Gutenberg yang tak-pernah Mati |Buku Cetak dan Keunggulannya (1)

Saya menyimpul seulas senyum. Ketika, dan selama, membaca tulisan sahabat dan kompatriot saya di penerbitan Grasindo dulu, Ariobimo Nusantara. Judulnya “Gutenberg masih Bisa Tersenyum”https://bibliopedia.id/gutenberg-masih-bisa-tersenyum/?v=b718adec73e0

Bagaimana tidak tersenyum? Di dalamnya, tersirat dan tersurat semburat harapan akan sukacita kita semua: pekerja dan pegiat literasi. Bahwa di era, yang konon katanya paperless ini, buku cetakan masih bertahan. Bahkan, masih mengungguli buku digital dalam hal omset penjualan.

Ulasan buku oleh pegiat dan  editor senior Gramedia di Web kita ini, sungguh menyentuh. Bukan saja hati, melainkan kepentingan. Terutama penulis, pengarang, dan penerbit.

Sungguhkah era digital meniadakan media cetak?
Tidak!

Hal itu sesuai dengan teori media, yakni mediamorfosis (Fidler, 1997). Yang menegaskan kembali pernyataan McLuhan (1964) bahwa media adalah perpanjangan manusia. Dan media sesungguhnya adalah pesan itu sendiri.

Media, apa pun itu. Tidak saling meniadakan atau kanibal. Melainkan saling melengkapi. Demikian menurut teori media. Maka, Gutenberg –penemu mesin cetak pertama di dunia– bukan hanya masih bisa terseyum. Tapi ia tak pernah mati.

Dengan demikian tiap media tidak saling kanibal, melainkan: Saling melengkapi. Dengan keunggulan dan keterbatasannya, masing-masing media tetap ada penggunanya.

Meski –katanya—saat ini era digital; toh fakta penjualan buku masih tetap versi analog (cetak) yang paling banyak. Hingga kini, sejak buku digital dipraktikkan, perbandingan omset penjualan buku digital dan cetak 30% berbanding 70%.
Sebagai perbendaharaan pengetahuan, silakan kunjungi: https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=8BqvBAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA34&dq=info:UMIFw_si_6IJ:scholar.google.com&ots=8mjruTmn9Y&sig=qcNH-kDqzWdBdmtnmV5Goe53_Mc&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false

Gutenberg yang tak-pernah Mati
Johannes Gutenberg, seorang Jerman dari kawasan Mainz, sebagai “penemu” teknologi cetak yang pertama. Dari tangannyalah lahir  Septuaginta, kitab Latin pertama yang kemudian populer disebut sebagai “Injil Gutenberg”. Kitab ini disebut juga sebagai “Injil 42 Baris” karena setiap halamannya terdiri atas 42 baris.               

Injil Gutenberg rampung pengerjaannya pada 15 Agustus 1456, dengan jumlah cetakan 200 eksemplar. Sebagian dicetak di atas kertas, dan sebagian lagi dicetak dalam vellum. Ukuran (format) buku 12 x 16, 5 inch. Konon, sekarang buku itu hanya tersisa 40 buah saja. Barang berharga dan bersejarah itu 14 buah berada di Amerika Serikat.

Boleh dikatakan, revolusi di dunia produksi media cetak dimulai ketika Gutenberg pada tahun 1456 menemukan mesin cetak sederhana. Meskipun sederhana, mesin cetak itu dapat memproduksi secara massal beberapa kitab (produk).

Penemuan Gutenberg merupakan titik awal yang menjadi inspirasi bagi penemuan-penemuan mesin cetak selanjutnya yang semakin hari semakin canggih.

Sejak itu, teknologi percetakan semakin berkembang sehingga memicu perkembangan produksi media cetak seperti buku, majalah, surat kabar, serta berbagai terbitan berkala maupun tidak berkala lainnya. Tanpa adanya jasa Gutenberg, kita tidak tahu seperti apakah perkembangan teknologi percetakan dan output-nya.           

Tahun 1884 boleh dikatakan terjadi lompatan teknologi di bidang percetakan buku. Seorang penduduk Baltimore, Ottmar Mergenhaler berhasil menemukan jenis mesin linotype. Disusul dengan penemuan mesin cetak yang lebih modern, yakni mesin cetak silinder.           

Dan pada awal abad 19, buku tidak saja menjadi sebuah produk budaya. Akan tetapi, buku  juga berfungsi sebagai komoditas (barang dagangan).

Teknologi percetakan kian berkembang. Seni artistik pun masuk dalam industri buku. Buku telah semakin multifungsi, dicetak dalam jumlah besar, menjadi salah satu media komunikasi cetak di samping media lainnya.

Tak ada media yang penting dan strategis, yang dapat mendokumentasikan peradaban manusia, seperti buku. Tak syak, buku merupakan hasil dari perekaman dan perbanyakan (multiplikasi) yang paling populer.

Berbeda dengan media cetak lain, seperti majalah, koran, tabloid, buku dirancang untuk dibaca dengan tidak terlalu memperhatikan aspek kebaruannya karena waktu terbitnya tidak begitu mempengaruhi.
(bersambung tulisan ke-2: Buku menurut Ensiklopedia Indonesia: Tidak Tergantikan Perannya)


Ilustrasi: Gutenberg memperhatikan dengan saksama hasil cetakan pertamanya.
sumber: istimewa

Share your love
Avatar photo
Masri Sareb Putra
Articles: 731

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply