Inzaghi adalah pesebakbola idola saya. Bukan Pele. Bukan Maradona. Bukan Messi. Tidak pula pula CR-7. Apalagi Suarez.
Senyampang suasana demam bola Piala Dunia 2022. Baik kiranya memanfaatkan waktu —timing-– yang tepat untuk menembak (menulis), seperti Inzaghi.
Kenapa? Mungkin karena gaya, sekaligus watak permainannya, mirip saya. Hemat dalam gerak. Inzaghi senantiasa bisa tepat menggunakan waktu untuk menembak karena menggunakan otak dan membiarkan kreativitas liar.
Inzaghi bermain bola dengan insting. Bukan dengan keterampilannya mengolah bola. Bola yang mencarinya, bukan Inzaghi yang mengejar. Inzaghi tahu ke mana bola akan datang. Maka ia ada di situ untuk menunggunya.
Pria ganteng berambut lurus itu selalu berada di ujung tombak, nyaris dekat dengan garis 12 pas musuh. Membuat 2 minimal 1 bek lawan tetap tidak berani maju, sehingga selalu menjaga gerak muslihatnya.
Ketika tiba-tiba bola lambung mengarah kepadanya, ia berlari mendahului bola. Pas bola jatuh di muka, tahu2 sudah ada di ujung kakinya. Kiper terpedaya. Dengan hanya sekali sentuhan, si kulit bundar bergulir masuk jaring gawang lawan. Dan.. gol!
Works smart, not (just) work hard! –Si Pippo itulah contohnya, dalam sepakbola. Sang penerap Pareto principle sing ada lawan.
Lelaki tampan kelahiran Piacenza ini memang lebih banyak disemprit wasit daripada pemain lain. Itu lantaran lebih sering mendahului bola, atau off side.
Saya pernah menghitung. Mungkin 80%, atau bahkan lebih, ia berada pada posisi off side. Tapi dari 20% yang tidak off side, atau sengaja menyembunyikan bola dengan tubuhnya, semuanya menjadi: gol.
Ini persis dengan dalil Pareto!
Jangan buang-buang tenaga dan pikiran untuk yang tidak berguna (80%). Baik waktu, tenaga, maupun pikiran. Kerja sangkil dan mangkus saja, berorientasi hasil.
Works smart, not (just) work hard! –Si Pippo itulah contohnya, dalam sepakbola.
Menunggu timing datang dan menjadikannya peluang, dan dengan hati berdebar apakah off side atau tidak. Hal itu menjadi sebuah penantian yang penuh sensasi. Tapi sekali wasit tidak meniupkan peluit, bisa dipastikan, sebuah gol akan tercipta.
Ketika berada di Roma, 1997. Saya sengaja mampir di stadion San Siro. Tak ada Inzaghi dan AC Milan bermain, atau berlatih di stadion megah itu.
Tapi saya membeli kaos AC Milan di sudut sempit kota Vatikan. Mencari yang dewasa besar semua, akhirnya membeli ukuran anak-anak orang Eropa yang di sini ukuran M. Saya jadi mafhum, dari penjual kaos AC Milan, kenapa warna dasar AC Milan hitam dan merah. Syahdan, katanya, kombinasi warna ini bagai setan: agar musuh takut, tidak konsentrasi pada permaiannya. Benar saja! Lihat saja Gattuso, rekan Inzaghi. Juga tidak pandai main bola, tapi bisa bikin musuh frustrasi. Kemudian, ia yang tampak bermain baik, justru ketika musuh bermain jelek.
Inzaghi idolaku.
Bola yang mengejarnya. Berbeda dengan pemain lain, yang mengejar bola!