Sepanjang perjalanan Tapang Sambas-Sintang, saya ngobrol dengan Frau Rita Hornman dari Holland ihwal masa lampau.
Rita adalah salah satu konsultan, tenaga ahli dari luar negeri yang selama ini membantu Keling Kumang Group di dalam mengakselerasi kinerja unit usaha Hotel. Sekaligus memfasilitasi berbagai kerja sama luar negeri.
Dia suka bertanya pada saya ihwal kehidupan (komunal) Dayak di masa lampau. Salah satu yang ia kaget jawaban saya atas pertanyaannya: “Kenapa orang Dayak memiliki daya saing tinggi, dan jika ada ancaman, kompak bersatu padu?”
Jawab saya: karena dahulu kala mereka saling ngayau dan terbiasa kalah dan mengalahkan. Tapi praktik kayau-mengayau sudah disepakati dihentikan tahun 1894 di Tumbang Anoi. Namun, apabila ada orang hebat yang bisa menyatukan mereka, maka kelemahan itu menjadi kekuatan. JIka ada seorang superleader, yang kekuatan dan kesaktiannya di atas kepala sutau klan, maka ia akan diikuti. Seorang pemimpin Dayak harus lebih super daripada pengikutnya.
Rita setuju dan merasa menemukan pembenaran secara historis.Contohnya, gerakan ekonomi kerakyatan di Kalimantan yang berakar kuat sejak 1970-an yang dipelopori oleh CU, salah satunya CU Keling Kumang. Dalam seajrah dan praktiknya, CU hanya bisa tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang relatif homgen, saling percaya, dan tinggi nilai dan semangat bela rasa.
Lalu kami berkisah ihwal zaman kompeni. VOC itu usaha dagang, jadi bukan mewakili pemeriintah resmi, apalagi bangsa Holland. Tak ubahnya sebuah badan usaha dagang zaman now.
Saya lalu menunjukkan foto gaya meneer ondeneming zaman kompeni Belanda dan kompeni zaman now. Hanya saja, kompeni zaman now klimis, tidak pelihara kumis.
Ia terbahak-bahak…
Kompeni Hindia Belanda memang menampilkan ciri sebagai meneer, haaren yang merasa kastanya paling tinggi. Itu dulu. Kini kita setara.
Pelajaran dari VOC adalah bahwa dunia bisa saja terbalik. Jika dahulu mereka yang menggaji kita, kini kita yang menggaji mereka.
sumber: Google/istimewa. Gaya kompeni di Nusantara dahulu kala.