Pada zaman dahulu kala. Bilangan manusia masih langka.
Dalam upaya mempertahankan wilayah dan melestarikan klan yang masih sedikit, diciptakan mitos. Salah satunya, mitos mengenai adanya kekuatan dalam kepala manusia.
Selain itu, ada juga kisah ihwal adanya pembersihan lewat darah musuh atau purifikasi. Hal ini terutama terjadi di suku bangsa yang masih inklusif, belum banyak berinteraksi dengan suku bangsa lain.
Kstaria Dayak turun ngayau dalam pakaian perang komplet. Orang Dayak sendiri bingung, mengapa praktik ngayau dihentikan kompeni (Belanda), padahal mereka sendiri melakukannya lebih kejam?
“Why do the Dutch stop us making war when they are having wars all time” seperti diungkapkan Lencau dari Lidung Payau sebagaimana dicatat Blair dan Helmi (1991: 123).
Ketika Dayak belum tumbuh habitus literasi, dan belum menulis, sesuka hati orang menulis tentangnya. Termasuk ngayau yang –pada faktanya– banyak salah daripada benarnya.
Yang mendekati kebenaran adalah konstruksi “ngayau” yang dikedepankan Lontaan (1975: 533-537). Peneliti asal Sulawesi itu mencatat setidaknya terdapat empat motif ngayau.
Pertama, melindungi pertanian.
Kedua, mendapatkan tambahan daya (rohaniah).
Ketiga, balas dendam. Keempat, sebagai penambah daya tahan berdirinya bangunan.
Sesungguhnya, masih ada motif lain di balik ngayau –dan ini jauh lebih penting— yakni upaya atau mekanisme mempertahankan diri. Boleh dikatakan bahwa motif mempertahankan diri ini lebih sering mengemuka daripada motif-motif lain, terutama pascaperjanjian Tumbang Anoi. Motif inilah yang lebih mengemuka dari peristiwa konflik penduduk lokal Kalimantan dengan etnis pendatang.
Apa hakikat ngayau? Faktor-faktor dan motif-motif apa sajakah yang mendorong etnis Dayak melakukan praktik pengayauan? Artikel ini menjawabnya dengan metode kritis menggunakan pisau analisis hermeneutika yang berupaya mencari sensus plenior atau true conditions lewat teks yang ditulis para pelancong dan antropolog barat.
Tinjauan hermeneutis tersebut secara saksama memaparkan bagaimana para penulis di luar etnis Dayak membingkai penduduk asli pulau Borneo tersebut, sehingga membentuk citra sebagai etnis pengayau atau headhunter. Padahal, sejarah mencatat bahwa Dayak bukanlah suku bangsa terakhir di Nusantara yang melakukan praktik headhunting, tapi suku lain, di salah satau pulau besar di Indonesia, selain Kalimantan.
Freeman (1979: 234) yang meneliti praktik ngayau di kalangan Dayak Iban mencatat bahwa ritual paling penting dalam upacara perburuan kepala musuh ialah pada saat ngelampang, yakni memotongnya menjadi bagian-bagian kecil.
Upacara ritual ini merupakan representasi atau kenangan akan Singalang Burong, dewa perang orang Dayak, yang melakukan hal yang sama dahulu kala.
Dengan memotong-motong kepala menjadi bagian kecil, akan mengalirkan benih-benih kehidupan yang apabila ditaburkan nantinya akan tumbuh menjadi sosok manusia. Kepercayaan yang sama juga terdapat pada etnis Dayak di Malaysia, mereka membuat patung Tenyalang menjelang Begawai Kenyalang (Morrison, 1957).
The Begawai Kenyalang was originally connected with headhunting and was in honour of Sengalang Burong, the Ruler of the Spirit World and the God of War whose particular bird in the Rhinoceros Hornbill. A great feast is given which last for three days to drinking of immense quantities of tuak, at the conclusion of the feast, elaborate carved representations of the Hornbill are erected on the tops of high poles. Here Penghulu Ningkan, who gave such a feast to celebrate a good harvest and the return of many Sarawak Rangers from fighting Communist rebels in Malaya, attaches a length of newly flayed pigskin as an offering in the bill of one of Hornbill images (Morrison, hlm. 235).
Ngayau di kalangan suku bangsa Dayak banyak disalahpahami. Itulah yang mendorong saya menulis novel sejarah ini. Meski fiksi, ia bukan novel biasa. Dengan catatan kaki.
Di medan laga. Tak sekali pun orang Dayak pernah menyerah. Meski tidak selalu menang.