Nyatanya, tidak selalu WANITA jadi casus belli perang dan kegaduhan negeri. Situasi negeri kita hari ini, dibanding sejarah Arok Dedes dan Perang Bubat, belum sedramatis itu!
Jangan lupa, semua kisah sejarah terjadi di Jawa. Dan di Malang, ada sebuah pemandian: Ken Dedes. Ke sanalah! Pasti hati dan badan akan adem.
Seakan menggenapi kata-kata Marcus Tullius Cicero (106 – 43 M). Sejarawan dunia sing ada lawan. Bahwa historia mengandung 5 mata: vero vestis temporum, lux veritatis, vita memoriae,magistra vitae, dan nuntia vestustatis.
Dan sejarah, seturut para pakar, harus bisa membuktikan korelasi antara 3 pokok saling terkait ini: pelaku (siapa), setting (di mana dan kapan) dan apa peristiwanya? Lebih mantap lagi, jika sejarah bisa menyertakan bukti berupa artefak, dokumen, keramikologi, serta inskripsi. Komplet!
Jika tidak dapat dibuktikan ke-3nya, bukan sejarah namanya! Tapi “katanya”, masiih dugaan!
Baca Slippery Slope: Challenges in Indonesia’s Political Landscape
Ketika bicara tentang carut marut negeri Pancasila, orang sering menoleh surut ke belakang. Ternyata wilayah Malang dan Trowulan, Jawa Timur “mengajarkan” kita bagaimana kekuasaan direbut.
Agar memarik, kita mulai dari wanita! Kisah cinta dua manusia: Arok-Dedes. Di mana suatu penampakan, cahaya berkilau, telah membutakan mata Arok yang memancar dari arah tengah muka Ken Dedes. Suatu penampakan yang menyilaukan mata. Yang hanya bisa dikisahkan kepada orang dewasa saja tatkala anak-anak sudah pergi tidur.
Dahulu kala, telah dikisahkan kepada saya oleh guru sejarah sejak zaman SMP. Dedes yang memikat Arok dengan kilau di celah pahanya, dan peristiwa ketika Arok merebutnya dari seorang tumenggung tua yang tidak tahu diri.
Baca The 5 Chinese Groups in Indonesia according to Kwee Tek Hoay
Sebagai seorang remaja yang penuh rasa ingin tahu, saya mencari informasi lebih lanjut di perpustakaan, walaupun koleksi bukunya terbatas di kampung kami. Baru ketika saya berada di SMA, dekat kota Amoi, Singkawang, saya memiliki kesempatan membaca roman Ken Arok-Ken Dedes.
Kisah asmara mereka tidak hanya menjadi legenda pada zamannya, tetapi juga melintasi zaman. Ini bukan hanya cerita dari Tumapel, tetapi juga simbol perpaduan antara tahta, harta, kekuasaan, dan wanita yang memicu konflik dan bahkan peperangan.
Sejarawan dunia, Cicero, menyatakan bahwa sejarah adalah pesan dari masa silam. Kisah ini mencerminkan permainan politik yang melibatkan tahta, kekayaan, dan kekuasaan, yang dapat memicu konflik dan perang.
***
Nyatanya, tidak selalu WANITA jadi casus belli perang dan kegaduhan negeri. Situasi negeri kita hari ini, dibanding sejarah Arok Dedes dan Perang Bubat, belum sedramatis itu!
Baca “P” Is the Initial for the President of Indonesia According to This Astrologer’s Prediction
Menurut beberapa catatan sejarah, Diah Pitaloka, putri Prabu Niskala Wastu Kancana dari Kerajaan Sunda, dijodohkan dengan Hayam Wuruk untuk memperkuat aliansi antara Majapahit dan Sunda. Namun, di dalam istana Majapahit, ada orang dekat Hayam Wuruk yang licik dan mempunyai agenda tersembunyi.
Orang ini, yang seringkali diidentifikasi sebagai Gajah Mada, adalah mahapatih (perdana menteri) Majapahit pada saat itu. Gajah Mada ingin mengukuhkan kekuasaan Majapahit dan meluaskan wilayahnya. Untuk mencapai tujuannya, ia menghasut Raja Hayam Wuruk dengan menyebarkan fitnah bahwa Prabu Niskala Wastu Kancana dan pasukan Sunda berencana untuk mengkhianati aliansi.
Perang Bubat terjadi pada tahun 1405 antara Majapahit yang dipimpin oleh Raja Hayam Wuruk dan pasukan Kerajaan Sunda yang dipimpin oleh Prabu Niskala Wastu Kancana. Ada beberapa versi mengenai penyebab perang ini. Salah satunya melibatkan unsur kepemimpinan dan intrik di dalam istana Majapahit.
***
Ditarik mundur. Dalam sebuah rentang sejarah, Hayam Wuruk dan Arok Dedes berasal dari periode yang berbeda. Hayam Wuruk adalah raja Majapahit yang memerintah pada abad ke-14, sedangkan Arok Dedes adalah tokoh yang muncul dalam cerita dan legenda Jawa yang berkaitan dengan zaman awal Kerajaan Singhasari.
I
Tumapel
Ia takkan dapat lupakan peristiwa itu pertama kali ia sadar dari pingsan. Tubuhnya dibopong diturunkan dari kuda, dibawa masuk ke ruangan besar ini juga. la digeletakkan di atas peraduan, dan orang yang menggotongnya itu, Tunggul Ametung, berdiri mengawasinya. Ia tengkurapkan diri di atas peraduan dan menangis. Orang itu tak juga pergi. Dan ia tidak diperkenankan meninggalkan bilik besar ini. Gede Mirah menyediakan untuknya air, tempat membuang kotoran dan makanan. Matari belum terbit. Lampu-lampu suram menerangi bilik besar itu. Begitu matari muncul masuk ke dalam seorang tua mengenakan tanda-tanda brahmana. Ia tak mau turun dari peraduan. Tetapi Tunggul Ametung membopongnya lagi, mendudukkannya di sebuah bangku yang diberi bertilam permadani. Ia tutup mukanya dengan tangan. Tunggul Ametung duduk di sampingnya. Orang dengan tanda-tanda brahmana itu telah menikahkannya. Hanya….
Roman sejarah Arok-Dedes ini ditulis dengan bahasa magis. Menyihir pembaca. Membuat tidak ingin lekas-lekas meninggalkan buku ukuran 13 x 20 cm, dengan tebal 565 halaman.*)