“Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama dengan Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya” (Mzm 8:5-7).
Ketika merefleksikan Gawai Dayak, saya mengajak kita untuk menyadari kalau pada Allah itu ada hidup. Dia adalah Sang Sumber Hidup, yang dari-Nya hidup kita manusia berasal. Iman keyakinan bahwa hidup kita berasal dari Allah sendiri dan oleh karena itu hidup kita sepenuhnya bergantung kepada-Nya, oleh kita orang Dayak terungkap dalam falsafah hidup Basengat Ka’ Jubata.
Dari kisah penciptaan manusia dalam Kitab Kejadian dikatakan kalau manusia itu dibentuk dari debu tanah. TUHAN Allah kemudian menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya dan sejak saat itulah manusia menjadi makhluk yang hidup (bdk. Kej 2:7).
Keterciptaan dari debu tanah mau mengatakan bahwa kita adalah makhluk yang terbatas, namun pada saat yang sama juga hendak menegaskan kalau manusia bukanlah makhluk ciptaan yang jahat. Manusia tidak dibentuk dari kekuatan-kekuatan negatif, tapi dari tanah baik yang adalah milik Allah sendiri (bdk. Paus Benediktus XVI, 1995, hlm. 42-43).
Keterciptaan manusia dari tanah tentulah belum tuntas bagi kita untuk memahami apakah manusia itu. Kita harus beranjak kepada kisah penciptaan yang lain yang menggambarkan manusia dalam cara yang lebih mendalam. Kisah penciptaan yang satu ini mengatakan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (lih. Kej 2:7). Keterciptaan menurut gambar dan rupa Allah mau mengatakan bahwa setiap manusia dikenal dan dicintai oleh Allah.
Setiap kita dikehendaki oleh Allah, dan setiap kita adalah gambar Allah. Dan yang tak kalah penting, sebagai gambar Allah, manusia bukanlah makhluk yang tertutup bagi dirinya. Menjadi gambar Allah itu menyiratkan relasionalitas (bdk. Op.cit., hlm. 45-47).
Konsili Vatikan II dengan begitu mendalam menegaskan: “Akan tetapi, Allah tidak menciptakan manusia seorang diri: sebab sejak awal mula “Ia menciptakan mereka pria dan wanita” (Kej 1:27). Rukun hidup mereka merupakan bentuk pertama persekutuan antarpribadi. Sebab dari kodratnya yang terdalam, manusia bersifat sosial; dan ia tidak dapat hidup tanpa berhubungan dengan sesama dan mengembangkan bakat-pembawaannya.” (Gaudium et Spes, 12)
Sebagai citra Allah, manusia mempunyai martabat sebagai pribadi yang mampu mengenali dirinya, menyadari kebersamaan dirinya dengan orang lain, dan bertanggung jawab atas makhluk ciptaan lain. Manusia adalah rekan kerja Allah dalam menata, menjaga, memelihara dan mengembangkan seluruh alam semesta ini. Allah memberikan kepercayaan kepada manusia untuk memelihara dan mengolah dengan bijaksana alam semesta ini serta berupaya menciptakan hubungan yang harmonis di antara semua ciptaan (bdk. Kej 2:15) (Nota Pastoral KWI, 2013, no.10).
Paus Yohanes Paulus II dalam salah satu pesannya untuk Hari Perdamaian Sedunia mengajarkan bahwa ketika kita berdamai dengan Tuhan, kita akan mampu mengabdikan diri untuk membangun perdamaian dengan semua ciptaan yang tidak dapat dipisahkan dari perdamaian di antara semua manusia (www.vatican.va).
Dalam konteks kita orang Dayak, apa kemudian relevansi pengakuan iman akan manusia sebagai makhluk yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah? Dalam religiositas orang Dayak, ungkapan hidup ilahi itu dinyatakan dalam roh atau semangat (semengat atau semongat). Bahwa manusia memiliki semengat (berhakikat transenden) mau menggarisbawahi beberapa poin penting berikut.
Semengat membuat manusia selalu terarah dan terbuka pada Yang Ilahi. Berkat keterciptaannya menurut gambar dan rupa Allah, manusia memiliki dimensi transenden di dalam dirinya. Dimensi transenden inilah yang menjadikan manusia selalu terbuka dan terarah kepada Tuhan. Pemahaman ini dikenal dengan istilah humanisme transendental. Adalah Karl Rahner, seorang teolog asal Jerman, yang mempopulerkan istilah ini.
Lewat istilah dan gagasannya ini Rahner hendak menyatakan bahwa manusia selalu sudah terarahkan kepada yang lain di luar dirinya. Dia terbuka untuk manusia yang lain, juga untuk segala benda di dunia. Namun, yang lebih penting manusia terarah kepada dasar segala yang ada, yakni Nan Mutlak. Keterarahan pada Allah merupakan dasar segala pengetahuan dan tindakan konkrit (bdk. Tom Jacobs, 2002, hlm. 82).
Beragam ritual adat dalam proses peladangan mulai dari pemilihan lokasi (mangul) sampai dengan pesta syukur atas hasil panen (Gawai Dayak) barangkali dapat dimaknai sebagai keterarahan dan keterbukaan manusia kepada yang Yang Mutlak.
Ritual dilakukan sebagai bentuk permohonan ijin kepada Petara Raja Juwata sekaligus memohonkan berkat agar pengerjaan ladang berjalan dengan lancar, serta agar mendapat hasil panen yang berlimpah. Sekaligus juga sebagai rasa hormat, sembah dan puji kepada Sang Petara yang telah menganugerahkan alam sebagai tempat untuk berladang.
Semengat menggerakkan mereka untuk berbuat kebaikan terhadap ciptaan lain. Manusia merupakan ciptaan yang paling mulia dan sempurna. Sebagai ciptaan yang paling mulia dan sempurna manusia harus menjadi teladan bagi ciptaan yang lain. Menjadi teladan dimaksudkan bahwa manusia harus selalu mengusahakan cinta kasih, perdamaian, kebenaran dan keadilan dalam hidup sehari-hari (bdk. Tjilik Riwut, 1984, hlm. 482).
Semengat memampukan mereka untuk menangkap dan membaca tanda-tanda kehadiran Yang Transenden dalam peristiwa atau gejala alam. Berkat semengat, mereka mampu membaca fenomena alam yang bisa mendatangkan berkat ataupun kutuk.
Sebuah kemampuan yang tentu saja sangat berguna terutama dalam kehidupan agraris masyarakat adat Dayak Desa. Mendapatkan hasil panen yang baik dan berlimpah tentu saja menjadi keinginan setiap warga. Akan tetapi, keinginan tersebut tidak pernah boleh mengabaikan pesan dari Yang Ilahi atau para leluhur yang hadir lewat tanda-tanda atau fenomena alam. Lewat suara burung atau mimpi, misalnya. Pengabaian terhadap pesan tersebut hanya akan mendatankan bencana bagi diri sendiri, keluarga dan seluruh anggota komunitas.
Semengat memampukan mereka menjalin komunikasi dan relasi yang baik dengan sesama. Dari dua sumber di atas yang saya jadikan sebagai rujukan demi memperjelas gagasan Karl Rahner soal humanisme transendental, dikatakan bahwa manusia selain sudah selalu terarah kepada Tuhan, dia juga terbuka untuk manusia yang lain. Hal ini ingin mengatakan bahwa manusia berhakikat interkomunikatif.
Di sini mau ditampilkan hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Setiap orang itu ada, tumbuh dan berkembang bersama dan selalu dalam relasi dengan orang lain serta alam ciptaan. Inilah dimensi sosial manusia. Oleh karena itu, adalah sebuah pengingkaran yang fatal terhadap kodrat sosial itu sendiri bila dalam hidup berkomunitas ada anggota yang terabaikan.
Semengat memampukan manusia untuk merawat alam serta mengolahnya dengan penuh hormat dan beradat. Alam memiliki jiwa tersendiri, bersifat sakral dan kerap dipersonifikasi sebagai wujud yang mengatasi kuasa manusiawi, yang kepadanya manusia harus menyesuaikan diri, memberikan hormat dan sembah. Pandangan hidup yang demikian mendorong manusia untuk mengembangkan sikap harmoni terhadap alam. Agar tidak terjadi bencana dan malapetaka, maka keharmonisan itu harus terus dijaga.
Betapapun manusia dianugerahi segala kemampuan berkat adanya semengat di dalam dirinya, masyarakat Dayak meyakini kalau semangat itu bisa menjadi lemah. Semengat yang telah menjadi lemah tentu saja harus dikuatkan kembali. Bagaimana cara mereka menguatkannya, saya ulas dalam artikel lain tentang tradisi betabak.
Sumber foto: katolisitas.org