Suatu pagi di awal tahun 2003, saya berkesempatan mengunjungi SP-II Sopan Pelangkan, di Sekadau Hilir. Saya mengantar ampli (amflier) untuk toa yang akan dipasang di masjid tempat itu. Ampli tersebut pesanan teman sekampung di SP-I Landau Kodah yang menetap di sana. Teman masa kecil ini orang Jawa. Teman sekolah dan tempat saya minta air putih tatkala pulang sekolah. Dia memang hidupnya di sekitar masjid. Saat di kampung, beberapa kali dengar dia meneriakkan azan.
Tatkala saya tiba, teman ini segera menyuguhkan kopi. Dia keluar dan mencoba ampli baru itu di masjid. Ampli bekerja dengan baik. Setelah merasa semua beres, teman tadi kembali dan seraya berkata kepada saya, “Kamu sebaiknya ke rumah kepala desa, saya sudah bilang kamu ke sini bawa ampli buat masjid, dia orang Melayu.”
Kopi yang mengalir di tenggorokan saya hampir tersendat akibat tiba-tiba otak saya terkejut. Saya kaget dengar kata ‘Melayu’ tadi. Sewaktu hendak berangkat, saya memang mau bekandau (berkunjung) ke rumah kepala desa. Sebab dia masih kerabat kami. Kepala desa yang teman saya sebut orang Melayu ini memanggil saya busu (paman). Jadi secara purih atau hurui rinting (silsilah keluarga), saya di atas beliau.
Sopan Pelangkan, kampung kepala desa itu dulunya tempat berladang orang Landau Kodah. Bahkan sekitar tahun 2000-an, tempat itu area kami untuk berburu rusa dan babi hutan. Orang Landau Kodah yang berladang dan membuat pondok di sana menjadi orang Sopan Pelangkan dan Sempulau.
Selanjutnya saya ke beranjak ke rumah kepala desa. Ketika saya mendudukkan pantat di kursi rumah kepala desa, segeralah dia bertanya, “nama bereta akik, nama berita nik (apa kabar kakek, apa kabar nenek)?” Beliau menanyakan kabar orangtua saya. Saya bilang, “berita sidek bagaeh (kabar mereka baik)”. Kami bercakap sebagaimana orang sungai Kedah pada umumnya, mengisahkan ladang, dan sanak famili lain. Karena kami memang satu darah, satu bahasa, satu kawasan. Hanya agama kami yang berbeda.
Orang Kedah di SP-II Sopan Pelangkan sebagian beragama Islam, demikian juga kepala desa ini juga beragama Islam. Meski begitu, mereka orang Kedah 100 persen, tiada darah Malaka ataupun Johor. Dan Kedah kami tidak ada kaitannya dengan Kedah Malaysia. Kedah itu nama sungai yang bermuara ke sungai Kapuas, ke hulu sedikit keraton kesultanan Sekadau. Orang Kedah adalah sub Ketungau van Sekadau. Para kerabat beragama Islam yang sekuali-sedarah (satu tempat makan, satu asal-usul) sebagai orang Kedah itu kami kenal dengan istilah Senganan. Mereka yang senganan biasanya menyebut kami yang bukan pengikut Muhammad sebagai Darat.
Tentu saja konsep Darat dan Senganan itu tidak dipahami oleh teman masa kecil saya yang berasal dari Jawa tadi. Bagi dia, saya kami para inlandsche van Borneo yang tidak Islam adalah Dayak dan mereka yang Islam adalah Melayu. Konsep teman kecil saya tadi adalah konsep orang kebanyakan saat ini, terutama orang-orang yang pernah sekolah atau kalangan cendikawan malahan.
Pernah terlibat di Institut Dayakologi membuat saya agak paham, mengapa sebagian Inlandsch van Borneo (warga asli) disebut Dayak dan sebagian lagi di sebut Melayu. Tapi sekali lagi, tidak murah menguraikannya. Tahun 2001, saya sempat berdiskusi dengan Rudi Alamsyahrum. Beliau adalah ketua Ikatan Dayak Islam kala itu. Rudi orang yang tidak mau disebut Melayu. Bagi saya Rudi orang unik. Sebab banyak keluarga dan para sepupu saya dikampung yang identitasnya serupa Rudi senang-senang saja disebut Melayu.
Di lain pihak, orangtua kami tidak menyebut diri Dayak. Itu masih era tahun 2000-an. Beliau hidup di kawasan sungai Kedah dan menyebut diri dan kelompoknya sebagai orang Kedah (mengikuti nama sungai). Sebagai orang yang tidak bersentuhan dengan dunia literasi, bapak saya kala itu tidak mengerti konsep Dayak, dia pun tidak mengenal istilah Melayu. Jadi, istilah Dayak dan Melayu sesuatu yang sulit dipahami orang biasa (bukan sekolahan).
Terkadang, menyebut nama Dayak dan Melayu itu serasa memegang benang yang sengkarut (kusut). Meskipun kesengkarutan perihal nama Dayak dan Melayu bisa juga diselesaikan dengan segelas kopi dan sederet pijakan literasi.
Mengapa sedemikian rumitnya? Karena nama itu bukan dari diri kita. Meskipun berbagai pertemuan dan konsensus berhasil menyepakati sebutan tadi. Tapi ya itu tadi, hanya yang melek literasi yang benar-benar paham, selebihnya anak bawang (ikut-ikutan).
Mayoritas kita berkeyakinan bahwa istilah Dayak dan Melayu bagi Inlandsch van Borneo itu diadopsi dari literasi yang bersumber dari data-data Belanda. Tapi dimana dan bagaimana Belanda memproses nama-nama itu? Sejauh ini narasi soal itu masih samar-samar. Sebagian besar penulis buku, penulis jurnal, sejarawan, pembuat makalah, pembuat berita dan hal-hal yang berbau nama untuk kalangan Inlandsch van Borneo ini sepertinya belum menyadari tempat kejadian perkara (TKP), dimana sebutan Dayak dan Melayu itu dipertimbangkan dan pertama kali ditulis.
Dulu, kita tidak mengenal sebutan Dayak atau Melayu. Untuk membuktikan ini kita boleh membuka-buka Hikayat Banjar, sebuah kitab sastra yang ditulis pada abad ke-16 tentang Kerajaan Banjar. Hikayat Banjar ini menamai orang berdasarkan kawasan sungai yang ditinggali, persis seperti pengetahuan ayah saya. Orang yang tinggal di sepanjang sungai Kapuas di Kalimantan Barat disebut orang Lawai (zaman raja-raja sungai ini dikenal Batang Lawai), orang yang tinggal di sepanjang sungai Kapuas Kalimantan Tengah disebut orang Biaju (karena nama sungai itu dulu Biaju), orang yang menempati sungai Katingan disebut orang Katingan dan begitu seterusnya.
Lada (Piper nigrum) membuat semua itu berubah. Pada tanggal 4 September 1635 Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) membuat kontrak untuk pertama kalinya dengan kerajaan Banjarmasin. Tujuannya untuk berdagang dengan kerajaan, produk utama yang dicari adalah lada. Selanjutnya terus-menerus diadakan kontrak, banyak renovasi, addendum, pembaharuan dan perubahan sampai dengan 11 Juni 1860. Sebetulnya semua karena lada. Karena hampir semua kontrak sepanjang dua abad itu bermuara pada perdagangan lada. Bisa dikatakan, lebih dari 200 tahun kerajaan Banjar dan Belanda bersama-sama. Membangun aliansi perdagangan, politik dan militer. Kebersamaan itu dipisahkan tatkala Belanda menghapus kerajaan Banjar tahun 1860 yang menyebabkan perang berkepanjangan serta pegustian di kawasan Barito.
Kebersamaan hampir 225 tahun ini menciptakan banyak hal. Diantaranya menciptakan istilah Dayak dan Melayu. Istilah Daijak, Dajak berkali-kali masuk ke dalam pasal perjanjian, semakin popular tatkala Sultan Sulaiman naik tahta. Bahkan ada perjanjian khusus yang mengatur Dajak dan Kajau (kayau), yaitu perjanjian yang dibuat pada 19 April 1802.
Sejauh ini mayoritas publik berkeyakinan bahwa istilah Dayak yang selanjutnya menjadi nama generic penduduk pribumi Borneo adalah pemberian Belanda. Kita tidak membantah itu, di sini kita mengatakan bahwa istilah Dayak bermula dari Keraton Banjarmasin. Bagian dari pembicaraan Sultan, pejabat kesultanan dan para tuan Hollander yang bersepakat itu. Kesepakatan itu baik di Kota Intan maupun di Bumi Selamat (nama tempat berbagai perjanjian dibuat), baik di Kayutangi maupun di Martapura.
Siapakah yang pertama kali memberi nama Dayak? Nah ini yang masih misteri. Betulkah kata itu keluar dari mulut orang Belanda? Atau jangan-jangan kata itu keluar dari mulut Sultan atau salah satu pejabat kesultanan. Pertemuan mereka tanpa notulensi. Arsip-arsip kontrak mereka pun banyak yang tidak utuh dan membuat sulit untuk ditafsir. Jadi siapa yang pertama kali berkata itu misteri. Jika yang pertama kali mendokumentasi Belanda tentu saja benar.
Lalu bagaimana dengan Melayu?
Tidak berbeda dengan Dayak, keyakinan publik tentang asal-muasal Melayu untuk sebagian inlandsche van Borneo pun berawal dari orang-orang Belanda. Orang Melayu berasal dari kata Maleische. Perkara dimana kata itu pertama kali dipakai juga masih misteri. Tapi setidaknya kontrak-kontrak tadi ada membahas itu.
Jika Dayak hampir bisa disimpulkan dimana kata itu bermula, maka Melayu masih samar-samar. Tetapi bagaimanapun, Keraton Banjar adalah pemimpin koloni pada masa lalu. Bahwa kesultanan Sintang, Sanggau, Sukadana, Berau, Pasir, Kutai yang selanjutnya dikenal sebagai kesultanan Melayu adalah kerajaan yang membayar pajak kepada Kesultanan Banjar. Perihal itu tersaji berkali-kali dalam Hikayat Banjar. Dalam perjanjian yang dibuat di Bumi Kencana pada 13 September 1823 dipertegaskan bahwa daerah-daerah itu diserahkan Sultan dan tunduk kepada kekuasan Belanda.
Jika Dayak dibahas berulang-ulang dan sangat banyak dalam pasal perjanjian, maka istilah Melayu tidak banyak. Dalam perjanjian yang dibuat di Bumi Kencana antara Sultan Sulaiman Saidillah dan anaknya (Sultan Adam) dengan Belanda pada 21 November 1797, pada pasal ke-11 disebutkan bahwa orang Cina, orang Melayu, orang Bugis, orang Kodja adalah para pedagang yang tunduk kepada hukum Kompeni Belanda. Pada bagian lain disebutkan bahwa orang Banjar adalah kaum pribumi yang tunduk kepada hukum Sultan.
Perihal Melayu dipertegas dalam revisi kontrak yang dibuat pada 23 November 1823 di tempat yang sama. Pada pasal 10 kontrak revisi ini disebutkan ‘alzoo bij Art. 10, 11, 12 van het contract eene vergissing plaats heeft gehad, bij de Maleische vertaling de benamingen, zoo wordt bij dezen bepaald’ (dalam kontrak lama pasal ke 10, 11 dan 12 ada kekeliruan dalam penamaan Melayu, maka dalam kontrak ini diperbaiki).
Istilah Maleische disematkan untuk orang asing kala itu tentu saja masuk akal. Mengingat kawasan Banjar adalah area dagang dan orang-orang dari Malaca, Johor, Palembang berdagang ke sana. Bahkan sebelum kerajaan Banjar terbentuk, sekelompok orang dari negeri Melayu dan dipimpin oleh Patih Masih mendirikan pemukiman di kawasan muara wilayah Banjar. Namun yang dimaksud oleh perjanjian itu tentu bukan orang-orang Patih Masih, sebab ketika kesultanan berjalan, orang Patih Masih adalah orang yang tunduk kepada hukum Sultan, bukan hukum Belanda.
Jika perjanjian Sultan Banjar dan Belanda yang menjadi rujukan, tentu saja kerabat kami yang menjadi kepala desa Landau Kodah dan bermukim di Sopan Pelangkan pada tahun 2003 itu tidak bisa disebut Melayu. Karena dia bagian dari binnenlanden atau inlandsche van Borneo. Mengapa mereka disebut Melayu, tentu kita harus mencari sumber-sumber lain yang menjadi dasar.
Mengapa perjanjian Sultan Banjar dan Belanda kita anggap induk dari segala definisi? Karena Sultan Banjar adalah pemimpin koloni para sultan di Kalimantan saat itu dan utusan VOC ataupun Resident adalah utusan Batavia. Semestinya para penulis Belanda ataupun penulis asing yang menulis pada abad ke-18 dan seterusnya merujuk ke berbagai narasi yang dibuat mereka.
Damianus Siyok