Tina Lie lahir di pulau Kalimantan tepatnya di Noyan, 24 Maret 1995. Tina Lie mengenyam pendidikan S-1 Kesehatan Masyarakat di Yogyakarta. Hobi membaca sejak kecil membuatnya suka menulis di buku diary. Berawal dari lomba menulis, cerpen yang ditulisnya masuk sepuluh besar naskah terpilih.
Saat ini, Tina Lie sudah menulis kurang lebih 20 cerpen antologi yang dibukukan. Merasa tidak mau pandai sendiri Tina Lie mendirikan sebuah kelas menulis bernama Bumi Menulis yang dikhususkan untuk mereka yang ingin belajar menulis sebagai penulis pemula. Tina Lie sebagai founder Bumi Menulis dan Mentor di kelas tersebut.
Visi dan Misi Bumi Menulis :
Visi :
Menjadi sebuah wadah literasi untuk siapa saja yang ingin belajar menulis.
Misi :
- Membuka kelas menulis during atau pun luring
- Mendongeng untuk anak-anak di pedalaman dan perbatasan menggunakan cerita yang telah ditulis
Membuat kegiatan literasi minimal tiga kali setahun, baik during atau luring
Menulis buku Bumi Menulis
Apa pun bagi penulis bisa menjadi buku. Inilah buku Tina Lie. Bab 1-nya:
- Ketidakpastian
Saat itu, aku baru lulus kuliah. Seperti anak freshgraduate pada umumnya, mencari pekerjaan dan memasukan lamaran di mana-mana. Sesuai jurusan atau pun yang sangat jauh berbeda. Semangat anak freshgraduate masih sangat membara. Tidak ada kata pantang menyerah. Satu hari saja, aku bisa mengirim sepuluh sampai lima belas lamaran kerja via daring.
Diperantauanku, kota Yogya yang membuat semua orang ingin kembali ke sana memang tempat yang nyaman bagi semua orang, apalagi anak-anak muda. Aku yakin, semua pasti betah di sana. Setelah lulus di Oktober 2017 aku memutuskan untuk tidak balik ke daerah asalku, Kalimantan Barat.
Aku pikir, kembali ke daerah adalah kembali menjadi anak muda yang tidak akan melakukan apa-apa. Sudah kubayangkan, ditambah lagi, di daerahku yang minim lapangan pekerjaan. Tidak seperti di Yogya, bebas melakukan apa pun, anak muda lebih berpotensi memiliki peluang sukses yang lebih besar.
Aku ingat sekali, pagi itu, sebuah pesan email masuk. Aku cek, ternyata itu respon balik dari surat lamaran yang aku kirimkan. Dari sebuah Penerbit besar di Yogya. Dari belasan lamaran yang aku kirimkan cuma ini saja yang berada di Yogya, lainnya di Jakarta. Akhirnya, aku dipanggil untuk wawancara.
Semua orang yang baru selesai kuliah pasti paham rasanya dipanggil untuk interview kerja. Dari perasaan senang, siaga sampai bingung. Senang karena menjadi kandidat pekerja, siaga karena harus menebak-nebak pertanyaan apa yang akan ditanyakan oleh HRD, dan bingung karena ini adalah pengalaman pertama masuk dunia kerja. Perasaan campur aduk kayak cendol.
Maklum, ini adalah pengalaman pertamaku masuk sebuah kantor yang terbilang besar. Jadi, perasaan tak tentu, lebih banyak perasaan takut dari pada berani.
Singkat aku ceritakan, sesampai di kantor penerbit itu, aku langsung bertemu dengan HRD tanpa menunggu lama. Di kursi tunggu, hanya ada beberapa orang saja yang ikut interview di pagi itu. Saatnya giliran diriku di interview. Di surat lamaran, aku memilih menjadi seorang telemarketing. Bukan karena pandai berjualan via telepon, tapi karena hanya itu saja lowongan yang kosong. Bisa dibilang, terpaksa saja.
