MENGULIK ISTILAH ORANG PEDALAMAN DI TANAH DAYAK

Kita akan menyaksikan tarian Melayu dan Pedalaman,” kata Master of Ceremony (MC) dengan suara lantang sewaktu membuka acara Penutupan Tahun 2022 di halaman kantor walikota Palangka Raya, pada 31 Desember 2022, sekitar jam 19.30 WIB.

Dalam tulisan ini kita tidak membahas Melayu. Jika anda ingin melihat bahasan soal Melayu, silakan membaca pada tulisan lain, diantaranya ‘Mengulik Pembuat Kata Dayak dan Melayu’ yang pernah dimuat oleh www.biblipedia.id.

Tulisan membahas terminologi ‘pedalaman’ yang terasa janggal di telinga. Diksi ‘pedalaman’ yang dipakai oleh MC acara tadi terlihat sederhana, jangan dipersoalkan. Tetapi sidang pembaca, ini soal identitas. Siapa yang dimaksud pedalaman tadi. Apakah mereka orang-orang Dayak? Ataukah bukan Dayak? Tidak mungkin istilah ‘orang pedalaman’ tadi disematkan bagi kaum pendatang di Tanah Dayak.

Tetapi, jika yang dimaksud adalah kelompok Dayak, tentu saja ada nama kelompok Dayak tersebut. Oleh karena itulah, diksi ‘pedalaman’ yang dipakai pengelola acara itu harus dikritik dan dibedah.

Sebuah pertanyaan besar, apakah istilah pedalaman ini sama dan serupa dengan terminology ‘Orang Ulu’ yang dipakai di Serawak untuk memberikan nama secara politik kepada 27 kelompok suku kecil di sana. Istilah ini tidak dipakai pemerintah Malaysia, namun dipakai oleh Asosiasi Kelompok Minoritas yang dikenal “Orang Ulu National Association” (OUNA) yang dibentuk pada tahun 1969. Jika rujukannya ke Serawak, tentu tidak masuk akal. Adalah puluhan buku tentang Dayak, khususnya Dayak Ngaju, baik berbahasa Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Melayu, Indonesia dan Dayak Ngaju itu sendiri.

Perancang acara, khususnya Dinas Pariwisata tentu harus memiliki pijakan dalam menggunakan kata ‘pedalaman’ ini. Kata itu riskan, sebab selalu ditandemkan dengan kata ‘Melayu dan Pedalaman’. Seolah ada pemisahan, bahwa Melayu di hilir dan yang bukan Melayu di pedalaman. Lagi-lagi, siapa yang di pedalaman itu?

Oleh sebab itu, penggunaan istilah ‘pedalaman’ untuk Dayak, penghuni Kalimantan Tengah tidaklah tepat.  Dalam hal penamaan yang menyangkut identitas Dayak, khususnya penghuni Tanah Dayak, kita hanya bersumber dari tiga sumber, yaitu (1) sastra lisan, (2) istilah yang dibangun oleh Kerajaan Banjarmasin, dalam hal ini bersumber dari Hikayat Banjar dan (3) dokumen dari colonial, khususnya Belanda dan Inggris.

Dari sastra lisan, baik yang sudah dibukukan menjadi Panaturan ataupun masih berupa cerita-cerita yang berserakan, belum ditemukan istilah pedalaman untuk orang Dayak. Dari dokumen Hikayat Banjar, istilah pedalaman hampir tidak digunakan. Hikayat Banjar mengenal istilah orang Barito, Orang Biaju Kecil (Kapuas Murung), orang Biaju Besar (Kahayan), orang Sampit, orang Mandawei/Katingan untuk identitas kawasan yang selanjutnya disebut TANAH DAYAK.

