan heteroseksual dianggap sesuatu yang wajar selama dilandasi dengan ikatan sah sebuah perkawinan tetapi menjadi tidak wajar dan dosa apabila dilakukan tanpa ikatan perkawinan. Hal ini menjadi kritik kedua penulis terhadap praktik menyimpang kalangan tua dan muda di negeri ini—melakukan hubungan seksual tanpa ikatan perkawinan sah. Bahkan, secara simbolik kumpulan cerpen ini berisikan tentang seks bebas dan hubungan sesama jenis sebagai perilaku amoral yang tidak patut dicontoh. Penulis kumpulan cerpen ini menceritakan dan “memvisualisasikan” seks bebas dan menyimpang manusia yang dapat berakibat fatal karena bisa membawa petaka, cemeeh, dan penyakit bagi para pelakunya.
Di sisi lain, kumpulan cerpen ini begitu hidup struktur penceritaannya karena didukung dengan permainan rima. Permainan bunyi dalam bentuk disonansi, asonansi, aliterasi, sajak akhir, dan sajak tertutup yang menghidupkan struktur bahasa kumpulan cerpen. Sekadar contoh, begitu mudah kita menemukan permainan bunyi fonem mati pada akhir suku kata (sajak tertutup) dalam buku kumpulan cerpen ini, seperti deskripsi dalam “Desah di Balik Celah” berikut.
Jiwaku yang melayang baru saja kembali pulang.
Semalaman aku begadang.
Hanya untuk melihat adegan saling menyerang.
Kepalaku terasa kepayang.
Kulirik weker, pagi masih membayang.
Saya sangat mafhum bahwa tidak mudah merangkai kata dalam cerpen untuk bermain-main dengan rima dan bunyi. Setiap orang memiliki keterampilan berbahasa yang produktif (berbicara dan menulis) dan setiap orang ada bunyi dan nadanya. Akan tetapi, pemilihan kata yang mendukung bunyi untuk mendapatkan makna dan keindahan retorik, tidak semua orang dapat melakukannya. Penulis-penulis Nusantara zaman dahulu memerhatikan aspek ini tetapi hal ini bisa dianggap kuno oleh sastrawan zaman sekarang karena merepresentasikan gaya bahasa sastra tradisional. Namun, romantisme stilistik sastra tradisional dalam karya sastra modern dapat disebut sebagai rekonstruksi dan reformulasi pola bunyi sastra tradisional dalam karya-karya sastra modern, seperti yang dilakukan Riani Kasih dan Mardian Sagiant.
Permainan rima dalam cerpen-cerpen Riani Kasih sangat mendominasi dibandingkan Mardian Sagiant. Walaupun demikian, Mardian juga mengeksplorasi permainan rima dalam merangkai kalimat cerpennya, tetapi memang tidak sedominan Riani Kasih. Permainan rima yang membangun struktur narasi dalam cerpen ini seolah-olah menyembunyikan kejorokan seksualitas yang vulgar sehingga dapat melarikan sejenak imajinasi liar pembaca dengan imaji permainan bunyi.
Kami bebas, kami lepas, tanpa alas, tanpa batas. Yang ada, kami puas.
Awal kisah buram kehidupannya. Sarah dijadikan pelampiasan nafsu sesat Ramdani. Ramdani biadab, tangannya suka merayap kala isterinya si Undap lelap. Di bilik bambu sebagai penyekat, Ramdani kalap. Ramdani memaksa, Sarah meronta pun belum kuat. Tak banyak yang bisa diperbuat, hanya senyap ketika susunya diisap, selangkangannya dipenuhi otot Ramdani yang tak beradab. Hasilnya, Ramdani kian bejat. (Riani Kasih: Kutemukan Kamu di Lamban Pesagi).
Kalian tutup pintu. Mata kalian bertatap temu. Bukan rindu tapi nafsu. Menjadi birahi yang tak pandang bulu. Lalu semakin liar saling menyerbu. Lalu mulai menunjukkan keterampilannya meraba tanpa kaku. Lalu mencari sesuatu yang sepertinya tak sabar ditunggu. (Mardian: Basa-Basi Kloset).