Aku tidak punya skill atau ahli berjualan di sebuah perusahaan besar, aku hanya bisa berjualan yang kecil-kecil saja, seperti kue putu, pisang coklat, dan nasi kotak. Ini modal nekat. Apa pun aku harus selalu mengatakan bisa, karena tidak bisa urusan belakangan, yang penting Pede aja dulu.
Masuk di ruangan itu duduk seorang perempuan. Kalau kutebak berusia 27 atau 28 tahun. Perempuan itu mulai menanyakan beberapa hal tentang marketing. Kata beberapa orang mengatakan kepadaku, jika ingin bisa lulus interview harus percaya diri tinggi. Bisa melakukan semuanya, termasuk mengangkat galon, dan memasang gas kompor.
Semua pertanyaan terjawab olehku. Ditambah modal suka belanja online sampai ikut berjualan online sejak kuliah aku sudah tahu sedikit tentang dunia online dan bisa memastikan suatu produk dan menjual produk supaya closing. Ya, ngga jauh beda jualan baju online dengan jualan via telepon.
Percaya diriku ini memang tidak tertandingi oleh beberapa interviewer lainnya. Lagi pula, setiap libur semester dan pulang ke Kalimantan aku selalu membawa jualan ke rumah, seperti baju batik, kebaya, dan barang-barang yang ada di pasar Beringharjo.
Pertanyaan perempuan itu ludes kujawab, lalu dia memintaku untuk menawarkan produk di depannya, jelas aku sangat ahli dan pintar sekali ngeles. Buatku ini kecillah!
Praktik berjualan selesai. Selanjutnya, aku akan bertemu dengan Direktur penerbit. Pun aku tidak menunggu lama. Diantar oleh seorang wanita chindo berbadan kurus itu, aku memasuki ruangan yang besar dan dingin. Terlihat dari depan pintu ruangan yang di bukakan oleh wanita chindo itu, seorang paruh baya duduk di meja dan terlihat sibuk dengan laptopnya. Tiba-tiba badanku mulai panas dingin saat beliau mentapaku di depan pintu.
“Silakan ke mari, duduk di sini,” kata Bapak itu mengarahkanku.
Dengan rasa hormat, aku duduk di depan meja kerjanya. Wajahku berhadapan langsung dengan beliau. Dia terus menatap gerakanku. Tenang saja, aku sudah mempersiapkan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang beliau akan beri. Sudah kukira-kirakan. Tapi, yang membuatku aneh adalah Bapak itu mulai bercerita tentang kehidupan.
Aku seperti mendengar orang mendongeng. Kurang lebih satu jam dihabiskan beliau untuk bercerita tentang kehidupan, lalu berlanjut dengan iman dan percintaan.
Diawali dengan pertanyaan “sudah punya pacar?” berlanjut dengan “Agamanya sama dengan kamu?” Sungguh membingungkan aku yang freshgraduate ini. karena, setahuku wawancara kerja itu hanya bertanya tentang pekerjaan yang akan dikerjakan, bisa mengaplikasikan komputer, bukan tentang kehidupan sehari-hari. “Matilah!”
Pertanyaan “sudah punya pacar?” terjawab olehku. Lalu aku diminta bercerita tentang kisah cintaku yang masih seumur jagung. Iya, aku baru jadian dengan pacar chindoku itu. Kali ini aku tidak lancar dan kurang pede memenuhi apa yang diminta Bapak paruh baya itu. Aku tidak nyaman kalau harus menceritakan kehidupan pribadiku kepada orang yang tidak aku kenal. Aku rasa itu normal bagi setiap orang yang baru kenal.
Tapi, demi pekerjaan, aku harus bercerita. Aku menceritakan awal pertemuanku, lalu sampailah pada, aku dan koko Surabaya itu beda agama. Aku Katolik dan dia Buddist. Mendengar pacaran beda agama, Bapak paruh baya itu memotong ceritaku. Perbedaan itu membuat aku diceramahi oleh Beliau. Ya, mirip orang kotbah di Gereja panjang sekali. Jujur saja, aku tidak sanggup mendengarnya.
