“Yang keluar dari ayam itu dua,” kata Gus Dur dalam in-depth interview kami, para penulis buku ini, di rumahnya di di Bilangan Cikanjur. Ketika itu, Gus Dur belum presiden. Kalender saat itu bertarikh Masehi 1998.
“Yang satu telur,” cetusnya dengan gaya khas yang penuh canda. “Sedangkan yang lain, tae!”
Seakan tanpa dosa, Gus Dur mengungkapkan bahwa “PKB adalah telur dari ayam NU”. Ketika partai lain, yang basisnya juga NU, melayangkan protes, Gus Dur hanya tersenyum dan berkata enteng, “Wong saya hanya katakan ‘PKB telur, kok sewot?’ Saya nggak bilang yang lain tae!”
Dengan cara yang penuh humor dan kecerdasan, Gus Dur menjelaskan perbedaannya. “Jadi begini, telur itu berarti sesuatu yang memiliki potensi untuk berkembang dan menjadi sesuatu yang lebih besar. PKB adalah bagian dari potensi itu. Sedangkan tae, yah, ya, begitulah, sesuatu yang lebih pada hasil akhir yang sudah tidak bisa diharapkan banyak lagi,” tambahnya sambil tertawa kecil.
Baca Politeía: Risalah Politik Kuna Plato Sekali Lagi
Dia melanjutkan, “Tapi jangan salah paham, ya. Saya hanya mengibaratkan, bukan mengatakan secara literal. Semuanya punya peran masing-masing dalam ekosistem politik kita.”
Demikianlah metafora ini dapat juga digunakan untuk menjelaskan fenomena yang sedang marak dan hangat saat ini. Dua produk dari institusi yang sama: yang terdahulu ditampik, dicela, tetapi yang ini—yang telur—dipandang pas, baik, dan dibela.
Metafora ini menggambarkan bagaimana pergeseran persepsi terhadap hasil dari institusi yang sama bisa sangat signifikan. Produk yang awalnya dianggap kurang berharga atau tidak sesuai ekspektasi, bisa tiba-tiba mendapatkan apresiasi dan dukungan ketika muncul dengan bentuk atau karakter yang lebih diterima dan dianggap bermanfaat. Gus Dur dengan bijak menunjukkan betapa dinamisnya penilaian terhadap sesuatu, tergantung pada konteks dan waktu.