Argentina – Kroasia: 2-0 tanpa balas!
Demikian status saya di Face Book, sekitar 5 jam sebelum pertandingan semifinal dramatis itu diberlangsungkan.
Benar saja! 2-0 pada babak pertama. Andaikata, Messi tidak memberikan layanan-umpan kepada sang junior, Martinez yang –diramalkan “Messi masa depan”.
Itulah pemimpin yang melayani. Messi. Penyandang ban kapten kesebelasan Argentina itu sebenarnya bisa menendang langsung bola. Tapi memilih memberi pada dia yang datang kemudian, yaitu seorang “yang lebih besar”.
“Biarlah dia –Martinez– semakin besar dan aku semakin kecil,” kata Messi. Ia paham betul nats itu. Paus Fransiskus, pemimpin Gereja Katolik sedunia senegaranya, mengajarkannya dengan contoh. Dan Messi wajib taat bagai cadaver.
Bukankah pemimpin sejati ciri utamanya adalah: melayani? Itulah yang digariskan dengan tinta emas dalam buku manual kepemimpinan masa kini. Pada narasi yang berikut, kita akan diskusikan pustakanya. Antara lain, Green Leaf dan Neuschel.
***
2-0
Saya tetap pegang rekor hasil nujum saya itu! Bahwa hasilnya 3-0 itu adalah: 2+1.
Dalam film, novel, dan narasi yang berkelas. Biasanya, jagoan kalah –atau ngalah dulu!
Lihatlah penguasaan bola. Juga peluang tendangan yang berpotensi jadi gol ketika Argentina melawan tuan rumah, Arab. Tapi tuan rumah yang menang. Tak apa-apa. Bagus saja, sebagai hiburan. Tuan rumah dan pendukungnya dibuat sukacita dulu. Jangan mempermalukan suatu kesebelasan di muka pendukungnya! Sebab permainan baru mulai.
Itulah barangkali ungkapan yang pas untuk penampilan Argentina pada babak pertama Piala Dunia 2022. Di Piala Dunia 1982, 1986, dan 2014 kan begitu juga? Kalah di babak pertama, bukan saja oleh tim medioker, melainkan juga oleh tim papan bawah.
Lihat saja akhir drama sepakbola dunia tahun 2022.
ARGENTINA akhirnya akan jadi kampiun. Lihat saja nanti di akhir laga Piala Dunia. Tinggal sejari lagi.
Sukacita membahana di kubu serta pendukung Tim Tango. Sebaliknya, saya melihat dukacita yang mendalam. Fans Kroasia meratapi timnya yang seperti diajarkan bagaimana caranya bermain sepakbola oleh anak-anak. Dan anak ajaib itu bernama: MAlvarez. Modric, legendaris Kroasia, ditarik sebelum pertandingan usai. Ia duduk tertunduk lesu, di bangku pemain cadangan yang seolah neraka bagi timnya. Saya tidak tega melihatnya.
Saya saksikan, subuh tadi, beberapa hikmah dapat dipetik:
- Sabar kunci kemenangan, sembari menunggu timing yang tepat untuk menyerang balik.
- Menyerang adalah peratahan yang paling baik.
- Kerja sama tim.
- Melayani
- Menari dalam gendang irama permainan sendiri, jangan terpancing.
Biarlah permainan dunia ini mengalir begitu saja. Mengikuti irama tarian Tango.
Tango pertama kali digunakan sebagai istilah untuk mendeskripsikan musik dan tarian pada akhir abad ke-18 di Buenos Aires.
Tango adalah nama musik para budak pada saat itu di Argentina, lebih khusus lagi nama pertemuan besar di mana para budak menari dengan musik yang menggugah.
Tinggal selangkah lagi: Argentina juara dunia dengan ban kapten berbalut di lengan Messi-ah. Ini saja. Dan sekali ini.
Messi akan jadi legenda. Melebihi siapa saja. Termasuk Maradona.
***
Meski sukacita membahana di kubu serta pendukung Tim Tango. Sebaliknya, saya melihat dukacita yang mendalam. Fans Kroasia meratapi timnya yang seperti diajarkan bagaimana caranya bermain sepakbola oleh anak-anak.
Dan anak itu bernama: Alvares.
Ada dua Martinez di skuad Tango. Satunya kiper. Namun, mimpi buruk bagi Kroasia yang ini adalah pemuda 22 tahun bernama lengkap: Juan Alvares. Ia jadi momok bagi Kroasia di pagi yang dini itu. Dikenal dengan speed, strength dan finishing bola yang luar biasa, pemain belia di klub Manchester City mulai memberi sinar terang.
Bagaimana di gol ke-2 –setelah tendangan 12 pas oleh Messi saat dirinya dijatuhkan– pemain dengan kostum garis biru putih nomor punggung 9 mengelabui sekaligus 3 pemain top dunia, termasuk kiper.
Luar biasa!
Momentum ketika si anak ajaib usia 25 tahun mempecundangi 3 bahkan 4 pemain Kroasia.
Modric ditarik sebelum pertandingan usai. Ia duduk di bangku pemain cadangan. Saya tidak tega melihatnya.
Tapi itulah pertandingan. Harus ada yang menang dan yang kalah. Apalagi ini semifinal Piala Dunia.
Laudato si!
Tapi sekalius juga bersamaan dengan itu: Cest la vie –itulah hidup!