Interview hari itu membuat aku terus berpikir dan bertanya harus bagaimana? Bukan tentang bagaimana bekerja di sana, melainkan bagaimana hubunganku dengan pacarku ini. Kami beda agama. Kulanjutkan atau kuputuskan saja.
Satu yang aku ingat setelah meninggalkan ruangan Bapak Direktur itu, pesan beliau adalah “Setialah pada imanmu, karena tidak ada yang bisa menyelamatkan dirimu selain imanmu.” Aku tertegun mendengar pesan terakhir sebelum beliau mengakhiri interview itu.
Wawancara selesai, terasa sedikit lega karena terhindar dari ceramah yang membuatku berpikir berulang-ulang tentang hubunganku. Ya, siapa yang mau memutuskan hubungan dengan pacar yang baru seumur jagung. Kami masih di lingkar asmaraloka. Jelas, aku bodoh amat dengan saran beliau. Lagian dia tidak tahu siapa diriku. Ditambah, aku masih muda, terserah mau bagaimana hidupku.
Namun, setelah selesai wawancara, hal itu selalu menjadi pemikiranku. Bayangkan, kalau nanti aku kerja di sana, aku harus putus dengan pacarku yang membuat ‘bucinku’ kambuh, kalau tidak bekerja di sana, aku harus menganggur dan mencari pekerjaan lagi. Pilihan yang sulit menurutku waktu itu. Antara mempertahankan orang lain dan karir.
Itu saja yang ada dipikiranku, sampai ponsel berdering pun hampir terlambat untuk diangkat. Di screen terlihat itu adalah nomor kantor. Kuangkat dan, benar saja, itu adalah kantor penerbitan tadi. Admin mengatakan kalau aku diterima di sana dan aku harus kembali ke kantor untuk mengurusi administrasi sebelum bekerja. Jujur, panggilan ini hanya berselang kurang lebih lima belas menit setelah aku meninggalkan kantor itu.
Baik-baik kupikir. Aku mencoba menghubungi orang tuaku, namun tidak ada jawaban dari mereka. Karena, mendengar gaji yang diberikan sangat kecil, hampir tidak cukup untuk aku hidup di sana, jika harus membayar kosan. Aku juga menghubungi pacarku dengan rasa bimbang karena mendengar ceramahan Bapak Direktur itu. Pacarku mengatakan tolak saja, jelas itu tidak cukup untuk hidup dan membayar kosanku. Saat itu, aku sudah tidak diberi uang bulanan lagi oleh Bapakku.
Lalu dengan berbagai alasan, aku menolak pekerjaan telemarketing itu. Dalam hati, aku sangat ingin mencobanya. Tetapi, jika aku terima, aku harus mencari pekerjaan lain untuk mencukupi kebutuhan hidup, dan jelas aku akan diminta untuk tidak berhubungan dengan pacarku.
Maklum saja, saat itu usiaku tergolong sangat muda. Masih belum bisa melihat hal-hal baik dan buruk untukku di masa depan. Bapak Direktur itu, jika aku pikir saat usiaku sekarang ini, memang ada benarnya. Aku memulai hubungan yang akan sulit untuk dijalani. Dan, benar saja, sulit.
Akhirnya, aku masih menyandang status pengangguran di saat teman-temanku sudah memposting tempat kerja dan pekerjaan mereka di sosial media. Aku kembali mencari pekerjaan yang aku sadari susahnya mencari kerja. Dan, beberapa bulan berjalan setelah interview itu, aku putus dengan pacarku, alasannya karena aku berbeda keyakinan dengan dia.
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama dia tidak menulis, dia kaan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
- Pramoedya Anata Toer
Catatan: Profilnya pernah dimuat Kompas, rubrik SOSOK 2 Februari 2023.