Apa istimewanya buku ini?
Jika ditanyakan pada saya, si penulis. Jawabnya, “Tidak ada!”
Saya hanya meneliti. Berkanjang pada bidang. Mengumpulkan dengan tekun sejumlah wiracerita, mitos, peristiwa, tuturan orang tua. Lalu merangkainya menjadi sebuah Monograf –monos grafein-– tulisan tunggal tentang satu topik tertentu, yang dalam.
Barangkali inilah. Inilah mengapa Tim Penilai meloloskan karya saya ini menjadi satu dari sekian karya dosen Indonesia yang layak jadi buku teks, di bidangnya.
Atas jasa lolos hibah buku teks ini, saya menerima sejumlah uang. Lumayan! Bilangannya berapa? Ngasih tahu gak ya?
Bukan pada hadiah uangnya. Tapi lebih kepada pengakuan, sekaligus penghargaan orang pada karya kita. Ini yang membuat saya merasa tersanjung. Dan makin bersemangat menulis buku.
Saripati buku ini adalah fokus ke Dayak Djangkang. Yang di kalangan peneliti dan etnolog dunia disandikan dengan kode: djo (djongkang) ISO 639-3.
Saya mengubah persepsi (mispersepsi) yang keliru selama ini terhadap Dayak.
Pencitraan orang Dayak bertelinga panjang berjuntai anting, bercawat, bersongket, makan sirih, tinggal di rumah panjang, pemburu kepala manusia (headhunter); tinggal kenangan masa lalu.
Labeling bangsa primitif dan stereotipe miring lain, hanya cerita. Dayak Jangkang –yang dalam khasanah dunia internasional dikenal sebagai “Djongkang”– adalah salah satu Land Dayak yang menuturkan dialek Bokidoh. Ditutur lebih dari 45.000 penduduk, bahasa dengan sandi “Djo” di kancah dunia linguistik ini masih, dan akan tetap, eksis.
Bukan pada hadiah uangnya. Tapi lebih kepada pengakuan, sekaligus penghargaan orang pada karya kita. Ini yang membuat saya merasa tersanjung. Dan makin bersemangat menulis buku.
Diimbuhi gambar kuno zaman kolonial yang didapat dari Herman Jozef van Hulten, misionaris Belanda yang menginjakkan kaki di bumi Borneo tahun 1938, foto koleksi Kon. Instituut v.d. Tropen Amsterdam, Romer Museum Hildesheim, dan koleksi pribadi. Menjadikan buku ini bernilai historis, selain studi komprehensif yang membahas kearifan lokal Dayak Jangkang hingga partisipasi politik mereka dalam Perang Majang Desa, filosofi di balik “ngayau” dan tradisi “mangkok merah”, Perjanjian “Tumbang Anoi” antarDayak Borneo 22 Mei – 24 Juli 1894 di Desa Huron Anoi Kahayan Ulu, riak-riak politik Dayak dalam Pemilu 1955, serta mengupas tuntas akar dan sumber konflik etnik di Kalimantan
Barat.
Diangkat dari hasil penelitian lapangan, inilah buku pertama yang membahas etnis Dayak dari pendekatan semiotika Roland Barthes tentang bahasa dan mitos dalam hubungannya dengan petanda
(signifier) dan yang ditandakan (signified).
Pustaka yang membantu siapa saja untuk memahami cara hidup dan cara berada penduduk asli Borneo, selain memberikan perspektif baru tentang cross culture, akar social clash, potensi konflik, dan pendekatan baru untuk mengatasinya.