…
Rindu rasa
Rindu rupa
…
Bertukar tangkap dengan lepas
(“Padamu Jua” Amir Hamzah)
Yang menyebar dan membalik: siklus penandaan belakangan ini
Seni rupa di tangan senimannya dan di tangan pengamatnya kini makin tak lagi sebatas objek-objek lihatan di tempat tertentu seperti galeri, tetapi objek yang beralih-alih konteks dengan cepatnya ke berbagai ruang multimodal dan multifitur. Seniman yang bertindak pasif terhadap media-media peralihan ruang akan diambil alih karya-karyanya oleh para pengamat, sehingga ia bertukar posisi jadi pengamat dan pengamat jadi produsen tanda.
Karya-karya Nandanggawe dalam pameran “SEJENGKAL KURANG SEDEPA” (disingkat SKS) pun demikian, diselenggarakan di Orbital Dago Bandung (30 Mei – 23 Juni 2024): diperebutkan oleh senimannya sendiri dan oleh semua yang terlibat langsung dan tak langsung dengan setiap karyanya. Karya-karya yang dihadirkan di galeri, di waktu yang sama bisa hadir pula di menu live media sosial, hadir pula di ponsel masing-masing orang yang mengambil gambar atau video, dan dalam waktu tidak terlalu lama menyebar dalam short, story, status macam-macam orang.
Setiap orang dengan perangkat masing-masing akhirnya cepat atau lambat menciptakan galeri maya masing-masing dan setiap yang melihat menjadi pengunjung; di antara pengunjung tersebut boleh jadi penyelenggara pameran pertama dan juga senimannya. Siklus ini tidak sekadar bergerak keluar dan berputar balik, tetapi juga menciptakan persebaran tanda dengan permainan masing-masing, dan menciptakan konsekuensi pertukaran posisi: produsen tanda menjadi konsumen tanda dan konsumen tanda menjadi produsen tanda.
Sadar atau tidak setiap penyebar konten yang melakukan perluasan galeri tersebut telah melakukan kurasi dengan cara pemilihan media, penyuntingan momen dengan aplikasi tertentu, pemilihan waktu tayang, format tayangan, sistematika penayangan (penonton di ruang medsos dapat masuk melalui pintu yang urutannya ditentukan penyebar konten tersebut); dan tulisan-tulisan menyebar pula dalam beberapa saat kemudian melalui komentar-komentar, baru menyusul tulisan-tulisan panjang dengan format pdf atau lainnya, dengan sisipan ilustrasi karya-karya tersebut (sila ikuti Instagram Nandanggawe); hadir pula semua karya itu sebagai latar belakang mereka yang berswafoto dan orang-orang itu mau tidak mau jadi “bagian dari” karya. Jenis kamera yang digunakan pun macam-macam, sudut pandang pun lain-lainan, dan di media-media bermultifitur semua itu dapat hadir bersamaan dengan iringan instrumen musik tertentu, dengan olahan warna-warna tertentu, pilihan fon tertentu, yang dengannya kita dapat memperbesar, memperkecil, menyamarkan, mengombinasikan, mengolah dengan sarana editing dan dengan durasi kecepatan perpindahan antarobjek yang ditentukan suka-suka atau berdasar templat. Belum lagi semua itu ditayangkan lagi dalam dokumentasi momen-momen diskusi bedah karya, atau momen lain macam pertujukan musik. Semua ini bukan lagi tentang transformasi seni (alih wahana), tetapi tentang persebaran, mungkin “random” dalam istilah Gen Z, sekaligus melibatkan seni dalam keberadaan sinestesia yang menurut hemat saya masih amat langka dibicarakan para seniman itu sendiri, kurator, jurnalis seni, para mahasiswa dan pelajar, guru, dosen, dan para kritikusnya.
(Kalau kita memotret sesuatu dan teringat sirene ambulans dan bersamaan dengan itu kita pun teringat guru matematika saat menerangkan Efek Doppler di mana ia meniru suara sirene sambil tangannya menggambar arah datangnya ambulans yang bergerak ke posisi kita, melingar-lingkar kapur tulis di papan, dari lingkaran kecil hingga lingkaran besar, dan bersamaan dengan itu teringat sahabat kita yang beberapa tahun lalu meninggal, dan merasa langit menjadi mendung padahal tidak, dan seterusnya-dan seterusnya, maka kita ada dalam suatu kondisi sinestetik [di KBBI belum termuat adjektiva untuk “sinestesia”, maka anggaplah “sinestetik” sebagai bentuk adjektifnya]—jika istilah “random” itu terlalu bermakna acak-acakan.)
Dalam beberapa tahun terakhir ini saya terus mengikuti produksi-produksi seni Nandanggawe di Instagram, juga menjalin percakapan dengan sarana-sarana apa saja. Dan SKS makin mendorongnya untuk merasa tidak cukup dengan galeri konvensional. Jauh sebelum pameran SKS di Orbital Dago, beberapa karyanya itu sudah hadir di galeri media sosialnya (Instagram, juga mungkin FB—saya tidak berteman baik dalam postingan statis, story, ataupun short). Saya sendiri pernah membuat siniar singkat di Instagram membicarakan produktivitas Nandanggawe.
Di malam yang lalu saya melihat ulang karya-karya SKS di Instagram Nandanggawe (nandanggawe_artualizr), dan saya tidak dapat menyepelekan hadirnya musik “Suspense” Aytekin Ataş (musisi asal Turki) yang ia pilihkan untuk menciptakan kolaborasi rupa dan musik yang satu sama lain tak bisa tidak saling mengisi dan mungkin berdialektika, meski katakanlah Nandanggawe sendiri tidak memaksudkan demikian (untuk hal ini kita harus menyadari respons pengamat sebagai sumber nilai baru dan tidak lagi dapat ditundukkan otoritas seniman). Berbagai unsur yang berkolaborasi secara sinestetik itu menghasilkan unsur-unsur berikutnya—kalau itu nilai maka itu nilai baru lagi yang bukan karya Nandanggawe juga bukan karya Aytekin, katakanlah nilai yang tumbuh dalam perasaan pengamat, dan itu bukan kelindan, melainkan suatu leburan metafisik yang membuat kita Bertukar tangkap dengan lepas.
Mereka yang pernah mendengar karya Aytekin sebelumnya dan merasa itu suatu alam emergency macam yang saya rasakan mungkin sekonyong merasa bertemu realitas fisik lihatan (drawing atau instalasi) yang pas, dan bersamaan dengan itu pengamat yang lain mungkin memasuki alam lain yang tak termaknakan seperti yang biasa diusahakan oleh bahasa. Bertukar tangkap dengan lepas adalah suatu keadaan persiapan potensial Rindu rasa/ Rindu rupa untuk memasuki sinestesia aktif sehingga bentuk mendorong hadirnya warna, warna mendorong hadirnya suara, suara mendorong hadirnya entitas lain, entitas lain mendorong entitas lainnya lagi, terus begitu, baik berurutan maupun beberapa atau semua terjadi dalam satu wadah imajiner sewaktu.
Pengalaman di Orbital Dago: Menandaskan Struktur
Di Orbital sendiri (saya hadir di malam pembukaan, 30 Mei 2024) Nandanggawe menurut saya tidak sekadar membuat perluasan (meminjam pandangan Jajang Supriyadi) dari pintu masuk galeri ke bagian belakang yang menampilkan instalasi “Doa Para Penjaga”, melainkan sedang mengalih-alihkan inderanya sendiri dan dampaknya menciptakan alihan-alihan indera para pengunjungnya, dan gejala ini memang merupakan gejala permulaan tradisi sinestesia seni modern. Modernisme tidak mengenal satu jalur penalaran untuk menyelami dunia tertentu sehingga seniman-seniman rupa selalu merasa tidak cukup dengan satu media. Modernisme dibangun oleh tradisi penelusuran keberadaan tertentu, kebenaran tertentu, dan nilai tertentu melalui pengembangan-pengembangan metodologi sains yang pengaruhnya adalah menciptakan budaya ragu. Kita dapat melihat isu yang sama dalam sains alam diperebutkan dalam macam-macam artikel jurnal ilmiah. Pengaruhnya tentu sampai pula pada ilmu-ilmu sosial. Dan seni menyerap dunia di antaranya dunia yang sudah dibangun oleh tradisi panjang para modernis. Namun bersamaan dengan itu, apa yang hendak digesernya di sana-sini (tradisi pikir, seni, budaya sebelumnya) mengalami resistensi, bahkan tak jarang melakukan perlawanan kritis sehingga mendorong lahirnya gerakan pascamodern.