Patut menjadi catatan penting, frasa-frasa formulaik meminjam bahasanya Lord (1971) yang berulang juga menjadi ciri kedua penulis kumpulan cerpen ini. Mereka membangun struktur cerita dengan bahasa yang oleh Sweeney (1980, 1987) disebut skematik (schemata), yaitu membentuk frasa berulang dalam merangkai cerita. Pola-pola skematik yang selama ini banyak dipraktikkan dan diamalkan pencerita lisan ternyata dilakukan dalam komposisi tulis oleh kedua penulis kumpulan cerpen ini. Harus diakui juga pola-pola skematik dalam penulisan fiksi modern dapat dilihat melalui cerpen-cerpennya Djenar Maesa Ayu. Sebagai pengkaji sastra lisan, fenomena ini bukan sesuatu yang baru buat saya. Bahkan, komposisi tulis dalam sastra Melayu Klasik menunjukkan pola skematik dalam penceritaannya.
***
Riani dan Mardian memperlihatkan dominasi skematik yang berulang dalam karya-karya mereka di dalam kumpulan cerpen ini. Cerpen “Basa-Basi Kloset” Mardian banyak menjadikan skematik dalam membangun cerita, seperti “Saya hanya sekadar basa-basi. Didengar silakan, diabaikan juga silakan. Gampang bukan?” atau “Kalian butuh pelayanan? Silakan!” Pola formulaik ini juga menjadi aliran “darah” Riani Kasih dalam setiap cerpennya, sekadar contoh dalam “Lelakiku Bernama Titik”. Cerpen ini dibangun dengan struktur frasa-frasa berulang sebagai skematik penceritaan, seperti pada akhir pekan, pada dua hari sebelum akhir pekan, pada tiga hari sebelum akhir pekan, pada empat hari sebelum akhir pekan, pada lima hari sebelum akhir pekan, pada malam akhir pekan, pada dua hari setelah akhir pekan, pada tiga hari setelah akhir pekan, pada empat hari setelah akhir pekan, dan pada akhir pekan. Selain frasa-frasa singkat, pengulangan paragraf sebagai skematik juga terjadi, seperti berikut.
Di kamar yang berukuran sempit bunyi ranjang terdengar berderit. Pada tiap akhir pekan. Bermula maksud menghabiskan jenuh. Lalu berpeluh. Lalu tulang-tulang kami terasa tak utuh. Kami. Aku dan Lelakiku bernama titik-titik.
Di ranjang tidur. Tempat kami melebur. Menyatu. Senyawa. Sejiwa. Serasa. Merengkuh maha cinta. Meregang, tanpa mengerang. Menyatu lagi. Senyawa lagi, sejiwa lagi. Kemudian kaku. Tanpa bicara apa-apa. Kami. Aku dan Lelakiku bernama titik-titik.
Di luar masih bersuara gaduh. Aku terbangun di samping tubuh yang berbau peluh. Dihasilkan semalaman melenguh-lenguh karena saling menyentuh. Lelakiku bernama titik-titik masih bersamaku.
Riani dan Mardian mengemas kisah perempuan dan lelaki dalam imajinasi yang leluasa, tanpa beban, erotis, dan kritis! Walaupun dalam penceritaannya banyak perwatakan tokoh (sisi psikologisnya) dan pelataran (suasana, tempat, waktu) yang tidak dieksplorasi lebih mendalam untuk mendukung konflik agar lebih klimaks dan menegangkan. Struktur cerita yang mereka bangun masih memungkinkan cerpen-cerpen tersebut untuk dipugar.
Kumpulan cerpen ini banyak membicarakan isu perempuan sebagai korban seksualitas lelaki sehingga menyebabkan perilaku seks perempuan menyimpang dari norma agama dan sosial. Efek dominonya, perempuan menjadi lebih liar dalam mengekspresikan gairah seksualnya terhadap pria tanpa memikirkan berbagai akibat dari hubungan terlarang tersebut.
Selain itu, kumpulan cerpen ini menyuarakan simbol patriarki lelaki yang mengumbar hasrat dan syahwat dengan memandang perempuan sebagai objek esek-esek dan menempatkan perempuan pada ranah domestik semata tanpa mengindahkan kemuliaan dan keagungan sosok perempuan.
Cerpen-cerpen ini memang “jorok”, sekaligus mengedukasi, kita bahwa fenomena selingkuh, menyukai sesama jenis, dan berzina, seperti bukan sebuah dosa dan kezaliman. Bahkan, beberapa cerpen menggambarkan contoh keputusasaan manusia terhadap hidupnya. Manusia selalu menjadikan dunia dan materi sebagai tujuan; syahwat sebagai surga tanpa mengindahkan nilai sosial dan agama; dan akibatnya keberadaban, kesantunan, dan kebudipekertian seringkali dipinggirkan dalam menjalani kehidupan di muka bumi. (Dedy Ari Asfar)