Buku, sekurang-kurangnya untuk saat ini, belum menjadi kebutuhan utama di negeri Pancasia. Buku-buku sering menjadi “penunggu setia” di supermarket, di toko-toko maupun di pusat perbelanjaan.
Bagi sebagian besar masyarakat kita, buku masih menjadi barang mewah. Dibandingkan jumlah penduduk, total produksi buku nasional kita bagai membandingkan bumi dan langit.
Baca https://bibliopedia.id/makan-buku-3/?v=b718adec73e0
Timbul pertanyaan: Mengapa buku belum menjadi kebutuhan? Jawabannya tentu bermacam-macam. Ada yang mengaitkannya dengan minat baca masyarakat kita yang masih rendah.
Ada pula yang memandang lesunya perbukuan di Indonesia erat kaitannya dengan tingkat buta huruf yang masih tinggi (sekitar 17 juta). Sedemikian rupa, sehingga mempengaruhi minat baca. Lantas, ada pula anggapan yang mengatakan bahwa buku belum menjadi kebutuhan di Indonesia disebabkan kebutuhan mendasar (sandang, pangan, dan papan) belum bisa terpenuhi. Bahkan, kenyataan menunjukkan, masih banyak masyarakat kita berada di bawah garis kemiskinan.
Maka wajarlah, jika buku belum menjadi kebutuhan di Indonesia. Jangankan untuk membeli buku, mencukupi kebutuhan dasar pun, masyarakat kita masih susah payah. Ini, tentu saja, banyak pengaruhnya pada perkembangan dan pengadaan buku-buku. Sebab, penerbit tentu secara matematis menghitung kondisi pasar, sebelum memberi keputusan memilih, mencetak, dan memasarkan sebuah buku.
Apabila diamati, perhitungan semacam inilah yang ada di benak penerbit Indonesia pada saat ini. Itu sebabnya, sejak tahun 1987, produksi buku nasional semakin menurun. Tahun 1987, di Indonesia diproduksi sebanyak 6.000 judul buku. Sedangkan tahun 1988-1989 ratarata diproduksi hanya 4.000 judul saja.
Data 2 tahun terakhir (2021), pengajuan ISBN mendekati 50.000, namun buku yang terbit tidak ada separuhnya.
Selain daya beli masyarakat yang rendah, tentu saja, masih banyak masalah lain yang menyebabkan produksi buku nasional semakin anjlog.
Konsumsi KertasTerendah
Kertas kini memang semakin langka. Gerakan “Green economy”, yang gencar mengkampanyekan tidak mengkonsumsi produk yang berasal dari perusakan dan penebangan pohon, mempengaruhi produksi kertas. Sedemikian rupa, sehingga konsumsi kertas yang menunjukkan peradaban literasi; jadi bukan ukuran satu-satunya lagi.
Akan tetapi, kacamata kita akan semakin gelap memandang perbukuan nasional, jika kita melongok ke sesama negara ASEAN. Di antara negara ASEAN saja, kita berada di urutan paling bontot, dalam hal produksi buku.
Sebagai gambaran sekilas, di bawah ini adalah perbandingan konsumsi kertas per kepala keluarga setahun di berbagai negara.
NEGARA KEBUTUHAN KERTAS UNTUK BACA/TULIS
Amerika Serikat 317,8 kg
Jepang 204,5 kg
Australia 155,5 kg
Singapura 95,5 kg
Malaysia 25,0 kg
Thailand 17,0 kg
Filipina 9,0 kg
Indonesia 8,7 kg
India 8.0 kg
Rata-rata dunia 43,8 kg
Sumber: UNESCO
Menurut catatan UNESCO,dari rata-rata 500.000 judul buku setahun yang diterbitkan di dunia, sekitar 225.000, atau 45,4%, berasal dari negara-negara Eropa.
Dan hanya Amerika Serikat, memproduksi sebanyak 20.000 judul buku setahun. Ini belum termasuk bukubuku teks untuk siswa dan mahasiswa. *)
sumber gambar: https://www.dreamstime.com/stock-image-reading-book-image13058461