Dalam doktrin pokoknya “cogito, ergo sum” modernisme mengisyaratkan ragu sebagai dasar dari keberadaan (secara umum kita katakan “aku berpikir karena itu aku ada”, dan itu benar belaka jika ingat epistemologi Descartes (1569 – 1650) menyandarkan pikir itu pada ragu yang menciptakan aku-individu sebagai satu-satunya yang dapat menyadari keraguan tersebut). Beralih-alihnya pandangan pengunjung SKS pun menciptakan efek modernis yang tidak merasa ada dengan satu modal sehingga berpindah lagi dan lagi untuk memasuki realitas multimodal-konvensional-modernis. Di sinilah saya menangkap paradoksnya: jika karya-karya Nandanggawe merupakan usaha pelarian dari struktur konvensi seni modern dan menciptakan sinestesia waktu—“mundur” ke spiritualitas dan/atau religiositas—mengapa semua itu tidak membebaskannya dari struktur itu sendiri, dalam hal ini jelas tampak pada cara Nandanggawe menciptakan skenario lihatan para pengunjungnya dan cara-caranya menciptakan sistematika penjudulan karya demi karya: seni kontemporer tidak berlari jauh meninggalkan tradisi modernitas tetapi dengan cara masih modernis (struktur, sistematika, skenario) mencoba membongkar yang tak pernah terbongkar olehnya, katakanlah itu nilai atau spirit yang oleh kurator SKS Rifky Goro Effendy disebut religiositas.
Kadang-kadang pengakuan seniman dan karyanya itu tidak mudah kita cari benang merahnya, memang, dan saya sendiri termasuk yang sering merasa kurang nyaman bersandar pada pengakuan. Saya selalu percaya sejauh ini, struktur seni per objek karya, dan struktur seni dalam kesatuan pameran, merupakan representasi dari struktur pikir senimannya. Dan demi mempertahankan tesis saya bahwa SKS merupakan gejala paradoks seni kontemporer disebabkan gejala strukturnya yang modernis, maka saya tandaskan saja kerja kritik ini dengan pembacaan struktur tersebut.
Membaca judul macam “Menuju Sekehyang” saya langsung yakin tidak mengerti judulnya itu sehingga menduga “Sekehyang” itu kata purba belaka, atau kata bentukan Nandanggawe sendiri, yang kira-kira macam alam yang dilukiskannya secara drawing. Beda halnya dengan judul lain macam “Garba Kala” yang membuat saya berimajinasi andai waktu punya perut maka perut waktu itu seperti drawing tersebut. Rupanya beberapa karya mendorong saya kembali ke isu “Sekehyang” karena ada empat belas drawing lain berketerangan sama “Sengkarut pertama sebelum Sekehyang” dan sebuah lukisan berjudul “Seteru organisma sebelum Sekehyang”, dan semua itu bertahun sama 2024 (karya-karya baru), sehingga membuat saya peka dengan tanya apakah ada karya dari tahun-tahun sebelumnya yang masih terkait?
Saya kira itu ada dalam dua puluh empat karya berjudul “Amok di persimpangan” (2023). Dan saat saya mencermati karya “Melipat mantra” (kembali ke tahun 2024) saya melihat bahwa ada dua tahun perjalanan Nandanggawe dalam memikirkan “realitas struktur gelap nan kompleks” dalam “Sekehyang” sebagai yang dimulai oleh kebingungan memahami realitas dan akhirnya menuntaskan “Amok” dan berlanjut pada eksplorasi proses pergerakan ke arah “Sekehyang”: dimulai dari munculnya entitas-entitas baru (organisma) yang berseteru, memasuki persiapan “Sengkarut” dan semua itu memperburuk perut waktu “Garba Kala”. Skenario ini amat sistematik dan ujung-ujungnya adalah “selesai” yang ditandai oleh mantra yang dilipat. Karya tersebut jika dilihat dari sudut pandang tertentu seperti sarung tinju yang ditarik ke arah pemukulnya: ada gerak mundur alih-alih agresif maju. Menarik juga bahwa dalam semua perjalanan itu tersisa jejak-jejak penghayatannya, dan Nandanggawe merasa bahwa itu tidak sekadar tentang jejak dirinya jika melihat judul “Jejak para penghayat”, yakni kita semua yang sadar atau tidak telah meninggalkan banyak jejak (macam “jejak digital”) sepanjang pencarian realitas tertentu. Dan jangan lupakan juga bahwa dalam setiap perjalanan, termasuk itu pencarian metafisik, kita juga akan membawa kenangan, hal lain, yang mungkin di luar rencana atau menjadi bagian yang tak kalah penting dari rencana itu, kita sebut itu “oleh-oleh” dan Nandanggawe juga membawa oleh-oleh dari negeri dongeng (lihat “Oleh-oleh dari negeri dongeng”) yang akan mengembalikan kita kepada dua puluh empat karya “Amok” secara “tradisi” penyusunan: benda satu di bawah benda lain, dapat dibaca dunia ini sebagai susunan, struktur di atas struktur.
Skenario lain yang dapat disatuisukan dalam pameran SKS adalah “Kampung dan kota tanpa halaman” yang bagi saya secara judul menjelaskan semua hal tergembok dalam kesatuan “dokumen” demi melihat cara benda-benda yang disatuhimpitkan dan digembok tersebut, dan ini seakan menjelaskan salah satu simpul pencarian bahwa ke mana pun kita akan memasuki pengalaman yang sama, yang lepas belaka dan terkunci bersama yang lepas-lepas. Dan kalau ditarik ke “Senjakala Kadugalan” kita dapat melihat penguatannya: segala yang kita bisa kini tinggal menunggu tamat. Seni kontemporer rupanya memasuki pesimisme! Terjebak dalam gerak mundur “Melipat mantra” dan “Senjakala Kadugalan”! Maka mungkin jalan terbaik kita adalah menggantungkan diri pada doa-doa yang disimbolkan dengan karung-karung tergantung. Meski semua itu dapat juga dibaca sebagai bagian dari senjakala: tinggal menunggu siapa akan dibuka karung doanya oleh Sang Penerima Doa. Itu sebabnya baik kurator Rifky maupun kritikus Jajang menilai kerja Nandanggawe mengandung aspek religiositas yang saran saya—untuk para pembaca esai ini—jangan dibaca dalam pengertian identik dengan praktik-praktik ibadah agama formal, tetapi sebagai kesalehan artistik dalam menjalani rindu Rupa.
Memasuki skenario Nandanggawe di pra-SKS (Instagram), SKS (Orbital), dan pasca-SKS (Instagram lagi) entah mengapa, bagi saya seperti memasuki alam Amir Hamzah (1911 – 1946)—salah satu puncak kepenyairan Indonesia. “Bertukar tangkap dengan lepas” menjadi cara metodik saya membaca karya-karya tersebut dan diri saya sendiri, di mana ada persimpangan, ada perjalanan pencarian, ada jejak, ada oleh-oleh, ada yang harus ditarikkerutkan ke belakang lagi, ada pesimisme, dan ada yang bertumpuk-tumpuk sebagai doa. Tidak banyak seniman mampu mensistematisasi perjalanannya dan perjalanan kita semua mungkin. Nandanggawe adalah salah satu yang terbaik dalam soal ini. []