Tjhai Chui Mie | Tak Sudi Ganti Nama

“Saya tak mau ganti nama. Nama yang diberikan orangtua, tentu punya arti,” kata Tjhai Chui Mie. Walikota Singkawang dari suku Hakka (Khek) berwajah ramah, postur sedang, dan anciang (cantik) berkata apa adanya.

Apa pasal?
Lazimnya, nama pertama orang Tionghoa adalah Marga. Dari sini bisa ditelusuri garis keturunan. Nama kedua mengetahui ia perempuan, atau laki-laki.  Harus enak di telinga. Ada maknanya. Sedangkan nama ketiga juga harus indah, pun harus punya makna. 

Sebagaimana layaknya adat orang Tionghoa, anak ikut marga dari Bapak. Dalam struktur sosial masyarakat
Tionghoa, marga merupakan kebanggaan dan yang menjelaskan garis keturunan.

Sewaktu sekolah di SMEA Pratiwi, sebagian besar teman temannya mengganti nama, yang konon katanya lebih keren dan akan lebih mudah nantinya untuk urusan dengan administrasi negara. Namun, Chui Mie bergeming. Chui Mie sebenarnya memberi contoh. Sekaligus menegaskan: Tionghoa juga bagian dari etnis, yang menjadikan Indonesia bhineka tunggal ika.

Saat sedang mengikuti pendidikan di SD, ada peraturan pemerintah. Kalau orangtua tidak mempunyai surat kawin dari Kantor Catatan Sipil, maka anaknya harus ikut marga ibu. Namanya berubah dari Cong Chui Mie menjadi Tjhai Chui Mie.

Ijazah SD-SMP-SMEA namanya menggunakan marga bapak. Saat pencalonan anggota Dewan, diharuskan
pakai marga mama jika tidak ada surat nikah.

A Mie, sapaan akrabnya, kecil tumbuh menjadi gadis kecil. Saat ia duduk di bangku SMP, bapaknya menjadi pengurus RT.

Pada usianya yang masih belia, ia menyaksikan masyarakat sekitarnya yang mempunyai penghasilan pas-pasan sangat terbebani biaya, dalam hal urusan dengan administrasi pemerintah.

Ketentuan yang berlaku saat itu memang berbeda untuk etnis Tionghoa. Sebagai contoh, untuk mencatatkan
kelahiran di Catatan Sipil harus melalui proses Penetapan Pengadilan; sedangkan bagi yang “pribumi” tinggal mencatatkan saja. Prosedur bertahap ini dengan sendirinya menimbulkan biaya tambahan dalam pengurusannya.

Belum lagi ditambah dengan kultur masyarakat kecil Tionghoa yang pada saat itu punya persepsi bahwa hanya
orang yang bersalahlah yang berurusan dengan pengadilan. Hal itu membuat banyak masyarakat Tionghoa yang tidak mempunyai akte kelahiran.

A Mie kecil tumbuh menjadi seorang gadis remaja. Sewaktu sekolah di SMEA Pratiwi, ada pengumuman
yang menyarankan agar para murid keturunan etnis Tionghoa untuk mengganti nama menjadi nama Indonesia.

Sebagian besar teman temannya mengganti nama, yang konon katanya lebih keren dan akan lebih mudah
nantinya untuk urusan dengan administrasi negara.

Chui Mie mendapatkan wawasan baru mengenai tokohtokoh yang berasal dari suku Hakka. Di antaranya, Sun Yat Sen pendiri dan presiden pertama Republik Cina, Deng Xiaoping presiden pembaruan di RRT, Lee Kuan Yew dan Goh Chok Tong dari Singapura, Thatsin Shinawatra dan Yingluck dari Thailand.

Selain itu, ada beberapa tokoh dari Indonesia yang cukup dikenal dekat dengan Tjhai Chui Mie, seperti: Basuki Tjahaja Purnama, Christiandy Sanjaya, dan Hasan Karman.

Orang dekat, atau para sahabat kerap menyingkat lengkap namanya dengan inisial TCM. Bukan sekadar “tak sudi ganti nama”, di balik tetap mempertahankan asli namanya, Chui Mie sebenarnya memberi contoh. Sekaligus menegaskan: Tionghoa juga bagian dari etnis, yang menjadikan Indonesia bhineka tunggal ika.

Share your love
Avatar photo
Masri Sareb Putra
Articles: 730

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply