Puisi.
Apa pun itu. Termasuk berbagai definisi tentangnya. Adalah karya pribadi. Atau ungkapan dari hasil penginderaan sang penggubahnya.
Maka tak ada puisi yang jelek. Atau puisi bagus. Yang ada adalah puisi yang menyentuh perasaan. Yang mengoyak-ngoyak rasa. Dan yang merobek-robek jiwa.
Ada tingkatan-tingkatan puisi. Mulai dari menggunakan Bahasa sederhana, sehari-hari, atau disebut blank symbol. Menggunakan alam sebagai simbol. Hingga pada simbol pribadi. Lazimnya, puisi muncul dari spontanitas. Sedemikian rupa, sehingga menggugah sang penyair untuk mengangkat pena. Lalu mengalihkannya ke dalam Bahasa puisi.
Maka tidak setiap penyair sudi puisinya diedit. Sebab jika diedit, akan hilang makna orisinalnya.
Puisi adalah karya-sastra yang singkat. Juga mudah. Tidak perlu menggunakan banyak kata untuk menggubah puisi.
Namun, seberapa panjang puisi? Bukan soal panjang-pendeknya. Atau diukur dari jumlah kata.
23 Januari 2013, saya meluncurkan. Sekaligus membedah antologi puisi. Jumlahnya 101 –sesuai branding saya.
Pengalaman dari sini: Ternyata, menerbitkan puisi jauh lebih “sulit” dan merepotkan dibandingkan buku lain. Lagi pula, buku kumpulan puisi sulit mendatangkan cuan. Atau, kurang laku untuk dijual.
Meski demikian, saya tetap menulis puisi. Mengapa? Sebab puisi tidak membuat saya kaya. Namun, puisi membuat tulisan-tulisan saya menjadi kaya.