Pisang Pontianak.
Ini hanya suatu branding. Merek dagang. Yang dibangun, sedemikian rupa, sehingga “nancap” di kepala orang.
Membayangkan nama, orang langsung ingat citarasanya. Juga bentuk. Serta harum aroma. Juga citarasanya yang perisa, gurih, khas dengan bumbu srikaya.
Di Jakarta, banyak ditemui kedai-kedai yang jualannya khusus pisang pontianak.
Antrean bisa sepanjang 3 meter. Menunggu berjam-jam, tapi para pembeli setia berkanjang.
Itulah para pelanggan setia. Mereka telah termakan pikiran, bayangan, kemudian baru makanan itu sendiri yang tersaji dalam: pisang pontianak.
Ada beda pisang pontianak di Jakarta dan di Pontianak. Di mana bedanya?
Pisang pontianak yang dijual di Jakarta, agak kurang segar. Dan keriput. Jangan-jangan….
Di Jakarta, pisangnya kecil (sebesar jempol orang dewasa), tepungnya tebal. Meski besarnya setapak tangan anak balita!
Di Pontianak, sebaliknya: pisangnya besar, tepungya tipis!
Harga?
Lebih mahal di Jakarta. Namanya juga ibukota. Yang dianggap pembelinya kelas atas.
Apakah benar pisang Pontianak? Saya bertanya langsung kepada pedagang di Jalan Jayakarta, Jakarta.
“Benar. Ini pisang naik pesawat. Kadang dikirim lewat kapal. Maka mahal harganya.”
Namun, saya saksikan. Pisang pontianak di Jakarta, telah kurang segar. Lagi pula, tak seperti di kota aslinya: segat, fresh from the tandan, tanpa karbit!
Kadang saya saksikan tandan pisang pontianak yang dijual di Jakarta, agak kurang segar. Dan keriput. Jangan-jangan….
Tapi tetap laku juga!
Di Pontianak, makan 2 pisang goreng pontianak saja perut sudah kenyang. Bisa ditemui, dan dibeli di mana saja, pasti ada jual. Entah di emperan toko, entah di kedai kopi. Kedai kopi di sepanjang Jalan Tanjung Pura, Gadjahmada, dan Setia Budi; Pontianak pasti senantiasa sedia: pisgor ponti khas dengan bumbu srikaya.
Harga per pisgor: rp 5.000. Sembari nyeruput kopi, duhai sedap. Mak nyuzzz sekali itu pisang pontianak!