Dari kata “travel”, bepergian, plesir, jalan-jalan. Dan “essay”, tulisan . Namun, apa yang dimaksudkan dengan “travel essay” dan tempatnya dalam rubrik media pada umumnya.
Pengertian dan tempat
Menyebut travel esaay, ingatan kita langsung menohok pada sebuah perjalanan yang ditulis dengan gaya berkisah. Tepat sekali kesan tersebut, sebab memang demikianlah hakikat sebuah travel essay: sebuah ragam tulisan nonfiksi yang ditulis dengan gaya dan menerapkan kaidah-kaidah sastrawi.
Dengan kata lain, travel essay ialah sebuah perjalanan yang dialami dan dihayati penulis yang ditulis menerapkan gaya dan kaidah sastra dan menyentuh emosi pembaca.
Gaya Berkisah
Teknik menulis travel essay (kisah perjalanan) ialah dengan mengandalkan story telling: bagaimana teknik bercerita. Yang paling bagus memang jika kisah perjalanan yang ditulis dialami sendiri atau secara langsung dihayati. Tulisan yang dihayati secara langsung akan menghasilkan daya dobrak dan daya pikat luar biasa.
Oleh karena itu, penulis kisah perjalanan hendaknya mulai tulisannya dari pengalamannya yang menarik. Apa objek yang memikat? Manakah bagian yang paling menggetarkan? Dan parorama apa yang eksotik, yang tidak ditemui di tempat lain?
Namun, apa langkah-langkah dan bagaimana menulis travel writing?
- carilah dan kumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang rute perjalanan
- tujuan perjalanan itu apa?
- apa keunikannya?
- Panorama apa saja yang menarik perhatian?
- Perkayalah informasi dan pengetahuan Anda dengan referensi (bisa dari panduan perjalanan, buku, ensiklopedi, atau wawancara).
- Lengkapi tulisan dengan foto/gambar. Ingat bahwa dalam tulisan dan gambar saling melengkapi. Bahkan, kerap gambar mewakili seribu kata (a picture is worth a thousand words).
- Baru mulai menulis sesuai dengan gaya dan kaidah sastra yang berkisah.
Contoh travel essay
Tangkuban Prahu: Objek Wisata yang Menebar Sejuta Pesona
Menyebut Tangkuban Prahu, ingatan langsung terpanah pada kisah kasih Sangkuriang-Dayang Sumbi. Sebuah legenda penuh misteri yang coba menjelaskan perahu terbalik separuh-jadi. Dan kini, perahu separuh-jadi itu menjelma menjadi kawah gunung berapi yang menebar sejuta pesona. Berketinggian 2.076 di atas permukaan laut, menjulang di atas bumi Priangan.
Syahdan, Sangkuriang, pemuda yang tinggal di lereng pegunungan di Kabupaten Subang, jatuh cinta pada wanita molek bernama Dayang Sumbi. Sayang, kisah kasih dua anak manusia itu harus berujung tragis.
Lereng Tangkuban Prahu yang terjal dan curam. Simbol cinta Sangkuriang-Dayang Sumbi yang juga terjal dan curam, penuh lika liku dan sarat gelora cinta membara.
Dayang Sumbi harus segera menghentikan petualangan cinta pemuda yang sempat jatuh ke pelukannya. Setelah melihat tanda luka di kepala pemuda itu, Dayang Sumbi langsung mafhum bahwa pemuda akan yang melamarnya adalah anaknya sendiri.
Dihadapkan pada buah simalakama seperti itu, tentu saja Dayang Sumbi sulit memilih. Baiklah! Ia akan meminta mas kawin yang tidak mudah dipenuhi. Dalam waktu semalam, sang pemuda harus memberinya sebuah perahu besar buah tangan dan kucuran keringatnya sendiri.
Tak dinyata, dalam sekejap, perahu hampir jadi. Hari masih gelap. Belum ada tanda-tanda cahaya merekah di garis langit sebelah timur. Jika perahu jadi sebelum fajar tiba, bisa celaka. Maka Dayang Sumbi harus segera memutar otak. Apa akal?
Setelah semakin terdesak, akhirnya muncul ide padanya. Dayang Sumbi menyuruh penduduk membunyikan kentongan sebelum fajar menyingsing. Dengan begitu, ia menggagalkan rencana Sangkuriang yang tengah mengerjakan perahu bersar untuknya sebagai syarat sebelum matahari terbit. Itulah syarat yang diminta Dayang Sumbi sebagai bukti Sangkuriang benar hendak meminangnya.
Upaya Dayang Sumbi berhasil. Perahu besar yang disiapkan Sangkuriang untuk kekasihnya tidak pernah jadi kenyataan. Perahu belum juga rampung sebelum fajar menyingsing dan matahari terbit di ufuk timur. Sementara bunyi kentongan bertalu-talu. Ditingkah oleh kokok ayam sahut-sahutan menyongsong pagi.
Perahu Sangkuriang tidak selesai pada waktu yang ditetapkan. Karena belum selesai maka bentuk perahu itu terbalik. Lama kelamaan perahu berubah bentuk menjadi kawah gunung berapi. Itulah kawah Gunung Tangkuban Prahu.
Pemandangan sekitar selalu dislimuti kabut, namun panorama tetap menawan.
Kebanggan Jawa Barat
Kini kawah gunung berapi yang berketinggian 2.076 meter di atas permukaan laut ini jadi objek wisata menarik kebanggan masyarakat Jawa Barat. Selain berhawa sejuk, tanahnya juga subur. Jarang menyaksikan daerah ini tidak diselimuti oleh kabut. Meski demikian, kabut tipis tidak mengahalangi mata memandang keindahan sekitar.
Alam sekitar penuh dengan lahan luas membentang, subur makmur, aman sentosa. Sangat cocok untuk pertanian. Demikian suburnyasehingga bumi Parahiyangan ini menggoda Abraham van Riebek, seorang warga Belanda, menanam kopi.
Seorang warga kulit putih untuk pertama kali tercatat sebagai pendaki Gunung Tangkuban Prahu. Sekaligus melakukan ekspedisi dalam rangka menyelidiri kemungkinan lokasi sekitar dapat dijadikan onderneming (perkebunan kopi besar-besaran ). Pendakian yang membahayakan itu terjadi tahun 1713, tatkala Riebek tewas dalam pendakian. Ia mengembuskan napas terakhir dalam perjalanan kembali.
Toh bukan Riebek semata bule yang rela mati dalam “pelukan” perut bumi Tangkuban Prahu. Franz Wilhem Junghun, pakar botani dan pecinta alam keturunan Jerman pun tercatat sebagai petualang yang pertama mati di tanah Priangan. Ialah yang berjasa membudayakan tanaman kina di tanah Priangan, tanaman obat yang kemudian menghebohkan lantaran terbukti dapat menyembuhkan penyakit malaria.
Selain kina, tanaman yang tumbuh subur di lereng-lereng Gunung Tangkuban Prahu ialah kembang kol, sawi, wortel, tomat, lobak, dan sebagainya. Hasil pertanian dijual ke kota, atau langsung dibeli oleh pengunjung di tempat.
Meski semenjak abad 17 Tangkuban Prahu sudah kesohor, jalanan menuju objek wisata baru dibuka pada 1906. Itu pun bukan atas biaya sendiri.
Atas prakarsa Bandoeng Vooruit, sebuah organisasi Belanda yang bertujuan membantu dan mendampingi pemerintah membangun Bandung, khususnya pembangunan sektor wisata, jalanan menuju Tangkuban Prabu lantas diretas. Belanda memang dikenal sebagai bangsa penjajah di Nusantara. Namun, jasanya juga ada. Misalnya, Belanda membangun jalan kereta api, jalan raya, dan memberi perhatian pada sektor pariwisata.
Sepuluh kawah
Tangkuban Prahu sesungguhnya menyimpan sepuluh kawah, besar kecil. Kawah-kawah yang menarik antara lain Kawah Ratu, Kawah Upas, Kawah Baru, Kawah Jurig, dan Kawah Domas. Ditengarai kawah-kawah itu terbentuk akibat letusan Gunung Tangkuban Prahu yang terjadi tahun 1846, 1887, 1910, 1926, dan 1929.
Kawah-kawah tersebut terletak di perbatasan antara Kabupaten Bandung dan Kabupaten Subang. Objek wisata ini boleh dikatakan cukup mudah dicapai melalui jalan darat, dapat menggunakan berbagai jenis kendaraan, baik roda dua maupun roda empat. Terserah mau pilih jalan mana, yang jelas, untuk menjangkau lokasi tersedia banyak alternatif. Bisa lewat jalur Bandung, Cimahi, atau Subang. Tidak akan sesat, sebab semua jalan itu berakhir di Tangkuban Prahu.
Selain mudah dicapai, biaya masuk ke objek wisata terbilang murah meriah. Setiap kepala orang dewasa dipungut Rp500,00. Sedangkan untuk mobil pribadi dikenakan biaya Rp2.500,00. Jika mengendarai mobil pribadi waspadalah! Sebab jalan yang dilalui berkelok dan curam.
Beberapa ratus meter sebelum mencapai lokasi, di kiri dan kanan jalan, Anda menyaksikan berbagai barang dagangan dan cindera mata. Mulai dari wayang golek, kaos olong dan sweeter bertuliskan “Tangkuban Prahu”, topi, sayur mayur, dan aneka dagangan lainnya.
Yang terasa khas adalah bau belerang yang selalu siap menyambut kedatangan setiap tamu. Bagi Anda yang mengidap penyakit kulit, belerang dapat dibeli atau bisa mengambil sendiri, asalkan sudah menyiapkan wadahnya.
Kawah Ratu adalah kawah paling awal dilalui. Dari sana, naiklah hingga Stasiun Geologi, stasiun pengawas gunung berapi. Letaknya di bagian atas punggung gunung berapi.
Jika Anda punya nyali, dari lokasi ini ambillah jalan menuju ke Kawah Domas. Kawah paling menarik lantaran masih aktif dan selalu mengeluarkan asap belerang. Yang terasa khas ialah dari Kawah Domas dibuatkan jalan setapak pagi pejalan kaki sepanjang dua kilometer hingga pintu gerbang.
Pesona lain Tangkuban Prahu ialah sumber airnya yang bening dan berkualitas tinggi sebagai air minum. Namun, penting dicamkan, tidak setiap sumber air di sini dapat diminum. Sumber air Sakrasaat misalnya, sama sekali tidak patut untuk diminum. Ini karena airnya mengandung yodium dan sulfur tinggi sehingga berbahaya untuk dikonsumsi.
Perahu buah tangan Sangkuriang memang tak sempat jadi. Namun, justru di balik legenda itu ia meninggalkan misteri sekaligus pesona. Kini perahu tak-jadi itu justru menarik dan jadi objek wisata. Tiap kali mata terpanah ke situ, ingatan kembali tertuju pada kisah asmara terlarang dua anak manusia.
Ya, misteri Tangkuban Prahu tak pernah benar-benar terkuak. Selalu ada saja sisa-sisa celah rahasia yang butuh untuk disingkap. Senantiasa ada sisi gulita dari objek wisata yang tak pernah bisa diungkap hanya lewat tatapan mata…
***