Harian Kompas edisi 29/08/2022 menghadirkan liputan khusus tentang masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah yang sudah sejak tahun 2015 lalu tidak lagi diperbolehkan untuk berladang dengan cara membakar. Cara berladang seperti ini oleh pemerintah dinilai membahayakan karena dapat menyebabkan kebakaran hutan dan lahan. Terbitlah kemudian Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.
Sebagai seorang anak peladang, saya sungguh merasa sedih membaca hasil liputan Kompas tersebut. Di mata saya, apa yang disajikan oleh Kompas lebih sebagai sebuah ratapan dari anak manusia yang tidak hanya kehilangan sumber penghidupan, tapi juga kehilangan jati dirinya sebagai manusia. Sebagai manusia Dayak.
Saya katakan kehilangan jati diri karena lewat berladang manusia Dayak mengekspresikan hakikat dirinya sebagai makhluk religius dan juga makhluk sosial. Kompas sudah sangat tepat ketika mengatakan jika tradisi berladang berakhir, hilang pula identitas budaya orang Dayak.
Memang akan hilang karena dengan tidak lagi berladang, maka masyarakat Dayak tidak lagi bisa merayakan Gawai adat Dayak (pesta syukur atas hasil panen). Dengan hilangnya Gawai adat Dayak, sungguh sangat sukar rasanya membayangkan bagaimana manusia Dayak menjalani dan menghayati hidup mereka.
Sebab, lewat tradisi syukuran inilah masyarakat Dayak mengekspresikan dirinya sebagai makhluk Tuhan yang tahu bersyukur dan berterima kasih untuk pemeliharan-Nya atas hidup umat-Nya. Lewat tradisi syukuran ini pula masyarakat Dayak meneguhkan kebersamaan, persaudaraan dan kekeluargaan yang menjadi sumber kekuatan dalam menjalani hidup berkomunitas.
Bahwa berladang menjadi ekspresi manusia Dayak sebagai makhluk religius dan makhluk sosial, mau menegaskan satu hal penting yakni bahwa bukan motif ekonomilah yang pertama dan utama mendorong orang Dayak untuk berladang.
Keluarga yang mendapat hasil panen yang banyak tidaklah kemudian dibayangkan akan mendapat uang yang banyak pula. Karena memang hasil panen yang mereka peroleh akan mereka simpan di dalam lumbung padi sebagai bekal untuk hari-hari mendatang. Bukan untuk diperjualbelikan di pasar.
Makan adalah kebutuhan setiap makhluk hidup. Begitu pula bagi masyarakat Dayak. Dengan berladang, mereka juga ingin agar kebutuhan tersebut selalu dapat terpenuhi. Namun, betapa pun makan itu penting bagi hidup mereka, tidak membuat para peladang menghalalkan segala cara dalam memenuhi kebutuhan tersebut.
Ada aturan-aturan adat yang mesti mereka taati. Ada kepercayaan-kepercayaan tradisional, yang mungkin di mata orang modern nampak irasional, yang wajib mereka indahkan bila hidup mereka ingin selamat dan jerih payah dalam berladang bisa menghasilkan buah yang baik.
Salah satu kepercayaan tradisional yang penulis maksudkan hadir dalam bentuk pengindahan mimpi dan tanda-tanda alam dalam rupa suara burung. Baik mimpi maupun suara burung, dalam beberapa suku Dayak, diyakini sebagai sarana yang dipakai oleh leluhur untuk menyampaikan pesan-pesan penting yang berkaitan dengan kebaikan dan keselamatan hidup perorangan maupun seluruh anggota komunitas adat.
Hal ini mau menunjukkan satu hal penting yakni bahwa, bagi masyarakat Dayak berladang bukan melulu hanya berkaitan dengan kepentingan dan keselamatan diri sendiri beserta seluruh anggota keluarga. Ia selalu menyangkut kepentingan dan keselamatan orang banyak.
Karena berkaitan langsung dengan kebaikan dan keselamatan hidup, maka pesan-pesan yang disampaikan oleh leluhur sama sekali tak boleh diabaikan. Dalam kalangan kami suku Dayak Desa, dan saya rasa juga dalam masyarakat Dayak pada umumnya, kemarahan leluhur menjadi satu hal yang sangat menakutkan. Oleh karena itulah, baik dalam hidup dan pergaulan sehari-hari, pun dalam berladang, masyarakat selalu berupaya hidup harmonis dengan leluhur.
Ritual adat pati gupung dalam masyarakat suku Dayak Desa kiranya bisa menjadi contoh untuk menerangkannya. Gupung adalah tempat makam leluhur. Tanah pamali. Tidak boleh dijadikan tempat untuk berladang ataupun berkebun.
Bagi siapa saja yang berladang berdekatan atau bersebelahan dengan gupung selalu diperingatkan, terutama ketika membakar ladang, supaya berhati-hati. Jangan sampai api menjalar ke dalam gupung.
Dan bila gupung itu sampai termakan api, ritual adat pati wajib hukumnya untuk dilakukan. Melalui ritual adat ini warga kampung mau memohon ampun karena telah merusak kediaman leluhur mereka. Sembari juga memohon agar hal-hal buruk jangan sampai menimpa keluarga yang empunya ladang. Juga warga kampung lainnya.
Terbakarnya hutan, terlebih lagi hutan tempat di mana para leluhur bersemayam, tentu saja telah mengganggu, jika tidak merusak, keharmonisan dengan para leluhur. Relasi harmonis yang sudah terganggu itu harus segera dipulihkan. Pemulihan tersebut harus dilakukan agar ke depannya segala usaha dan jerih payah dalam berladang selalu direstui dan diberkati oleh para leluhur.
Proses peladangan masyarakat Dayak memang kaya dengan ritual adat. Mulai dari saat memilih dan menentukan lokasi sampai dengan pesta syukur atas hasil panen (Gawai adat Dayak). Ritus-ritus adat itu dilakukan dengan tujuan untuk mengucap puji dan syukur kepada Yang Mahakuasa karena telah menganugerahkan alam sebagai tempat untuk hidup dan mencari nafkah; memohon ijin kepada Sang Penguasa Tanah kalau mereka akan berladang di lokasi tersebut; memohon berkat dan perlindungan atas segala jerih payah dalam berladang.
Dan di atas segalanya, agar keharmonisan dengan Yang Mahatinggi, sesama, leluhur dan alam selalu terjaga dan terpelihara.
Semua yang telah dipaparkan di atas sesungguhnya mau menunjukkan bahwa aktivitas berladang, yang bagi sebagian orang tidak lebih dari sekedar aktivitas merusak hutan sehingga layak untuk dihentikan, justru menjadi jalan bagi manusia Dayak dalam memaknai hidup. Hidup seperti apa? Hidup yang selaras dan harmoni dengan Tuhan, sesama, leluhur serta alam.
Bila begitu bijaksana, hormat dan beradatnya masyarakat Dayak memperlakukan alam, pantaskah mereka dicap sebagai perusak hutan sementara dalam prakteknya ada tahapan-tahapan berladang yang mesti mereka kerjakan? Sungguh layakkah mereka dikambinghitamkan, ditangkap, diadili, dijebloskan ke penjara atas terjadinya kebakaran hutan dan lahan?