Ketika saya duduk di kelas dua Biologi dulu, di SMAN Cicalengka, saya sempat mengeluarkan tabungan agak banyak untuk membeli “kalkulator matematika”—demikian waktu itu kami menyebutnya untuk membedakan benda tersebut dengan “kalkulator warung” yang banyak orang miliki, baik orang itu punya warung maupun tidak.
Kalkulator warung adalah kalkulator yang fungsinya masih sangat terbatas, meskipun ada beberapa tombol yang terlalu canggih untuk warung-warung sayur di kampung kami: misalnya tombol akar , tombol M+, M-, atau EXP. Bahkan beberapa toko setengah grosir di kampung sampai toko-toko grosir beneran di pasar punya kalkulator bertombol MRC, tapi kalau teralihkan sebentar pada urusan lain, mereka malah menghitung dari awal, repot sekali. Kalau salah input mereka akan melakukan penghitungan dari awal lagi, bukan menekan C atau CE.
Dan kalkulator warung tersebut malah sudah ada versi mininya dalam bentuk jam tangan anak-anak sekolah sejak di masa saya SD di pertengahan 1980-an. Benda tersebut serasa benda paling canggih saat itu. Guru-guru kami yang sudah lewat umur 50-an dan mulai kabur penglihatan, tidak dapat melihat tombol-tombolnya yang kecil sekali. Umumnya guru kelas satu, baik di SD saya maupun di SD sebelah, memang yang hampir-hampir pensiun. Tidak terlalu paham dengan perkembangan teknologi. Meski sudah sepuh-sepuh, volume suara mereka lebih juara daripada guru-guru muda di kelas atas.
Akan tetapi, tidak semua anak memiliki jam tangan macam itu. Selain lebih mahal, juga bisa bikin serba salah saat memakainya: merasa diri sedang meniru-niru anak orang kaya sementara teman-temannya tahu dia anak orang biasa, dan bisa merasa diri dipandang tidak bisa penjumlahan, perkalian, atau pembagian, operasi hitung paling dasar sekaligus paling aneh saat saya pertama kali diajari di sekolah:
Ibu dan bibi saya mengajarkan angka tertentu dan meminta saya mencari dua angka lain yang bisa membuatnya ada, sedangkan di sekolah semua itu dibalik: saya harus menghitung berapa tambah berapa sehingga menciptakan angka hasil tambahnya.
Kata bibi saya yang waktu itu selalu meyakinkan saya untuk berani tidur sendiri, setiap angka itu tak pernah sendirian, pasti sekurang-kurangnya ada dua pasang lain yang membuatnya jadi bernilai tertentu. Istilah bibi saya: setiap angka adalah anak dari ayah dan ibunya, atau tidak ada anak angka yang sendirian.
Misalnya bibi saya memberi saya angka “4”, maka saya tahu dua angka lainnya bisa 2 dan 2, bisa juga 3 dan 1, bisa juga angka tersebut (4) dan 0. Sementara di sekolah guru-guru kelas rendah mengajarkan kami “Berapa dua ditambah dua?” sehingga saya terpaku pada dua ditambah dua, bukan pada empat karena empat bagi saya bisa saja hasil dari satu ditambah tiga. Karena itulah kalkulator menjadi penting buat saya sejak SD, untuk membantu saya fokus pada berapa tambah berapa tanpa harus memikirkan begitu banyak angka yang saling terhubung. Makin tinggi angka-angka tersebut, makin soak baterai otak saya. Dan ibu saya tidak melarang saya membawa kalkulator warung sejak kelas tiga, dan malah saya diajarkan menggunakan tombol akar, M+, M-, dan EXP.
Baik kalkulator warung ukuran normal maupun yang ukuran jam tangan memang sering dituduh-tuduh para orang tua di masa itu sebagai salah satu penyebab anak-anak sekolah tidak hafal perkalian satu sampai sepuluh. Saya tidak mengerti mengapa semua itu harus dihafal. Bibi saya biasa mengajarkan angka sebagai hal yang tak terpisahkan dari angka-angka lain belaka, dan karena kemungkinannya sangat banyak, mana bisa kita menghafal semua itu.
Kalau guru bertanya berapa 8 x 4, pikiran saya ke angka “8” dulu sebagai angka yang dibentuk oleh 4 + 4, atau 1 + 7, atau 6 + 2, atau 5 + 3, atau 8 + 0, lalu terganggu oleh angka “4” sebagai 2 + 2, atau 3 + 1, atau 4 + 0. Betapa lambatnya saya menjawab, dan bisa lebih lambat lagi kalau yang saya bayangkan adalah tidak sekurang-kurangnya dua (sepasang), tetapi lebih dari dua. Tidak boleh ada anak angka yang sendirian.
Cara saya berpikir bisa sepanjang ini:
8 x 4 = ?
(4 + 4) x (2 + 2) = ?
((2 + 2) + (2 + 2)) x ((1 + 1) + (1 + 1)) = ?
(((1 + 1) + (1+1)) + ((1+1) + (1+1)) + ((1 + 1) + (1+1)) + ((1+1) + (1+1))) x (((1 + 0) + (1 + 0)) + ((1 + 0) + (1 + 0))) = ?
Saya paling suka menjumlahkan angka sampai pada nol karena hanya dengan nol angka tersebut terlihat tidak sendirian dan nilainya tidak berubah.
Dan kadang-kadang kerumitan tersebut masih ditambah oleh imajinasi saya terhadap daftar nama yang bibi atau ibu saya ajarkan dengan menyebut saudara-saudara kandung mereka. Sebagai contoh, untuk perkalian sederhana macam 2 x 3 saya bisa teringat “2” itu Mang Iwang dan Mang Asep, dan “3” itu Bi Ratih (bibi yang mengasuh saya itu), Bi Nunun, dan Bi Emi. Lantas saya akan tahu hasilnya “6” dari pasangan-pasangan yang terbentuk:
Mang Iwang-Bi Ratih (1),
Mang Iwang-Bi Nunun (2),
Mang Iwang-Bi Emi (3);
Mang Asep-Bi Ratih (4),
Mang Asep-Bi Nunun (5), dan
Mang Asep-Bi Emi (6).
Bayangkan jika guru saya bertanya berapa dua belas dikali dua, maka saya akan mencari tambahan nama di luar sepuluh saudara kandung ibu saya (sebelas dengan ibu saya sendiri). Angka dua belas membuat saya harus menambahkan satu unsur nama dari saudara kandung ayah saya sedemikian rupa hingga saya mendapatkan dua puluh empat pasang. Dan itu bukan tanpa masalah, karena saya tidak terlalu dekat dengan saudara-saudara kandung ayah saya. Memilih salah satu saja tidak mudah!
Jadi, saya tak pernah mudah sampai pada hasil penjumlahan karena setiap satuan angka yang dijumlahkan selalu saya pahami tidak begitu saja ada, melainkan hasil dari-hasil dari penjumlahan angka-angka lainnya yang banyak kemungkinan, terlebih setelah saya mengenal angka “1” sebagai angka yang masih bisa dibentuk oleh pasangan setengah ditambah setengah (0,5 + 0,5), makin tidak mudah melihat hasil penjumlahan karena pikiran saya cenderung mundur jauh. Jika dalam penjumlahan/pengurangan saya menyukai nol (0), dalam perkalian saya menyukai satu (1) karena berapa pun dikali satu pasti hasilnya masih angka tersebut dan ia tidak sendirian.
Karena itu, sekali lagi, ibu saya membelikan kalkulator warung untuk membantu saya segera menjawab, atau paling tidak untuk memverifikasi jawaban kotrétan (uraian di atas kertas) saya. Di sekolah tidak mudah menggunakan kalkulator tersebut karena guru-guru saya selalu melarang jika ketahuan. Kecuali anak-anak orang kaya yang memakai kalkulator jam tangan, tak terlalu terlihat, dan biasanya guru sepuh atau guru muda segan menegur anak-anak orang kaya itu andaipun tahu itu tidak sembarang jam tangan.
Di masa itu kalau ada orang tua murid berangkat haji, oleh-oleh yang diminta anaknya macam-macam, tapi yang paling pokok memang jam tangan kalkulator. Kalau ada anak pakai jam tangan macam itu, suka disangka oleh-oleh dari Arab, padahal bisa jadi dibeli dari Bandung.
(Aneh juga, bagi mereka yang tinggal di pesisian Bandung, kalau pergi ke pusat kota biasa menyebutnya pergi ke Bandung, seakan-akan mereka berada di kota lain atau provinsi lain. Kalau saya pulang dari kampus UPI (Ledeng), dua jam kurang perjalanan dengan kendaraan umum ke Rancaekek, teman-teman saya akan bertanya “Baru pulang dari Bandung ya?” Itu artinya, jarak kampung dan kota di masa lalu selalu dipandang jauh, mengingat fasilitas transportasi pun saat itu masih tidak sepraktis sekarang yang hampir setiap rumah paling tidak punya sepeda motor.)
Sedangkan kalkulator matematika yang sudah saya sebut sebelumnya adalah kalkulator khusus untuk belajar matematika, sebuah alat bantu untuk meringkas jarak kotrétan (uraian), agar tidak menghabiskan setengah halaman kertas atau lebih untuk menurunkan beberapa perhitungan. Mereka yang duduk di kelas Fisika atau Biologi sangat membutuhkannya meskipun tidak semua teman saya berusaha membelinya. Bukan karena mereka cepat mengurai, tetapi karena tidak memandang penting memilikinya. Beberapa anak yang terhitung kaya juga tidak memilikinya dan biasa pinjam ke saya, terutama untuk urusan perhitungan yang membutuhkan tombol “sin”, “cos”, dan “tan”.
Entah sejak tahun kapan benda canggih tersebut ada di Indonesia, saya mulai melihatnya ketika duduk di kelas dua Biologi saja (1994), dan dijual di toko idola kami, toko yang biasa kami kunjungi sepulang dari sekolah, dipajang di etalase paling depan pula. Di Jakarta mungkin sudah beberapa tahun sebelumnya dipakai anak-anak pelajar, apalagi di London, Paris, New York, dan kota-kota besar dunia lainnya.
Satu lagi yang aneh saat saya belajar penjumlahan di kelas rendah, saya diajarkan lambang “+” oleh Pak Guru atau Bu Guru, sementara Bi Ratih mengajarkan lambang “U”. Setiap kelompok gambar yang ia tunjukkan, tidak pernah ada gambar yang sama jika kami mau bermain-main dengan “U”. Kalau saja satu kelompok ada gambar bintang, orang, dan rumah, maka kelompok keduanya tidak boleh lagi ada gambar yang sama, katakanlah yang kedua itu gambar pulpen, piring, dan gelas. Semua itu kata Bibi bisa dihitung dengan “U”. Jadi, entah siapa yang salah jika kemudian saya berpikir (1 + 1 + 1) + (1 + 1 + 1) itu tidak mungkin ada hasilnya karena “+” sama dengan “U” dan dua kelompok angka yang dijumlah itu sama saja gambarnya “1”—saya masih bisa menghitung jika isinya adalah (1 + 2 + 3) + (4 + 5 + 6), yakni enam!
Kalkulator pertama saya paling tidak sudah dapat mengalihkan pikiran saya tentang “U” karena di tombolnya hanya ada “+”. Dengan tombol “+” saya baru bisa menjumlahkan (1 + 1 + 1) + (1 + 1 + 1) tersebut.
Di masa SMP nanti, saya baru bertemu guru matematika yang hebat, sahabat ibu saya, dan menyebut satuan angka sebagai lambang lain dari sekurang-kurangnya sepasang angka. Teorinya sama dengan teori bibi saya yang waktu SD sangat rajin menjelaskan istilah-istilah suku. Yang saya sukai dari guru SMP itu malah menerangkan bahwa 2 x 2 = 5 itu boleh saja, tetapi itu tidak benar. “Boleh” yang ia maksud adalah boleh diterima sebagai “kesamaan” sehingga lambang “=” menjadi lambang dari kesamaan tersebut. Kesamaan tidak melambangkan kebenaran, dan benar dengan demikian tidak berarti sama. Contoh 2 – 1 < 5 adalah benar, tetapi ia bukan kesamaan, dan Bu Guru Sinaga menyebutnya “ketidaksamaan”.
Rupanya pikiran saya selama SD terjebak pada “U” sama dengan “+” dan “=” sama dengan benar. Di saat SD saya tidak menyadari perbedaan gabungan (U) dan jumlah (+), juga tidak menyadari matematika itu sama saja dengan kalimat sehari-hari—belajar dari makna sama dengan/kesamaan dan ketidaksamaan (<, >, ). Dan sejak SMP juga saya mulai sadar bahwa segala upaya Bi Ratih dan ibu saya dalam mengajarkan angka, salah satunya untuk membuat saya tidak merasa sendiri jika tidur tanpa mereka.
Sedemikian banyaknya kemungkinan dunia di balik setiap angka, maka mereka yang senang mengurai dan mengurai mengganggu jalannya kecepatan menjawab, memang wajib punya kalkulator.