Learning from the Vereenigde Oostindische Compagnie (1)

Preambule:
History teaches. That is why I do not hold a historical grudge against the Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). I can learn many things, at least two: 1) Don’t arm your business with military force, 2) Don’t be extravagant in the ranks of leadership and corruption.

It is intended that this series of writings will become a complete book after about 20 writings. Starting from today.

Semburat warna merah bianglala menerangi langit kota Jakarta. Di area pantai sekitar pelabuhan Sunda Kelapa, orang-orang lalu lalang.

Saya sangat menyukai suasana seperti ini. Ketika mata-hati ada di sini, pikiran dan angan saya melayang ke masa, beradad yang silam.

Ya. Pelabuhan senantiasa menyimpan kehidupan. Bahkan, semenjak dahulu kala, berabad silam. Tatkala bandar ini menjadi satu-satunya persinggahan bagi para pedagang mancanegara.

Dalam senarai pustaka yang saya baca, ratusan kapal layar yang panjangnya puluhan meter dari Tanjungpura telah pun biasa merapat di dermaga ini. Adakah satu saja, jika tidak sepuluh, awak kapal dari Borneo Barat itu adalah nenek moyang saya. Sedemikian rupa, sehingga saya pun bisa turut larut menyanyikan, “Nenek moyangku, orang pelaut………?”

Dengan kegaguman bercampur rasa heran, saya memasuki pelabuhan Sunda Kelapa. Saya bayangkan sebagai meneer di sana. Di mana Sunda Kelapa pada masanya menjadi pusat kendali perusahaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).

Atas keheranan bercampur kekaguman itu, kepala saya berjejal dengan berbagai pertanyaan.  Saya kini mempunyai sudut padang yang berbeda memandang Kompeni Hindia Belanda.

Baiklah! Akan saya tuliskan berseri di sini, sekadar berbagi. Mulai hari ini (14 Desember  2022) di portal media sosial kita yang berkelas ini.

Jika membaca sejarah VOC, dari datang naik kapal hingga sampai Batavia, terjadi banyak intrik busuk dan pembunuhan sesama penumpang. Bahkan, jauh mengerikan dibanding suku asli Borneo, yang dilabeli sebagai “liar” dan belum beradab.

Depan galangan kapal dan mercusuar yang angkuh meski mulai miring yang terletak di bibir pantai Batavia, saya sempat tercenung. Sekaligus, berdecak kagum. Saya teringat Amok, guru sejarah saya ketika SD, tahun 1970-an. Begitu hidup ia mengajar sejarah ketika menerangkan pelabuhan Sunda Kelapa dan peran pentingnya bagi VOC.

Dulu baca saja sejarahnya di buku pelajaran. Saya tertarik melakukan Napak Tilas kompeni, sebab pengen jadi kompeni juga. Saya baca sejarah VOC, very very interested termasuk perniagaan lada di Nusantara.

Julukan sebagai “the king of spices” –rajanya rempah-rempah, tak pernah dicabut dari tanaman bernama Latin “piper nigrum”, tumbuhan monokotil (berkeping satu).

Rempah yang menghangatkan badan, menyehatkan tubuh, sekaligus menyedapkan segala masakan. Ia digemari suku bangsa terutama Eropa, dan orang yang tinggal di daerah dingin. Namun, juga disukai penduduk yang tinggal di daerah tropis sebagai bumbu penyedap setiap masakan.

Dari sisi akademik, saya sarjana filsafat dan master di bidang ilmu sosial. Namun, sangat menyukai sejarah. Akhir-akhir ini, penelitian saya ihwal sejarah, terutama yang terkait dengan Dayak dan KeDAYAKAN. Hampir selalu saya menggunakan pendekatan (teori) konstruktif-interpretif daripada historiografi.

Saya menemukan fakta mengejutkan yang berikut ini: Tanah Dayak hanya dijajah kompeni Belanda 40 tahun saja. Yang 3,5 abad itu Tanah Jawa. Fakta-sejarah ini harus diajarkan kepada anak cucu secara jujur, apa adanya.

Share your love
Avatar photo
Masri Sareb Putra
Articles: 731

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply