“Racun” itu Bernama Masri

Panggilannya Masri. Perawakannya kecil, tetapi gerakannya lincah dan gesit, mobilitasnya juga tinggi. Nama panjangnya Masri Sareb Putra, putra Dayak asli. Ia pernah menjadi teman satu kantor saya saat kami bersama-sama memulai karier bekerja di sebuah perusahaan penerbitan di bawah korporasi Kompas Gramedia di tahun 1990-an.

Masri tergolong ramah, mudah bergaul, dan murah senyum–seolah Tuhan sengaja menciptakan otot-otot bibirnya begitu elastis untuk gampang tersenyum–membuat nyaman siapa pun lawan bicaranya. Tak heran bila kami pun cepat akrab, meski Masri berselisih usia sekitar 3-4 tahun lebih tua dari saya.

Kami bertugas di divisi yang berbeda. Saya bertugas di keredaksian buku, sedangkan Masri mengelola majalah internal untuk komunitas pendidikan yang menjadi pelanggan utama produk penerbitan kami. Sehingga, waktunya banyak terserap untuk mencari dan membuat berita serta berbagai produk tulisan lainnya. Meski demikian, perusahaan sempat menugaskan kami berdua untuk mengunjungi pameran buku anak di Bologna, Italia pada 1997.

Lelaki yang pernah berkuliah di Malang, Jawa Timur itu rupanya memang sangat piawai dalam mengulik kata. Di luar jam kerjanya, ia masih saja punya energi untuk menulis artikel di media massa cetak yang sudah ia lakoni sejak 1984. Tak kurang tulisannya bertebaran di rubrik opini Suara Merdeka, Bisnis Indonesia, Media Indonesia, Suara Pembaruan, hingga Kompas. Beberapa kali–pada jam istirahat kantor–ia mengajak saya untuk menemaninya mengambil honorarium di kantor media massa tersebut, untuk kemudian menraktir saya makan siang.

Sambil makan, dengan gayanya yang kocak dan nakal, ia selalu menggoda saya dengan mengatakan honorarium dari menulis itu termasuk kategori “uang lelaki”, bisalah dipakai untuk “biaya kenakalan”. Anjriit! begitu istilah anak sekarang. Melihat saya mulai tergoda, ia semakin intens meracuni saya untuk mengikuti jejaknya–maksudnya jejak menulisnya, bukan jejak kenakalannya.

Dan, itu berhasil! Pelan-pelan saya teracuni untuk ikut coba-coba mengirimkan tulisan ke media massa yang ia rujuk. Ternyata tidak mudah memang. Tak ada tulisan saya yang dilirik oleh editor desk opini. Masri pun lalu membagi kiat-kiatnya agar tulisan gampang lolos. Singkat cerita, tulisan saya berhasil menyakinkan editor desk opini. “Sate ini!”, begitu komentar singkatnya setiap kali melihat tulisan saya dimuat. Itulah “kata sandi” kami untuk merayakan hasil dari kebebasan beraksara tersebut.

Sayangnya, beberapa tahun berselang saya dan Masri harus berpisah jalan. Ia dipindahtugaskan ke unit lain sehingga intensitas pertemuan kami boleh dibilang menjadi sangat jarang. Kami pun tenggelam dalam kesibukan masing-masing, saya bahkan semakin jarang menulis artikel.

Beda dengan Masri. Produktivitas menulisnya sungguh luar biasa. Artikel demi artikel terus lahir dari tangannya. Konon hingga saat ini angkanya sudah menembus ribuan artikel. Bukan hanya itu, ia juga sudah menuntaskan lebih dari seratus buku. Edan!

Ibarat sumur yang tak pernah kering. Begitulah Masri. Di tangannya, tema apa saja bisa diolah menjadi tulisan. Termasuk saat ia temukan “celah” yang barangkali belum dilirik orang. Berbekal kecintaan pada darah Dayaknya, ia ciptakan sendiri ceruk bisnis penulisan dengan mengangkat tema tokoh-tokoh dan budaya Dayak. Ia ciptakan juga pasar untuk karya-karyanya itu. Niche marketing strategy! Lincah. Gesit. Ulet.

Di tahun 2022 kami bertemu kembali dalam situasi yang hampir serupa. Kami sama-sama sudah pensiun dini untuk alasan yang berbeda. Masri bercerita bahwa dirinya punya cara dalam menulis–seiring kemajuan teknologi, kali ini secara digital. Lebih mudah karena tak harus melewati seleksi editor, kita sendirilah yang menentukan kapan publish-nya. Lalu siapa yang akan membayar? Adsense! Dan, ia sedang menikmati itu lewat situs bibliopedia.id yang ia kembangkan. Sebuah revolusi dalam menulis. Inilah yang kemudian menginspirasi saya menamai situs ini: WriteVolution sebuah reka akronim dari revolusi menulis.

Lagi-lagi, Masri berhasil menggoda dan mengompori saya. Deja vu! Peristiwa di tahun 1990-an seolah berulang. Begitulah, Masri memang “racun” untuk urusan tulis-menulis dan racunnya memang ampuh. Saya yakin, saat membaca tulisan ini Masri pasti sedang tersenyum sambil siap-siap menelepon saya dan berkata: “Sate ini!”

Photo by OVAN on Pexels.com

Share your love
Avatar photo
Ariobimo Nusantara
Articles: 6

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply