Cahaya, Ilusi, dan Templat: Rudi ST Darma

Saya merasa ada situasi atas hilangnya cahaya dalam karya-karya Rudi ST Darma dalam pameran terakhirnya di Abraham and Smith Bandung 14 – 28 Juni 2024. Kehilangan cahaya tidak sama artinya dengan gelap, melainkan setingkat dengan “cahaya” dalam kalimat “wajahnya tidak bercahaya”. Orang berkulit gelap dapat terlihat bercahaya, dan sebaliknya orang berkulit putih dapat dikenai penilaian “tidak bercahaya”. Cahaya dengan kata lain setingkat dengan semangat, energi, atau gairah.

Akan tetapi dalam terminologi absurdis, “cahaya” itu setingkat dengan “ilusi”, kata yang biasanya bermakna negatif. Seperti dikatakan Albert Camus dalam The Myth of Sisyphus (1942), jika kita kehilangan ilusi, kita pun asing. Jadi, ilusi itu bermakna positif dan kita jangan sampai kehilangan. Kehilangan ilusi yang menyebabkan keterputusan itu—Camus pesimistik—tak dapat diperbaiki. Keterputusan itu pula yang jadi dasar teori absurditas.

“HUHUHU”

Kelihatannya memang main-main Rudi itu sebagaimana judul pamerannya, tapi ternyata saya merasa dibikinnya terputus-putus, sadar hilang ilusi, sadar hilang cahaya. Bahkan tawa ha-ha-ha pun yang dilukiskan dalam karya lukis “Huhuhu” ada dalam kehilangan cahaya tersebut. Kita harus melihat tawa sebagai suara yang terpendam, samar, dan akhirnya terasa tawar belaka, yakni suasana mengambang-entah: entah senang entah sedih. Karya tersebut bukan permainan ironi macam dalam puisi Sutardji Calzoum Bachri “Luka”/ ha ha, tapi permainan keterputusan dari sisi mana pun, dari senang dan sedih itu, karena ada orang tertawa karena senang dan ada orang tertawa karena sedih.

Saya bisa tambahkan sastrawan Prancis Eugène Ionesco. Misal kalau kita baca lagi drama The Bald Soprano atau The Lesson, kita dapat temukan pandangan Ionesco tentang absurditas. Cahaya dalam pandangannya kurang lebih setingkat dengan cara pikir Timur, yakni hal-hal metafisik, yang transenden, bahkan juga agama, dan jika kita terputus dari cahaya macam itu, dia bilang, kita sudah hilang sebagai manusia. Apa pun yang kita lakukan tanpa cahaya, menurut Ionesco, adalah tindak-tanduk tidak berguna.

Pikiran Ionesco tersebut tampak juga dalam karya Rudi yang berjudul “Di Antara Mereka” yang isinya hanya bingkai kosong, dan jika pun ada sosok-sosok manusia macam dalam “RKAFFAH”, manusia-manusia tersebut tidak hanya terputus dari sosial, tetapi juga terputus dari diri masing-masing: dilukiskan dengan sosok-sosok hitam yang melepas bayang ke putih atau putih melepas bayang ke hitam, dan jalan mereka entah maju entah mundur, alias langkah-langkah-lepas.

“RKAFFAH”

Seharusnya sosok-sosok tersebut masing-masing dalam kesatuan sosial atau cahaya, tetapi dilukiskan masing-masing berpisah-pisahan. Ini lebih tragis dari membayangkan konsep Ionesco—manusia akan terlepas dan dicemooh sosial—sebab Rudi melukiskan manusia dicemooh dirinya masing-masing dan lebih gawat jika kita sudah tidak sadar sedang mencemooh macam malu-maluin diri sendiri dalam kehidupan di media sosial, dan media tersebut sudah kasih peringatan, sebenarnya, logonya itu berbayang menandakan para penggunanya siap untuk memisahkan diri dari cahaya dan ilusinya.

Kita dan kedirian kita pada dasarnya kita dan ilusi atas diri kita. Ilusi yang baik atas diri adalah ilusi akan kecahayaan diri sedemikian rupa hingga kita menjaganya secara intrinsik (batin) dan ekstrinsik (laku ibadah sosial). Sedangkan ilusi yang buruk mendorong kita pada narsisme templatik, yakni menyerahkan ilusi pada industri-ilusi sehingga kita tanpa sadar sedang dideterminasi templat demi templat yang bukan dari diri kita, melainkan dari penyedia aplikasi. Ilusi atas diri yang otentik membuat kita ada dalam Bhinneka, dan ilusi atas diri yang templatik membuat kita mekanistik. Rupanya itu pula sisi rahasia dari kotak terkunci dalam pameran Rudi: kita tidak tahu lagi kekuatan intrinsik kita, dan ketika kita membukanya macam dihadirkan oleh aquarium kosong, kita tinggal ruang tanpa apa pun, kusam dan kosong (lihat karya instalasi “Blah War tanpa Blah”).

“BLAH WAR TANPA BLAH”

Sastra dan seni rupa memang beda media. Akan tetapi, di mana pun dan zaman apa pun, mereka yang peka akan realitas hidup, akan beririsan satu dengan lainnya: sastrawan dan pelukis apa bedanya. Saya mengenal Rudi ST Darma dengan baik, dan ia tak pernah menulis kecuali sejenis jurnal pribadi racauan dan lebih jernih menceritakannya dengan karya-karya rupa simbolik, dan akhirnya genting untuk kita rasai. Jika kita bertahan dalam kondisi yang Rudi gambarkan, apakah masih bisa kita pulang ke Rumah Cahaya Mahacahaya, Ilusi Mahapositif yang kita imani selama ini? Kita akan baik-baik saja dalam hidup sejauh tidak menyerahkan diri pada kekuatan yang bukan penentu kita. []

Share your love
Avatar photo
Arip Senjaya

Pemenang Literasi Terapan Lokal Perpusnas 2022, alumni Batu Ruyud Writing Camp Kaltara, dosen filsafat Untirta, anggota Komite Buku Nonteks Pusbuk Kemdikbud, sastrawan, editor. Alumni UPI dan UGM.

Articles: 28

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply