Gereja Katolik dan Pasukan Merah TBBR: harus(nya) berjalan bersama
Bagi saya pribadi adalah sebuah ironi ketika menyatakan diri 100% Katolik dan menyatakan perjuangannya berpedoman kepada Tuhan, namun pada saat yang sama mau menghukum adat pastor yang coba memberi pencerahan dari perspektif iman Katolik. Oleh karena itu, di dalam sikap diam Gereja atau hirarki, yang oleh Masri Sareb Putra dkk dilihat sebagai tanda setuju, bagi saya lebih kepada sikap menjaga suasana agar tetap tenang dan damai. Tidak ingin menimbulkan kegaduhan.
Akan tetapi jika mau jujur, di balik sikap diam itu sesungguhnya juga tersembunyi rasa takut. Takut terkena hukuman adat kalau berbicara tentang Pasukan Merah TBBR dengan segala aktivitasnya. Saya pun bertanya, apakah Pasukan Merah TBBR adalah kelompok yang anti terhadap segala kritik dan masukan? Sehingga siapa pun yang mencoba melakukannya akan dilihat sebagai tindakan menghina martabat dan harga diri mereka?
Ingatan dan rujukan kepada teologi pembebasan sama sekali tidak berpretensi memasukkan Pasukan Merah TBBR sebagai penganut atau pengikut ideologi Marxisme. Seolah-olah mau mengatakan kalau perjuangan mereka dalam memanusiakan sesama dijiwai oleh hukum pertentangan antarkelas sosial, dan karena itu memakai jalan kekerasan. Pasukan Merah TBBR adalah kelompok yang cinta damai. Bahwa dalam banyak kesempatan mereka menyatakan diri sebagai kelompok yang setia pada NKRI dan Pancasila, juga anti-radikalisme, kiranya dengan jelas mau menegaskan kalau mereka adalah orang yang terbuka terhadap segala masukan dan kritikan.
Pasukan Merah TBBR juga selalu menegaskan dirinya sebagai kelompok yang melestarikan adat dan budaya suku Dayak. Lewat penegasannya itu Pasukan Merah hendak menyatakan diri sebagai pelestari kearifan lokal. Sebagai pelestari kearifan lokal, maka sudah dengan sendirinya mereka menjadi pribadi-pribadi yang terbuka.
Sebab, kearifan lokal itu sendiri memiliki karakter yang merangkul sekaligus menyambut. Ia memungkinkan manusia berdialog dengan kehidupan keseharian secara lebih terbuka. Kearifan lokal berbeda dengan ideologi yang memiliki karakter koersif dan antagonis terhadap pihak lain. Ia membuat manusia terkungkung dan terkurung (Armada Riyanto et al, 2015: hlm. 33).
Soal Pastor Lukas Ahon – termasuk saya yang menuliskan artikel ini atau siapa pun nanti yang ingin menyuarakan pendapat, kegelisahannya, hemat saya tidak seharusnya diancam atau dibungkam dengan hukuman adat. Sebagai seorang pemimpin umat, beliau sedang menjalankan salah satu fungsinya seperti yang ditandaskan oleh Konsili Vatikan II dalam dokumen Presbyterorum Ordinis (Dekrit tentang Pelayang dan Kehidupan Para Imam), yakni untuk mengajar serta memperingatkan agar umat Allah terkasih selalu hidup selaras dengan ajaran dan hidup Kristen demi mencapai kedewasaan Kristiani. Tanggung jawab itu dijalankan semata-mata untuk mendukung pertumbuhan rohani Tubuh Kristus. Bukan untuk melayani kepentingan suatu ideologi atau bagi suatu partai. (PO, 6).
Dan seturut nasihat Rasul Paulus kepada Timotius: “Siap sedialah, entah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegurlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran” (2 Tim 4:2), saya yakin beliau menegur dan menasihati dengan segala kesabaran dan kasih seorang bapak yang sayang dengan anak-anaknya. Apakah seorang bapak yang menegur, menasihati, mengajar anaknya karena sang anak melakukan kesalahan, layak kita sebut atau kita tuduh sedang merendahkan martabat dan harga diri si anak?
Kita tentu bisa memahami mengapa Pasukan Merah TBBR merasa tersinggung ketika ada pihak yang merasa kurang nyaman dengan praktek atau ritual adat yang mereka lakukan. Hal itu terjadi karena Pasukan Merah meyakini warisan leluhur yang coba mereka hidupkan kembali itu luhur adanya. Sehingga siapa pun yang mencoba mengusik akan serta merta dianggap sebagai upaya merendahkan warisan leluhur itu sendiri.
Pemahaman yang sama semestinya juga dimiliki oleh seluruh anggota Pasukan Merah TBBR. Pemahaman bahwa Gereja Katolik juga memiliki kebenaran dan perbendaharaan iman (depositum fidei) yang telah dipelihara oleh Gereja dalam bimbingan Roh Kudus selama ribuan tahun. Sudah tak terbilang banyaknya jumlah para martir yang rela mengorbankan nyawanya demi membela dan mempertahankan kebenaran iman.
Kasus yang menimpa Pastor Lukas Ahon memang seolah mau mengatakan kalau selama ini masih ada tembok yang menghalangi keduanya untuk bisa berjalan bersama. Akan tetapi, bukan berarti tembok itu tidak bisa dirobohkan. Bukan berarti jalan yang memimpin kepada kemungkinan untuk berjalan bersama sudah tertutup sama sekali.
Upaya untuk saling memahami menjadi begitu penting agar di tengah dunia di mana orang kerap lebih suka mementingkan diri dan kelompoknya, Gereja dan Pasukan Merah TBBR bisa saling bergandengan tangan dalam membangun tata kehidupan bersama yang semakin bermartabat.
Secara khusus bagi Gereja Katolik, keberadaan Pasukan Merah TBBR yang dalam banyak segi telah menghayati cara hidup Kristiani dengan solider dan berbela rasa terhadap mereka yang kecil, lemah, tak berdaya dan berkekurangan, dapat dilihat dan dimaknai sebagai:
Bentuk dialog dengan budaya lokal
Dengan melakukan dialog yang jujur dan sabar, Gereja sungguh dapat memainkan perannya dalam membantu setiap orang dalam menyingkapkan makna keberadaannya di dunia ini. Dalam hal ini konsili mengajarkan bahwa: “Manusia selalu ingin mengetahui, setidaknya secara samar-samar, manakah arti hidupnya, kegiatannya dan kematiannya. Kehadiran Gereja sendiri mengingatkannya akan masalah-masalah itu. Akan tetapi, hanya Allah, yang menciptakan manusia menurut gambar-Nya, dan menebusnya dari dosalah, yang memberikan jawaban paripurna kepada soal-soal itu, yakni melalui pewahyuan dalam Kristus Putra-Nya yang telah menjadi manusia” (Gaudium et Spes, 41).
Dialog yang jujur dan sabar juga dapat ditempatkan dalam konteks pewartaan iman Katolik. Dalam hal ini Gereja lokal bisa mencari model-model pewartaan yang kontekstual agar umat semakin mengenal dan mengimani Kristus yang adalah Jalan, Kebenaran dan Hidup. Selain itu juga dapat menyusun kebijakan-kebijakan pastoral yang tertuang dalam arah dasar Keuskupan maupun Paroki dengan bertolak dari dalam dunia simbol dan adat masyarakat lokal.
Poin terakhir di atas merupakan salah satu yang ditekankan oleh Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si. Di dalamnya Bapa Suci mengajarkan: “Pengembangan kelompok sosial mengandaikan suatu proses sejarah yang berlangsung dalam suatu konteks budaya, dan membutuhkan keterlibatan terus-menerus, terutama dari pelaku masyarakat lokal, dengan bertolak dari budaya mereka sendiri. Hal tersebut hendak menegaskan bahwa gagasan tentang kualitas hidup tidak dapat dipaksakan, tetapi harus dipahami dari dalam dunia simbol dan adat yang menjadi milik masing-masing kelompok manusia” (art. 144).
Dalam menjalankan dialog yang jujur dan sabar itu, Konsili Vatikan II mengajarkan untuk meneladan Kristus sendiri: “Kristus sendiri menyelami hati sesama-Nya dan melalui percakapan yang sungguh manusiawi mengantar mereka kepada terang Ilahi. Begitu pula hendaklah para murid-Nya, yang secara mendalam diresapi oleh Roh Kristus, memahami sesama di lingkungan mereka dan bergaul dengan mereka sehingga berkat dialog yang jujur dan sabar itu mereka makin mengetahui harta-kekayaan manakah yang oleh Allah dalam kemurahan-Nya telah dibagikan kepada para bangsa. Serta merta hendaklah mereka berusaha menilai kekayaan itu dalam cahaya Injil, membebaskannya, dan mengembalikannya kepada kekuasaan Allah penyelamat (Ad Gentes, 11).
Bentuk partisipasi kaum awam dalam hidup menggereja
Gereja Katolik, melalui Konsili ekumenis Vatikan II, membawa pembaharuan (aggiornamento) bagi wajah Gereja. Pembaharuan ini berangkat dari terabaikannya peran dan partisipasi umat beriman (kaum awam) dalam karya kerasulan Gereja yang disebabkan oleh dominasi kaum tertahbis. Gereja sebagai communio, kemudian, menjadi tema sentral yang diusung oleh Konsili Vatikan II.
Siapakah kaum awam itu? Konsili menegaskan demikian: “Yang dimaksud dengan istilah awam disini ialah semua orang beriman kristiani kecuali mereka yang termasuk golongan imam atau status religius yang diakui dalam Gereja. Jadi kaum beriman kristiani, yang berkat Baptis telah menjadi anggota Tubuh Kristus, terhimpun menjadi Umat Allah, dengan cara mereka sendiri ikut mengemban tugas imamat, kenabian dan rajawi Kristus, dan dengan demikian sesuai dengan kemampuan mereka melaksanakan perutusan segenap Umat kristiani dalam Gereja dan di dunia” (Lumen Gentium, 31).
Lantas, apa yang menjadi tugas dan perutusan kaum awam dalam kerasulan Gereja? Demikian digariskan oleh Konsili: “Berdasarkan panggilan mereka yang khas, kaum awam wajib mencari kerajaan Allah, dengan mengurusi hal-hal yang fana dan mengaturnya seturut kehendak Allah. Mereka hidup dalam dunia, artinya: menjalankan segala macam tugas dan pekerjaan duniawi, dan berada di tengah kenyataan biasa hidup berkeluarga dan sosial. Hidup mereka kurang lebih terjalin dengan itu semua. Di situlah mereka dipanggil oleh Allah, untuk menunaikan tugas mereka sendiri dengan dijiwai semangat Injil, dan dengan demikian ibarat ragi membawa sumbangan mereka demi pengudusan dunia…” (Lumen Gentium, 31).
Seluruh kerasulan awam tidak mempunyai tujuan lain daripada berusaha supaya “ladang dunia lebih dipersiapkan untuk benih sabda ilahi serta pintu gerbang Gereja dengan lebih lebar terbuka, supaya pewartaan perdamaian dapat masuk ke dalam dunia” (LG 36).
Penutup
Saya memilih untuk menggunakan kata “memandang” untuk judul artikel ini. Mengingatkan kita akan Tuhan Yesus sendiri, sebagai pedoman bagi kita dalam hidup beriman, yang senantiasa memandang umat kesayangan-Nya, bahkan para algojo yang menyalibkan-Nya, dengan penuh belas kasih. Lewat pilihan kata tersebut, saya juga berharap agar Pasukan Merah TBBR bisa “memandang” tulisan ini dengan hati dan pikiran terbuka. Atau lebih tepatnya memandangnya dalam terang cinta kasih Kristiani. Bukankah falsafah hidup kita orang Dayak Basengat Ka’ Jubata mau mengajarkan agar kita tidak hanya menaruh hormat, tapi juga belas kasih terhadap setiap individu sebagai citra ilahi?
Sebagai murni pendapat pribadi, apa yang saya tuangkan dalam tulisan ini bisa saja keliru. Namun, sebuah kekeliruan, kritik atau perbedaan pendapat tidak selamanya harus selalu diancam atau bahkan diganjar dengan hukuman adat. Sebagai seorang pemimpin umat, sebagaimana juga dilakukan oleh Mgr. Agustinus Agus dan Pastor Lukas Ahon, saya hanya berusaha menjalankan tanggung jawab untuk mengajar serta memperingatkan agar umat Allah terkasih selalu hidup selaras dengan ajaran dan hidup Kristen demi mencapai kedewasaan Kristiani.
Saya pribadi, begitu juga Gereja, tak mempunyai hak dan wewenang untuk melarang, membubarkan atau apa pun namanya, kelompok Pasukan Merah TBBR. Alih-alih berbicara tentang pembubaran, saya justru menyarankan agar Gereja lokal dengan penuh kasih merangkul Pasukan Merah TBBR dan berjalan bersama mereka mewujudkan Kerajaan Allah. Tuhan sendiri bersabda: “Jangan kamu cegah, sebab barangsiapa tidak melawan kamu, ia ada di pihak kamu” (Luk 9:50).
Baik Gereja Katolik maupun Pasukan Merah TBBR sama-sama berjuang membangun tata kehidupan bersama yang semakin adil dan damai. Dalam konteks inilah kritik, penilaian, komentar dan sejenisnya dari kami para pelayan dan gembala umat mesti dibaca dan ditempatkan. Membangun tata kehidupan bersama yang lebih manusiawi itu memang penting, namun baik Gereja maupun Pasukan Merah TBBR, mesti ingat bahwa praksis pembebasan harus dilandaskan pada dan dibimbing oleh kebenaran iman, ditempuh lewat dialog dan kerja sama yang penuh damai dengan semua orang yang berkehendak baik.
Dan tujuan yang paling utama ialah mempertobatkan hati. “Struktur-struktur terbaik dan sistem-sistem yang paling ideal sekali pun segera kehilangan perikemanusiaannya, kalau kecondongan-kecondongan hati manusia yang tidak manusiawi tidak disembuhkan, kalau mereka yang hidup dalam struktur-struktur itu atau mengendalikannya tidak mengalami pertobatan hati dan pandangan” (Evangelii Nuntiandi, 36).
Akhirnya, dengan menunjukkan bahwa solidaritas yang dipraktekkan oleh Pasukan Merah TBBR menemukan inspirasinya dari ajaran Kristiani, saya tidak bermaksud mendiskreditkan kebudayaan Dayak. Seolah-olah semangat solidaritas sama sekali tidak dijumpai dalam laku hidup masyarakat Dayak. Jauh sebelum ajaran Kristiani mengakar di bumi Kalimantan, dengan hidup berkelompok di dalam rumah betang (panjang), masyarakat Dayak sudah menampilkan cara hidup bersama yang menjunjung tinggi semangat solidaritas.
Oleh karena itu, ketika kemudian Gereja merangkul, berjalan bersama Pasukan Merah TBBR, tujuannya tiada lain mengajak mereka menghayatai semangat solidaritas itu dalam terang solidaritas Kristiani yang teladannya ialah Kristus, Putera Allah sendiri, yang telah sudi menjadi manusia, dan menyerahkan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang (Mat 20:28).