Pasukan Belanda dengan kapal Perang Tjipanas dan Tjelebes hampir kewalahan menghadapi pasukan pribumi di kawasan Kapuas Murung pada permulaan Perang Banjar bulan Juli 1859. Pasukan pribumi bukan saja bersenjatakan sumpit beracun yang menakutkan pasukan Belanda, tetapi bertahan di benteng terapung yang bernama Kutamara.
Dalam bahasa Dayak Ngaju, Kuta adalah benteng, kubu atau pagar kokoh untuk berlindung dari serangan musuh. Mara, sejauh ini masih samar-samar, karena pengertian ini jarang diketahui. Namun dari nama benteng ini, kegunaan serta tempatnya, maka bisa disimpulkan bahwa Kutamara adalah benteng terapung yang dipakai untuk berperang di sungai. Perang menggunakan Kutamara tidak menggunakan Mandau dan tombak, namun dengan peluru (sumpit, bedil dan meriam).
Catatan Rees tentang Kutamara terjadi pada abad ke-19. Jauh sebelum catatan William Rees terbit, ada catatan lebih tua yang diteliti oleh Ras Johanes, yaitu Hikayat Banjar yang ditulis pada abad ke-17. Hikayat Banjar ditulis dalam aksara Arab, untuk mengisahkan raja-raja Banjar (dari Dipa, Daha, Banjar, Kotawaringin) dan beberapa catatan tentang adat kerajaan dan negeri-negeri Koloninya. Bagian terpenting dalam Hikayat Banjar ialah kisah pertempuran pasukan Pangeran Samudera dan Pangeran Temenggung. Pertempuran pertama terjadi di sekitar Muara Bahan (kampung Bakumpai), dimana dalam ceritera itu disebutkan banyak Kutamara sebagai tempat orang membawa sumpit, bedil dan lela. Iya, kala itu orang-orang Biaju memang menjadi laskar yang membela Pangeran Samudera, sang pendiri Kerajaan Banjar.
Para periode Perang Banjar, Rees menarasikan bahwa Kutamara yang menggegerkan pasukan Belanda dibuat di Sungai Kayu, sebuah kampung orang Dayak Ngaju di hulu Pulau Petak, kawasan sungai Kapuas Biaju. Kutamara yang dibuat itu begitu kokoh, digempur dengan peluru biasa sama sekali tidak mempan, bahkan mampu menahan peluru meriam dari kapal Perang Tjipanas dan Tjelebes yang digunakan pasukan Belanda. Ada narasi pertempuran kapal Perang Belanda dengan Kutamara di Pulau Kanamit dalam lukisan dari sumber yang sama.
Kala itu, kapal Tjipanas dan kapal Tjelebes berjaga-jaga kawasan di Sungai Kapuas, setelah terjadi pertempuran antara pasukan Belanda dan pasukan Dayak di sekitar kawasan Pulau Petak. Pasukan dari kapal Perang Belanda mengetahui bahwa pasukan Sulil yang bermarkas di Sungai Kayu sedang membangun 3 Kutamara di kampung Dayak Ngaju itu. Oleh karena itu, pada 27 Juli 1859 Kapal Perang Tjipanas segera ke Sungai Kayu dan menggempur pasukan yang berada di sana. Terjadi baku tembak hampir 4 jam di Sungai Kayu, sampai akhirnya Tjipanas berhasil menguasai Kutamara dan menariknya ke Pulau Petak.
Selesai pertempuran, Pasukan Belanda mendapatkan dua Kutamara sudah selesai, satunya masih dikerjakan di Sungai Kayu. Kutamara adalah benteng apung, berbentuk kerucut dengan kemiringan 35 derajat dan mampu menampung 50 pasukan (Siyok, 2024;176). Artinya, 3 Kutamara itu dipersiapkan menampung dan memobilisasi sekitar 150 anggota pasukan Sungai. Perelaer menjelaskan dalam tulisannya bahwa pasukan Dayak ahli dalam menembak bedil dan sumpit untuk perang jarak jauh. Hanya perang jarak dekat menggunakan mandau.
Dari tulisan Schwaner kita mendapatkan informasi bahwa bedil adalah salah satu benda yang banyak dipasarkan ke Tanah Dayak, sehingga menjadi barang biasa (Schwaner, 1854; 112, 113). Di Kahayan, harga satu senapan f 16 (16 gulden), lela seharga f 20 sampai f 200 (20 sampai 200 gulden, tergantung ukuran). Untuk menjaga Kuta (kampung berbenteng), Meriam dan Lela adalah belanjaan biasa bagi orang-orang Dayak. Jadi tidak heran, bedil, meriam dan lela adalah jenis benda yang biasa dalam kehidupan orang Dayak kala itu. Pijnapple menceritakan bahwa orang-orang Dayak di Katingan menyukai bedil buatan Inggris.
Dalam peperangan antar kampung, bedil dan lela adalah senjata yang biasa dipakai. Ini terlukis dari Kuta Mehiak yang ditempati Patih Singa Negara di Sungai Sirat. Maks (Civiel Gezaghebber Tanah Dayak) menarasikan bagaimana Kuta Mehiak menahan serangan peluru orang Pari dari Mahakam. Terhadap Kuta yang sama, Perelaer menarasikan bagaimana pasukan Tamanggung Surapati dari Tanah Siang dan Dusun menggempur kawasan itu dengan bedil dan lela, namun gagal karena kokohnya ulin Kuta Mahiak.
Terhadap Kutamara dari Sungai Kayu yang sudah dikuasai, Belanda tidak kalah akal, Kutamara itu ditarik ke Banjarmasin untuk diteliti. Pasukan Belanda benar-benar kagum dengan kekuatan Kutamara itu. Benteng ini didesain sedemikian rupa, dengan landasan kayu bulat, berlantai papan, dengan dinding berbilah yang bergerak tatkala terkena tembakan, sehingga sangat kuat untuk ukuran perang kala itu, karena mampu menahan gempuran artileri seberat 30 pon (Siyok, 2024; 177).
Tidak heran, Perelaer (Civiel Gezaghebber Tanah Dayak setelah HG Maks) menganggap orang Dayak sebagai pasukan hantu yang tak terkalahkan di sungai. Mereka mengenal teknik perang Parabah dan berlindung di balik Kutamara ketika berhadap dengan senjata modern dan pasukan. Pasukan Mayor Schuak babak belur di Sungai Montallat oleh pasukan orang Dayak Murung, dan bahkan Schuak hampir binasa oleh serangan Parabah (Siyok, 2024; 192).
Sejauh ini, berdasarkan sumber-sumber tertulis, Kutamara hanya digunakan untuk perang sungai yang melibatkan orang-orang Dayak Biaju. Tercatat dalam dua sumber, yang pertama dalam sastra Hikayat Banjar yang diteliti dan dibukukan oleh Johanes Jacobus Ras dalam Hikayat Bandjar: A Study in Malay Historiography dan kedua oleh Willem Adriaan Rees dalam De Banjermasingsche Krijg.
Damianus Siyok