Di era digital, mudah sekali melakukan sekaligus mendeteksi plagiat. Juga sangat mudah untuk mennghindarinya, apalagi jika menggunakan jasa Artificial Intelligence. Tinggal perintahkan saja berapa bersen maksimal tingkat plagiasi, maka mesin akan bekerja sesuai dengan perintah.
Namun, masih terjadi juga praktik plagiat. Ada banyak alasan mengapa seseorang melakukan tindak plagiat. Beberapa alasan yang lazim seperti yang berikut ini.
Per-definisi, sebebarnya tidak ada “autoplagiat”. Sebab kita, sebagai penulis dan pencipta Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pemilik HKI itu dan telah mengizinkan diri sendiri untuk menggunakan (kemnali) atau mengutip karya kita. Izin pada siapa lagi, orang kita sendiri yang punya karya itu, dan telah memberi izin pada diri sendiri?
Autoplagiat juga dikenal sebagai “penipuan daur ulang” yaitu tindakan menggunakan kembali bagian signifikan, identik, atau hampir identik kerja sendiri tanpa mengakui bahwa seseorang melakukannya atau tanpa mengutip karya asli. Artikel alam ini sering disebut sebagai menduplikasi atau beberapa publikasi.
Baca AI dan AGI Menggantikan Kecerdasan Manusia?
Selain masalah etika dan angka (kum), ini bisa ilegal jika hak cipta dari karya sebelumnya telah dialihkan ke entitas lain. Kerap autoplagiat hanya dianggap sebagai isu etis saja dalam pengaturan di mana publikasi adalah menegaskan untuk terdiri dari bahan baru, seperti dalam penerbitan akademis atau tugas pendidikan.
Dalam dunia akademik, autoplagiat terjadi ketika penulis menggunakan kembali bagian karyanya yang sudah diterbitkan dan hak cipta masih digunakan pada publikasi berikutnya, tapi tidak menyebutkan publikasi yang sebelumnya itu. Sering kali sulit untuk mengidentifikasi autoplagiat seperti ini. Mengapa? Karena yang bersangkutan menggunakan kembali material yang sama dan hal itu sah-sah saja dan secara etika kelimuan pun tidak menyalahi.
Di sini tidak ada yang salah, sebab kita sebagai penulis sudah memberi izin kepada diri sendiri. Hanya saja, nilainya yang kurang, sebab tidak mengutip sumber dari pihak ketiga. Boleh saja, asalkan tidak terlalu banyak. Sumber karya sendiri satu saja, cukup, tidak diangggap autoplagiat, dan nilainya dikurangi.
Baca Trik & Tips Menulis Biografi sebagai Novel
Dalam hal ini (autoplagiat), sebenarnya yang penting bukan harus meminta izin pada siapa pun, sebab diri sendiri yang mengantongi karya cipta, namun lebih untuk kepentingan pembaca. Jangan sampai pembaca terkecoh, seolah-olah apa yang disajikan sama sekali baru, padahal sudah merupakan daur ulang atau sepenggal dari karya cipta yang sudah ada sebelumnya. Dengan demikian, masalah autoplagiat lebih menekankan untuk jujur pada sumber, bukan harus minta izin pada orang lain.
Pengalaman menunjukkan bahwa ada beberapa kalangan (perguruan tinggi) yang tidak memperkenankan apa yang disebut dengan daur ulang kembali seperti itu. Kasusnya memang sangat spesifik. Yang tidak diperkenankan mendaur ulang ialah karya yang dikerjakan dengan sarana dan prasarana kantor dan proses mengerjakannya seluruhnya menggunakan jam kantor (office hours), sehingga secara otomatis karya tadi memang milik institusi. Dalam kasus ini, izin tentu kepada orang yang berhak mewakili dan mengatasnamakan institusi.
Akan tetapi, sebenarnya merupakan hal yang lazim di kalangan para peneliti di perguruan tinggi untuk mendaur ulang karya ilmiah dan menerbitkan karya mereka sendiri, menyesuaikannya untuk terbitan akademik yang berbeda dan menuliskannya kembali sebagai rtikel lepas di surat kabar, atau menyebarkan karya mereka kepada masyarakat luas sejauh hal itu mungkin.
Tetap ada celah bagaimana cara “mendaur ulang” naskah yang sama ke dalam 3, 4, atau bahkan 5 tulisan yang berbeda. Ini ranah blogger dan konten kreator untuk menaikkan traffict situsnya. Sekaligus menaikkan pendapatan iklan. Perlu berguru!
Akan tetapi, harus diingat bahwa peneliti ini juga membatasi pengambilalihan karya sebelumnya. Jika sebuah artikel setengah sama dengan yang sebelumnya, biasanya akan ditolak. Para mitra bestari (peer review) akan mengeceknya dan sejak dini “daur ulang” yang terlampau banyak (melebihi 10%) tidak akan dibiarkan lolos.
Stephanie J. Bird berpendapat bahwa istilah autoplagiat dapat menyesatkan karena dengan definisi plagiat dapat menimbulkan kekhawatiran akan penggunaan bahan yang sudah pernah dipublikasikan sebelumnya meski oleh orang yang sama.
Baca Literasi Digital dan Literasi Finansial
Autoplagiat lebih terarah pada masalah keadilan (fairness) daripada tindak melanggar hukum, etika, dan hak hak cipta. Seperti yang ditegaskan Samuelson bahwa faktor-faktor yang memungkinkan seseorang menggunakan atau mendaur ulang kembali bahan publikasi adalah hal sebagai berikut.
1. Karya sebelumnya harus disajikan kembali untuk meletakkan dasar atau acuan pada karya selanjutnya.
2. Karya sebelumnya harus disajikan kembali untuk meletakkan dasar bagi sumbangan baru dalam pekerjaan selanjutnya.
3. Bagian dari karya sebelumnya harus diulang untuk memberikan bukti baru atau menyatakan argumen.
4. Khalayak sasaran karya itu berbeda sehingga sah-sah saja penulis membuat versi lain atas materi yang sama untuk pasar yang berbeda.
5. Penulis konsisten dengan pendapat/gagasan/hasil temuannya, sehingga tidak mungkin untuk berkata lain pada kesempatan yang berikutnya.
Samuelson menyatakan bahwa khalayak yang “berbeda” menjadi pertimbangan tersendiri untuk menerbitkan versi yang berbeda. Samuelson menyatakan ini dengan mengacu pada suatu wacana yang ditulis untuk masyarakat hukum dan teknis yang berbeda. Tidak bisa dihindari, seseorang akan mengangkat kembali gagasan pada tulisan-tulisan sebelumnya. Lalu melakukan perubahan seperlunya, membuat catatan kaki dan menambahkan bagian substantif untuk khalayak yang berbeda.
Menurut Samuelson, autoplagiat bukanlah isu yang terlampau perlu dipusingkan. Asalkan jujur pada sumber dan mengindahkan kaidah-kaidah teknik penulisan karya (ilmiah), autoplagiat bukanlah hal yang perlu dipersoalkan.
Autoplagiat di Blog/Situs ber-Adsense dan Pribadi
Kecali Anda seorang konten kreator untuk Blog/Situs ber-Adsense maka autoplagiat sangat diperhatikan Google. Persamaan,atau kesamaan lebih dari 15% dianggap sebagai plagiat. Dan dideteksi oleh mesin sebagai “tidak unik”, atau merah.
Berbeda halnya jika Blog/situs anda sudah live in Iklannya, sering tidak masalah. Namun, jika situs belu diajukan Google AdSense-nya, jangan sekali-kali melakukan autoplagiat di atas kesamaan (similariatas) 15%.
Tetapi toh tetap ada celah bagaimana cara “mendaur ulang” naskah yang sama ke dalam 3, 4, atau bahkan 5 tulisan yang berbeda. Ini ranah blogger dan konten kreator untuk menaikkan traffict situsnya. Sekaligus menaikkan pendapatan iklan. Perlu berguru!
Kecuali blog pribadi dan bentuknya sosial media (sosmed). Sah sah saja me-repost tulisan/ narasi yang sama, berkali-kali.