Jika rujukan adalah dokumen perjanjian antara Belanda dan Sultan Banjar yang dibuat selama 225 tahun, dari 1635 – 1860, istilah yang paling populer adalah Dayak untuk penghuni Dajak-land (Negeri Dayak). Perjanjian yang dibuat pada hari Senin, 17 April 1802 antara Sultan Sulaiman, Sultan Adam, pejabat kerajaan Banjarmasin dan Belanda hampir seluruhnya membahas orang Dayak, khususnya soal kayau-mengayau. Dimana saja kawasan yang penuh kayau dan perbudakan, bisa dilihat dari narasi Perelaer dalam Ethnographische Beschrijving der Dajaks bahwa Barito, Kapuas, Kahayan, Katingan, Sampit, Kotawaringin adalah kawasan yang hidup dalam suasana itu (kayau, perang dan perbudakan).  Kawasan itu kelak berdamai di Tumbang Anoi pada 1894. Penghuni kawasan yang selalu bergejolak dan diatur lewat perjanjian 17 April 1802 itulah yang dimaksud sebagai orang-orang Dayak dalam konteks Tanah Dayak (Kalimantan Tengah).

Ada banyak pertanyaan. Apakah istilah pedalaman itu diambil dari kata lain, mislanya Biaju? Istilah Biaju dipakai oleh kerajaan Banjar untuk menamai sungai Kapuas Murung dan Kahayan. Artinya penghuni kedua sungai itu disebut orang Biaju. Jika sudah membaca catatan Schwaner, Perelaer, Pijnapple kita akan tahu bahwa Biaju bukan orang pedalaman. Biaju adalah pengelana dan pedagang tangguh di lautan. Oleh sebab itu Prichard  memberikan julukan sea-gipsies (pengelana lautan) bagi kelompok Biaju. Di zaman kayau-mengayau, hanya orang Biaju yang berani berdagang ke Barito (Biaju Bakumpai), Mahakam (Biaju Bakumpai), Kapuas Murung (Biaju Pulau Petak), Kahayan (Biaju Pulau Petak), Katingan (Biaju Pulau Petak), Kapuas Lawai dan Melawi (Biaju Pulau Petak).

Apakah istilah pedalaman tadi diambil dari kata ngaju? Istilah Ngaju harus dilihat dengan seksama. Sebab kata ini mengandung tiga makna.  Yang pertama untuk menyatakan orang-orang dari salah etnis di Kalimantan Tengah, yang kedua untuk menyatakan hulu atau orang-orang dari hulu yang  menurut  Scharer  disebut  uplander  (Scharer,  1963;1), yang ketiga bersifat peyoratif karena digunakan untuk mengolok-olok seseorang atau sekelompok orang, yaitu menyatakan seseorang kampungan atau udik.

Ketiga makna itu mudah dibedakan dari bentuk huruf dan klasifikasi kata, apabila menggunakan media tulisan. Saat kata ngaju ditulis menggunakan huruf kapital pada huruf awal yaitu N atau ditulis ‘Ngaju’ maka kata ini ter- klasifikasi sebagai benda atau noun, yang berarti nama sub- etnik Dayak di Kalimantan Tengah. Apabila ditulis ‘ngaju’ maka kita harus melihat klasifikasi kata tersebut. Ketika dimasukan ke kelompok kata benda, maka dia bermakna tempat yang berada di hulu sungai atau udik. Apabila kata ‘ngaju’ dikelompokkan ke kata sifat atau adjektiva, maka dia manjadi kata yang bermakna peyoratif atau untuk me- nyatakan seseorang atau sekelompok orang seperti orang udik, kampungan atau ketinggalan zaman.

Apakah yang dimaksud adalah orang Ot Danum? Tentu harus jelas. Ot Danum bisa diterjemahkan sebagai orang hulu air, namun jangan langsung menyebut dan memukul rata dengan istilah ‘orang pedalaman’. Karena Ot Danum adalah kelompok induk beberapa sub suku, sebut saja Kadorih, Keninjal, Sibaung, dsb. Mereka punya nama. 

Oleh sebab itu, pengguna kata ‘pedalaman’ untuk menamai kelompok Dayak haruslah memiliki rujukan. Jika yang dimaksud bukan kelompok Dayak, pengelola acara pun harus menjelaskan, ini kelompok siapa?

Identitas bukan perkara main-main, sebab acara-acara semacam konser, festival dan sejenisnya ditonton oleh orang-orang bukan Dayak yang tidak belajar sejarah. Mereka akan menerima mentah-mentah nama-nama yang dipaparkan MC dipanggung.

Damianus Siyok

Share your love
Avatar photo
Damianus Siyok
Articles: 20

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply