Menjadi Gereja yang Terlibat

Setiap menjelang Perayaan Natal Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) selalu membuat pesan Natal bersama. Dan kalau kita cermati, pesan Natal itu selalu ditempatkan dalam konteks bangsa Indonesia di mana penindasan, kemiskinan dan ketidakadilan masih merajalela. Di mana konflik dan kekerasan kerap masih terjadi karena belum bisa menerima perbedaan.

Lewat pesan Natal itu diharapkan agar umat Kristiani kemudian bisa menjadi garam dan terang demi terciptanya kehidupan bersama yang adil, damai, toleran dan humanis.

Buku ini menunjukkan kepada kita kalau jalan atau cara yang Yesus tempuh ialah jalan cinta kasih. Bukan jalan kekerasan. Buku ini memakai istilah “politik salib”.

Bahwa pesan Natal bersama itu senantiasa diletakkan dalam konteks bangsa Indonesia, mau menegaskan bahwa Gereja menyadari dirinya hidup, bergerak dan ada dalam sebuah realitas faktual. Bukan dalam ruang kosong. Sebagai konsekuensinya, Gereja juga dipanggil untuk terlibat mengupayakan terciptanya keadilan dan perdamaian. Singkatnya, Gereja dipanggil untuk mewujudkan Kerajaan Allah.

Pertanyaan penting yang langsung muncul ialah mengapa Gereja mesti terlibat? Dan jika memang harus terlibat, cara seperti apa yang ditempuh oleh Gereja dalam mewujudkan Kerajaan Allah itu?

Gereja melibatkan diri karena Kristus sendiri semasa hidup-Nya menunjukkan solidaritas yang tinggi terhadap mereka yang kecil, lemah, miskin dan tersingkirkan. Dia duduk makan dengan mereka yang dicap sebagai pendosa oleh masyarakat. Ringkasnya, Dia menaruh belas kasihan terhadap mereka yang tersingkir oleh sistem politik (orang miskin dan tertindas) atau ditolak oleh sistem agama (pelacur dan pemungut cukai).

Dan kematian-Nya di atas kayu salib merupakan solidaritas paling mendalam terhadap penderitaan manusia akibat ketidakadilan dan kemiskinan. Jürgen Moltmann, teolog Reformasi asal Jerman, mengatakan bahwa penderitaan Kristus di atas kayu salib bukan hanya penderitaan diri-Nya; penderitaan-Nya itu adalah penderitaan mereka yang lemah dan miskin, yang Yesus bagikan dalam tubuh dan jiwa-nya sendiri, dalam solidaritas dengan mereka.

Karena Kristus yang menjadi sumber dan teladan utama bagi Gereja, maka terhadap pertanyaan soal cara yang ditempuh oleh Gereja, jawabannya ialah dengan mengikuti cara atau jalan yang ditempuh oleh Kristus sendiri.

Politik salib
Buku ini menunjukkan kepada kita kalau jalan atau cara yang Yesus tempuh ialah jalan cinta kasih. Bukan jalan kekerasan. Buku ini memakai istilah “politik salib”.

Bukankah Yesus pernah marah-marah ketika melihat ada orang berjualan di Bait Allah? Membuat cambuk dari tali lalu mengusir mereka serta membalikkan meja penukar uang? Tidakkah ini menunjukkan kalau Yesus itu seorang revolusioner di mana kekerasan menjadi barang halal untuk dilakukan demi menegakkan keadilan?

Bahwa salah satu muridnya berasal dari kaum Zelot sepertinya semakin menegaskan kalau Yesus sedang melakukan upaya revolusioner. Kita tahu dengan baik kalau kaum Zelot adalah sekelompok orang Yahudi yang melakukan perjuangan dengan mengangkat senjata demi membebaskan tanah Israel dari kekuasaan asing. S.G.F. Brandon dalam bukunya Jesus and the Zealots (1967) bahkan secara terang-terangan mengklaim kalau Yesus bukan hanya orang Zelot, melainkan juga Yesus dan murid-murid-Nya bersimpati dengan cita-cita dan tujuan dari gerakan kaum Zelot.

Buku Politik Yesus ini dengan tegas membantah pandangan tersebut. Yesus memang menentang dan mengecam segala bentuk perendahan dan pelecehan terhadap martabat manusia. Akan tetapi, Yesus tidak berubah menjadi sosok yang kejam, bengis, tanpa ampun ketika harga diri dan umat manusia yang Ia kasihi direndahkan dan diinjak-injak.

Ketika ditangkap di taman Getsemani dan salah seorang yang menyertai-Nya menghunus pedangnya dan menetakkannya kepada hamba Imam Besar sehingga putus telinganya, Yesus malah berkata: “Masukkan pedang itu kembali ke dalam sarungnya, sebab barangsiapa menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang” (Mat. 26:51-51).

Kepada murid-murid-Nya Ia malah mengajarkan: “Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang membenci kamu…Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati” (Luk. 6:27-28,36). Dan ketika tergantung di kayu salib, Yesus berkata: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk. 23:34).

Mengapa Yesus memilih politik salib? Buku ini memberi jawab: Salib yang lemah telah membuktikan diri sangat berkuasa hingga berabad-abad, telah membuktikan dan memberi kekuatan begitu banyak orang untuk memperjuangkan keadilan dan keabsahan. Melalui nama salib, tidak sedikit orang Kristen yang memberikan kesaksian tentang Allah penuh kasih dan sayang kepada dunia yang penuh konflik dan kebencian (hlm. 48).

Politik belas kasih
Selain politik salib, Yesus juga menempuh jalan politik belas kasih. Dengan politik belas kasih, buku ini mau menampilkan kritik Yesus terhadap orang-orang Farisi dan para ahli Taurat yang lebih mengutamakan ritual dan peribadatan demi mengejar kekudusan, namun menutup mata terhadap ketidakadilan, diskriminasi, alienasi, penindasan dalam realitas hidup seahri-hari.

Yesus tampil mendobrak mentalitas parah ahli Taurat dan orang Farisi itu. Dengan sangat keras Dia mengecam mereka. Oleh-Nya mereka dikatakan sebagai orang-orang munafik, sebab menelan rumah janda-janda sedang kamu mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang (Mat 23:14); sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan mereka bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat mereka abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan” (Mat 23:23). Oleh Yesus, orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat dikatakan sebagai keturunan ular beludak (Mat 23:33).

“Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati” (Luk 6:36). “Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan” (Mat 9:13). Melalui kata-kata-Nya ini, Yesus ingin mengingatkan umat Israel bahwa Allah lebih berkenan pada keadilan, kemurahan hati dan kebenaran daripada ritual dan puasa (hlm. 75).

Dengan mengutip kritik dari nabi Amos dan nabi Yesaya terhadap ibadah dan puasa umat Israel, buku ini sudah dengat tepat menunjukkan apa yang menjadi esensi dari politik welas asih Yesus. Nabi Amos pernah dengan sangat keras mengecam ibadah bangsa Israel: “Aku membenci, aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang pada perkumpulan rayamu. Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun, Aku tidak mau pandang. Jauhkanlah dari pada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir” (Am 5:21-24).

Nabi Yesaya juga tidak kalah kerasnya dalam mengecam laku puasa umat Israel: “Bukan! Puasa yang Kukehendaki ialah supaya engkau membuka belenggu- belenggu kelaliman dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau membedakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!” (Yes 58:6-7).

Ibadah dan laku puasa tentu saja sangat penting. Akan tetapi, bagi Yesus ritual-ritual semacam itu merupakan kemunafikan apabila tidak disertai dengan perbuatan adil dan kemurahan hati terhadap orang-orang yang tertindas (hlm. 76).

Dengan politik belas kasih, buku ini mau menunjukkan bahwa Allah sendiri sudah terlebih dahulu menaruh belas kasih kepada manusia. Oleh karena itu, sudah selayaknya orang Kristen berbelas kasih terhadap orang lain, terutama mereka yang miskin dan menderita. “Belas kasih adalah suatu perasaan yang tergerak oleh penderitaan orang lain, dan suatu cara hidup, suatu keinginan berbagi penderitaan dan melakukan sesuatu” (hlm. 73).

Demi terjaga dan terciptanya perdamaian
Buku ini dengan sangat benderang menyatakan kalau Yesus itu berpolitik. Sebagai konsekuensinya, maka Gereja hendaknya juga berpolitik (hlm. 112). Mengapa? Karena Gereja adalah bagian dari masyarakat. Dari sebab itu, demikian buku ini mengingatkan, Gereja tidak boleh menutup diri, berpuas diri. Beranggapan bahwa konflik dan kekerasan di luar Gereja bukan urusan dan tanggung jawabnya. Karena itu tidak perlu campur tangan (hlm. 111).

Lebih lanjut buku ini mengingatkan kalau Gereja dengan tembok tebal dan tinggi, menutup pintu, mata dan telinga terhadap penderitaan, jeritan, teriakan kaum miskin sekitarnya, ini akan membuat jarak dengan rakyat yang membutuhkan pertolongan dan bantuannya (hlm. 118).

Gereja perlu berpolitik bukan pertama-tama untuk merengkuh jabatan dan kedudukan. Politik adalah bidang pelayanan (hlm. 116). Karena sebagai bentuk pelayanan, jabatan dan kedudukan yang diemban dihayati sebagai kesempatan untuk melayani sesama. Bukan justru disalahgunakan untuk mementingkan diri sendiri dan golongannya saja. Nama Tuhan akan dimuliakan bila jabatan publik dijalankan dengan jujur, mematuhi peraturan dan undang-undang yang berlaku, baik kepada semua orang, tanpa membeda-bedakan SARA, ramah, dan tegas tapi luwes (hlm. 116).

Terjaga dan terciptanya perdamaian, pada akhirnya, menjadi tujuan utama yang hendak dicapai dengan Gereja terlibat dalam kehidupan bermasyarakat (berpolitik). Hidup damai dengan Allah, dengan musuh, dengan anggota keluarga, dengan saudara seiman, dengan orang-orang dari agama lain merupakan bentuk-bentuk perdamaian yang harus selalu diupayakan oleh umat Kristen. Hidup damai dengan alam ciptaan tentu juga harus diupayakan.

Buku ini sendiri mengakui kalau perdamaian itu tidak mudah untuk diwujudkan. Namun bukan berarti tidak ada lagi jalan untuk mewujudkannya. Damai bukanlah hadiah yang jatuh begitu saja dari langit. Ia mesti diupayakan. Membentuk Komisi Politik, Komisi Perdamaian, mencanangkan Bulan atau Minggu Perdamaian, pendidikan perdamaian di gereja dan sekolah-sekolah Kristen, adalah beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh umat Kristen.

“Kobarkan nyala api semangat untuk mewujudkan hidup damai”! Begitulah motto hidup Eric Weil seperti tertuang dalam buku Filsafat Perdamaian karya C.B. Mulyatno yang juga menjadi rujukan penulisan buku ini.

Dialog dan kerja sama
Saya tentu harus berterima kasih kepada saudara Masri Sareb Putra yang telah menyodorkan buku ini untuk saya ulas. Sama seperti umat Kristen Protestan, umat Katolik juga dipanggil untuk mengabdi keluarga manusia. Bagi Gereja Katolik, saya rasa demikian juga bagi Gereja Protestan, pengabdian kepada manusia tidak sedikit pun tergerak oleh ambisi duniawi; melainkan hanya satulah maksudnya yakni dengan bimbingan Roh Penghibur melangsungkan karya Kristus sendiri, yang datang ke dunia untuk memberi kesaksian akan kebenaran; untuk menyelamatkan, bukan untuk mengadili; untuk melayani, bukan untuk dilayani (Gaudium et Spes, 3).

Umat beriman (kaum awam) mendapat tanggung jawab yang penting dan istimewa dalam mengemban tugas pengabdian itu. Sebab, demikian dokumen Konsili Vatikan II Lumen Gentium no. 31, menegaskan: “Mereka hidup dalam dunia, artinya: menjalankan segala macam tugas dan pekerjaan duniawi, dan berada di tengah kenyataan biasa hidup berkeluarga dan sosial. Hidup mereka kurang lebih terjalin dengan itu semua. Di situlah mereka dipanggil oleh Allah, untuk menunaikan tugas mereka sendiri dengan dijiwai semangat Injil, dan dengan demikian ibarat ragi membawa sumbangan mereka demi pengudusan dunia…”

Ungkapan ‘dijiwai semangat Injil’ tentu juga hendak mengatakan bahwa solidaritas dan bela rasa terhadap mereka yang tertindas dan tersingkirkan itu berkerja melalui kasih. Bukan menggunakan jalan kekerasan. Paus Paulus VI dengan tegas mengatakan: “Gereja tidak dapat menerima kekerasan, khususnya kekuatan senjata…Sebab Gereja tahu, bahwa kekerasan selalu mengundang kekerasan dan mau tak mau melahirkan bentuk-bentuk baru penindasan dan perbudakan…kekerasan tidak sesuai dengan Injil, tidak Kristiani…” (Evangelii Nuntiandi, 37).

Bahwa umat Kristen Protestan dan umat Katolik sama-sama dipanggil dan diutus untuk mewujudkan Kerajaan Allah di tengah dunia, sesungguhnya mau menegaskan betapa pentingnya dialog dan kerja sama. Terkait dengan dialog dan kerja sama ini, baik kiranya saya kutipkan apa yang ditandaskan dalam dokumen Konsili Vatikan II Unitatis Redintegratio (Dekrit tentang Ekumenisme): “Kerja sama antara semua orang Kristen secara cemerlang mengungkapkan persatuan yang sudah ada antara mereka, dan lebih jelas menampilkan wajah Kristus Sang Hamba. Kerja sama itu…hendaknya makin dipererat…dalam memajukan perdamaian…, dalam menggunakan segala macam usaha untuk menanggulangi penderitaan-penderitaan zaman sekarang, mislanya kelaparan dan bencana, buta aksara dan kemelaratan, kekurangan akan perumahan, dan pembagian harta benda yang tidak adil” (no. 12).

Buah-buah pemikiran yang tertuang dalam buku ini tentu akan selalu relevan dan signifikan. Mengingat, Gereja sedang dan akan selalu hadir dan terlibat dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang multikultural dan multireligius. Bagaimana praksis keterlibatan itu harus dijalankan, buku ini sudah memberikan landasan biblis dan teologisnya. Untuk itu, para pemimpin jemaat, politikus Kristen dan anggota jemaat dapat memanfaatkan buku ini untuk menimba inspirasi dalam menghayati keterlibatannya membangun bangsa dan negara. *)

Share your love
Avatar photo
Gregorius Nyaming
Articles: 34

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply