Taijitu

Pemahaman, sekaligus pengetahuan, mengenai topik yang menjadi judul narasi ini saya dapatkan dari Prof. Dr. dr. AB Susanto. 

Ia sahabat. Sekaligus teman diskusi saya. 3 biografinya saya tulis.

  1. The Corporate Doctor: Biografi Profesional Dr. A.B.  Susanto (1999).
  2. Dulce et Utile : The Corporate Doctor (2009).
  3. Lumen Cordium (2019)

Kunjungi: https://issuu.com/registrye/docs/lumen_cordium_biografi_ab_susanto

Di sini genaplah peribahasa, “Talking with a wiseman is cut a curve of learning” (berteman dan berbincang dengan orang berilmu memotong kurva belajar).

Saya banyak menimba, dan belajar, dari Susanto. Salah satunya mengenai Taijitu.

Baca Bimbingan Pribadi Sosial di Perguruan Tinggi https://bibliopedia.id/bimbingan-pribadi-sosial-di-perguruan-tinggi/?v=b718adec73e0

Susanto mengaku, dari dulu ia mengenal simbol ini. Namun, makanya dalam kehidupan, ia belum terlampau memahami benar. Secara kasat mata, simbol ini tampak di dalam belahan yang hitam ada putihnya, dalam hitam ada putihnya. Dalam setiap kebaikan, masih ada hal-hal yang buruk. Kita mengalami kebaikan, kita berpikir, ada juga orang yang mengalami hal-hal yang “hitam”. Misalnya, kita bisa sekolah tinggi, tetapi ada sebagian orang yang tidak bisa sekolah.

Sesungguhnya, Taijitu adalah simbol yang mewakili tradisi agama dan filsafat Taoisme (juga disebut Taoisme). Istilah ini berarti “diagram tertinggii’, yang mengacu pada konsep Cina yang terkenal tentang yin dan yang, tentang pertentangan yang ada dalam suatu harmoni yang lengkap.

Gerakan memutar yang ditunjukkan oleh simbol Taijitu juga menggambarkan lingkaran kehidupan ilahi. Dunia berubah secara konstan dan bergerak maju dalam siklus yang berbeda, di mana hari berubah menjadi malam dan malam mengarah ke hari lain lagi. Sementara itu, setiap kelahiran berakhir dengan kematian, dan kematian menyebabkan kelahiran kembali.

Simbol Taijitu terdiri dari dua (satu hitam dan satu putih) yang berputar-putar “bentuk tetesan air mata” yang saling pas untuk membentuk lingkaran yang sempurna. Setiap gambar berisi bagian dari yang lain sehingga ada titik hitam di setengah putih lingkaran dan titik putih di bagian hitam. Bagian yang tampaknya saling bertentangan ini, tetapi saling melengkapi membuat keseluruhan dan dengan demikian, tidak lengkap tanpa satu sama lain.

Yin yang, hitam putih dalam satu kesatuan.

Sisi gelap atau teduh mewakili Yin, dan sisi putih atau cerah mewakili Yang. Yin dikaitkan dengan feminitas, bumi, air, bulan dan malam hari dan dianggap pasif, dingin, lunak, menghasilkan dan basah. Sementara itu, Yang dikaitkan dengan kejantanan, dosa, api, langit, dan siang hari dan dianggap agresif, panas, keras, dan kering. Putih melambangkan khayalan dan hitam melambangkan pencerahan.

Inti dari pesan yang  hendak disampaikan oleh simbol Taijitu adalah bahwa segala sesuatu berada dalam dualitas, yang merupakan aspek dasar dari alam. Konsep kebaikan tidak bisa ada di sana tanpa konsep buruk yang terkait. Pria dan wanita, benar dan salah, terang dan gelap, positif dan negatif, panas dan dingin, siang dan malam, dan semua elemen kontras lainnya saling bergantung dan tidak dapat eksis dalam satu keterpisahan hubungan.

Di satu sisi, gerakan memutar yang ditunjukkan oleh simbol Taijitu juga menggambarkan lingkaran kehidupan ilahi. Dunia berubah secara konstan dan bergerak maju dalam siklus yang berbeda, di mana hari berubah menjadi malam dan malam mengarah ke hari lain lagi. Sementara itu, setiap kelahiran berakhir dengan kematian, dan kematian menyebabkan kelahiran kembali.

Itulah pengertian dasar Taijitu, di mana segala sesuatu berada dalam dua dimensi. Dalam kehidupan nyata, Susanto merasakannya suggguh. Ia mendontohkan ketika akan kuliah ke luar negeri, menerima beasiswa.

“Ada dua pilihan waktu itu,” kisahnya. “Minta beasiswa, uang tidak cukup (berbohong) atau mengatakan yang sejujurnya.” Terjadi gejolak dalam dirinya.  Sebab ia berada dalam situasi dualitas. 

Susanto ingat akan pengalaman dulu ketika mencari beasiswa. Merasa nyaman jika mengatakan, punya cukup uang, tapi kalau dapat beasiswa lebih ringan, sebab masih punya banyak adik. Tidak dinyana, Susanto malah dapat beasiswa FriedrichEbert-Stiftung (FES).

Seperti diketahui, FES  adalah yayasan politik tertua di Jerman dengan tradisi demokrasi yang mengakar sejak berdirinya pada 1925. Yayasan ini berikut visinya dibentuk oleh Friedrich Ebert, Presiden Jerman pertama yang dipilih secara demokratis.

Baca Kepemimpinan yang Melayani https://bibliopedia.id/kepemimpinan-yang-melayani/?v=b718adec73e0

Friedrich Ebert seorang Sosial Demokrat. Ia  berlatar belakang pengrajin sederhana yang berhasil memegang jabatan politik tertinggi di negaranya. Kemudian mendirikan yayasan ini sebagai tanggapan terhadap pengalamannya yang panjang dalam konfrontasi politik. Nah, salah satu tujuan yayasan ini adalah memberikan akses pendidikan yang menyeluruh dan gratis sebagai faktor kunci untuk menciptakan peluang hidup yang setara tanpa memandang latar belakang keluarga. Susanto terbidik, sekaligus menjadi penerima beasiswa ini.

 “Penerima beasiswa ini sedikit, sehingga jumlah dana beasiswanya banyak. Dari situ, saya kemudian tahu ajaran-ajaran Sosial Demokrat, dan sedikit berbeda dengan ajaran Katolik.”

 Menerima beasiswa itu, kata Susanto, ia sekaligus menerima kebaikan. Namun, jauh di lubuk hati ia merasa cukup terhenyak beberapa tahun kemudian, waktu anak-anaknya di Amerika mau masuk universitas ada kesempatan dapat beasiswa. Salah satu ada yang mempertanyakan,  “Kalau tidak terima beasiswa, cukup tidak hidupnya? Kalau begitu, saya tidak ambil, sebab orang lain pasti butuh.”

Pengalaman ini mengisyaratka bahwa dalam kebaikan, ada keburukan. Dalam keburukan pun, ada kebaikan. Orang yang mengalami situasi tidak enak, misalnya, senantiasa ada hikmahnya. Ada pengalaman, sebuah keluarga yang punya banyak masalah, hubungan yang tadinya sangat jauh, menjadi dekat. Tadinya berjauhan, ada masalah, lalu saling dekat. Anak-anaknya mendapat perhatian dan cinta kasih yang sesungguhnya.

Contoh lain. Orang banyak ilmu, bagus, tapi selalu ada blind spot. Padahal, jika tidak tahu, dalam keadaan ignorance, kita merasa lebih damai. Tidak ada hal yang dicemaskan. Berbeda dengan tahu. Kita akan mencemaskan, dan menjadi pikiran, apa yang kita ketahui itu. *)

Share your love
Avatar photo
Masri Sareb Putra
Articles: 731

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply