Nos habebit humus — kita (semua) akan menjadi tanah.
Demikian sepenggal sayair dari lagu “Gaudeamus Igitur” yang kerap dinyanyikan, atau diperdengarkan, pada acara wisuda akademik.
Meski sering mampir di gendang telinga, mafhumkah kita makna harfiah, makna, serta konteksnya?
Makna harfiah
“Nos habebit humus” secara harfiah berarti “tanah akan memiliki kita.” Ini adalah pengingat bahwa tubuh fisik kita, setelah mati, akan kembali ke alam. Dalam banyak tradisi, ada pemahaman yang mendalam tentang siklus kehidupan, di mana setiap makhluk yang lahir pada akhirnya akan menghadapi kematian. Ini bukan sekadar pernyataan fatalis, tetapi lebih kepada penerimaan bahwa setiap awal pasti memiliki akhir.
Makna semantik
Secara semantik, frasa ini melambangkan beberapa tema penting:
1. Kesementaraan: Hidup ini bersifat sementara, dan meskipun kita memiliki banyak pencapaian dan pengalaman, semuanya akan berakhir. Ini mengingatkan kita untuk tidak terlalu terjebak dalam ambisi duniawi dan mengingat bahwa hidup ini adalah perjalanan yang harus dihargai.
2. Warisan dan Ingatan: Walaupun tubuh kita akan kembali ke tanah, warisan yang kita tinggalkan, baik melalui kontribusi, hubungan, dan nilai-nilai yang kita tanamkan, akan terus hidup. Ini mendorong lulusan untuk berpikir tentang dampak mereka pada orang lain dan dunia.
3. Kesatuan dengan Alam: Ada juga elemen spiritual di sini, di mana “humus” bisa dilihat sebagai simbol kesatuan dengan alam. Ketika kita kembali ke tanah, kita juga menjadi bagian dari siklus kehidupan yang lebih besar, berkontribusi pada regenerasi dan pertumbuhan yang akan datang.
Relevansi pada acara Wisuda
Lagu “Gaudeamus Igitur” dinyanyikan pada acara wisuda untuk beberapa alasan yang saling terkait:
1. Perayaan Pencapaian: Wisuda adalah momen penting yang merayakan perjalanan akademik yang telah dilalui. Lagu ini mengajak semua orang untuk merayakan keberhasilan dan masa-masa indah yang telah dihabiskan bersama teman-teman, keluarga, dan dosen.
2. Refleksi: Pada saat wisuda, lulusan dihadapkan pada transisi besar dalam hidup mereka. Mereka meninggalkan dunia akademis dan melangkah ke tahap berikutnya. Frasa “Nos habebit humus” menambah dimensi reflektif pada momen ini, mengingatkan mereka untuk menghargai perjalanan hidup, termasuk tantangan yang dihadapi.
3. Persiapan untuk Masa Depan: Dengan mengingat bahwa kesuksesan dan pencapaian bersifat sementara, lulusan diajak untuk bersiap menghadapi kehidupan setelah wisuda. Ini bisa menjadi dorongan untuk berkontribusi pada masyarakat dan dunia dengan cara yang berarti.
4. Kesadaran akan Kematian: Meskipun terdengar gelap, kesadaran akan kematian dapat menjadi motivator yang kuat. Ini bisa mendorong lulusan untuk menjalani hidup dengan penuh makna dan tidak menunda-nunda untuk mengejar impian mereka.
Dengan menggabungkan makna harfiah dan semantik dari “Nos habebit humus,” lagu “Gaudeamus Igitur” menjadi lebih dari sekadar lagu perayaan. Lagu ini adalah pengingat yang kuat akan siklus kehidupan, pentingnya mengapresiasi setiap momen, dan warisan yang kita tinggalkan.
Dalam konteks wisuda, lagu ini memberikan kedalaman emosional yang menyentuh, mengajak lulusan untuk merayakan pencapaian mereka sambil merenungkan perjalanan yang masih panjang di depan. Ini adalah perpaduan antara perayaan dan refleksi yang sangat cocok untuk momen transisi yang penting dalam hidup seseorang. *)