Makalah ini dipresentasikan dalam Pembukaan Pameran dan Seminar Cagar Budaya dalam Seni Rupa, Balai Pelestarian Budaya Wilayah VIII, 27 April 2024 di Museum Kepurbakalaan Banten Lama bersama Gebar Sasmita (yang karyanya dipamerkan), Edi Bonetski, dan Heru Hikayat. Pameran berlangsung sampai bulan Juni 2024.
Tiga kasus
Terus terang sampai saat ini saya agak kurang nyaman dengan (1) istilah “realisme sosialis” yang melekat kepada Hendra Gunawan karena menurut saya itu merugikan Hendra sendiri dan bahkan merugikan sejarah seni rupa Indonesia. Sepertinya istilah ini tidak secara otomatis melekat juga kepada Gebar Sasmita, muridnya, paling tidak secara kuantitas Gebar lebih sering melukiskan kesepian eksistensial[1] daripada gambaran sosial (yang realisme). Saya kira itu kasus pertama. Kasus keduanya berkaitan dengan “impresionisme” yang juga melekat kepada Hendra (2): mungkinkah realisme sosialis itu diakomodasi oleh impresionisme? Kita tidak dapat berpikir sebaliknya mengingat realisme sosialis itu menyangkut konten seni dan impresionisme adalah struktur. Kasus terakhir (3) tentang struktur impresionisme yang bekerja atas alih wahana objek cagar budaya dalam beberapa lukisan Gebar yang dipamerkan April – Juni 2024 di Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama.
Realisme sosialis
Realisme sosialis tidak pernah dapat kita rumuskan secara bulat. Kalau hal itu diurunutkan ke estetika Marxis, di belakangnya mesti jangan lupakan Hegel yang memandang seni sebagai suatu soal material dan sensual dan bukan unsur-unsur tersebut yang menjadi intinya, melainkan pesan di baliknya. Malah lebih jauh lagi tentu berkaitan dengan realisme Plato, filosof pertama yang merumuskan Yang Real. Konten senilah dalam “ideologi” yang satu ini yang menjadikan stuktur sebagai suatu-soal-lain-seni. Dengan kata lain, gaya suatu lukisan adalah suatu soal dan apa yang dibicarakan di dalamnya adalah soal lain lagi. Struktur ditaklebihkan sebagai instrumen yang melayai konten. Konten adalah power-nya. Itu benar-benar ide platonian meskipun Plato tidak bicara Yang Nyata sebagai kuasa! Ia hanya bicara Yang Ada sebagai yang tak tertirukan (tidak ikonik) dengan peniruan kedua dan ketiga. Strukturalisme belum bekerja sebagai sarana objektif dalam tahapan realisme sosialis meskipun paradoksnya ada pula beberapa peneliti lukisan Hendra menggunakan pendekatan ikonografi seperti Christine Toelle[2]. Dikatakan paradoks karena ajaran Hegel itu sendiri ditolak oleh positivisme logis-nya strukturalisme! Ikonografi sendiri berangkat dari hal-hal yang antara tanda dan acuannya memiliki hubungan kemiripan, dikembangkan pertama kali dalam semiotika Peirce. Ikonografi adalah analisis permukaan: seni adalah struktur objektif dan seni semata tentang relasi antarunsur dalam struktur. Di tangan Stalin sendiri di Uni Soviet, seni yang realisme sosialis itu menjadi alat penggambaran positif tentang kehidupan buruh dan hal itu untuk/dalam rangka memuliakan rezimnya[3]. Gerakan seni waktu itu makin menguat saat dipimpin langsung Andrei[4] Zhdanov (1896 – 1948) yang adalah menantu Stalin dan calon pengganti Stalin juga. Karena ingatan saya pada kasus ini maka saya selalu curiga jangan-jangan stempel “realisme sosialis” bagi Hendra merupakan sindiran, ia sedang dituduh sebagai “mantu simbolik” pendukung rezim, dalam hal ini PJM Soekarno. Dan jika itu suatu pujian, artinya ada kecenderungan para pemujinya sebagai pedukung estetika realisme sosialis atau mereduksi seni pada gagasan partai. Menurut saya, baik itu sindiran maupun dukungan, sama-sama merugikan Hendra. Akan tetapi, apabila kita mengingat beberapa karya Hendra yang menunjukkan rakyat berbahagia, ada kecenderungan itu —seharusnya— suatu sindirian bahkan cemoohan alih-alih pujian. Sebagai kasus pokoknya adalah lukisan-lukisan Hendra dalam seri perempuan menyusui anak.

Bagi Zhdanov, sebagaimana dapat dibaca dalam dokumen resmi visi-misi partainya (1947), seni harus tetap melanjutkan semangat Lenin dan Stalin. Inilah yang di atas saya sebut power, dan sebagai power ia mulanya merupakan desakan ekstrinsik. Melalui… Lenin dan Stalin, partai kita telah berulang kali mengakui betapa pentingnya karya sastra dari para penulis dan kritikus revolusioner-demokratis Rusia yang besar, Belinsky, Dobrolyubov, Chernyshevsky, Saltykov-Shchedrin, dan Plekhanov. Sejak Belinsky dan seterusnya, semua perwakilan terbaik dari intelektual revolusioner demokratik Rusia telah mengecam ‘seni murni’ dan ‘seni demi seni’, dan telah menjadi juru bicara seni untuk rakyat, menuntut agar seni memiliki makna pendidikan dan sosial yang layak…. [dan sebagaimana yang pernah Lenin sampaikan tahun 1905, seni adalah untuk] mengimbangi kebiasaan-kebiasaan borjuis, untuk mengimbangi pers komersial borjuis… proletariat sosialis harus mengedepankan prinsip sastra partisan.[1]
Saya kira tidak ada sejarah partai paling dekat yang paling merugikan seni selain Bolshevik, otoritasnya dijabarkan sampai pada pengaturan seni yang sesuai haluan partai dan seni-seni yang tidak sejalan mereka injak-injak. Dalam lagu Lilis Surjani yang saya kutip di muka makalah, kita dapat dengarkan juga bait bicara tentang “haluan”.
…
Manipol Usdek
Haluan negara kita
Karya Paduka Yang Agung serta Mulia[2]
Di masa kepemimpinan PJM, kita dapat melihat semangat yang sama sampai-sampai kita mengenal istilah “seni ngak-ngik-ngok” untuk lagu-lagu yang terpengaruh Barat —ini kasus Koes Plus[3] yang menyanyikan lagu The Beatles sehingga mereka masuk bui tahun 1965 (Juni sampai September). Seni mesti sehaluan dengan kekuasaan politik. Kekuasaan jenis ini di masa Orde Lama tidak memberi tempat pada kekuasaan simbolik individu atau kelompok, yang simbolik harus sejalan dengan yang ekstrinsik, meskipun hal itu tidak disadari seperti yang mungkin tidak disadari anggota Koes Plus di masa itu mengingat mereka bukan bagian dari oposisi PJM dan mereka masih terhitung muda, umur 20 – 25-an.
Di masa kejayaan PJM, mereka yang karya seninya sejalan dengan PJM sendiri, menunjukkan rakyat berbahagia seakan-akan tak tersentuh situasi politik-ekonomi yang menyengsarakan, tidak masuk bui dan salah satunya Hendra Gunawan dan juga para penyanyi dan sastrawan dan seniman lain yang sehaluan. Tapi Orde Baru juga tidak kalah otoriternya, setelah Koes Plus bebas, Hendralah yang masuk bui, jauh lebih lama pula! Watak kekuasaan rupanya sama saja, merugikan seni.
Jika ternyata Hendra “terpaksa” melayani PJM demi cari aman atau sanjungan dari PJM sendiri sebagaimana Koes Plus pun begitu “terpaksa” melayani semangat nasionalisme Pancasilais sehingga menciptakan lagu-lagu bertemakan “Nusantara” dan sejalan dengan Orde Baru, maka saya dapat menilai struktur seni mereka adalah suatu politik, “politik seni”, untuk meloloskan seni ke publik yang dalam sastra pernah ditempuh oleh Marah Roesli melalui Sitti Nurbaya (Balai Pustaka[4], 1920) dengan cara mencemooh adat dan tokoh lokal Datuk Maringgih untuk mengamankan karya dari pemerintah Kolonial.
Impresionisme dan alih wahana cagar budaya
Secara biografis kita harus perhatikan proses transfer pengalaman dan pengetahuan Hendra ke Gebar adalah di saat Gebar remaja 17 – 20-an (1966 – 1969[5]). Hendra memang bagian dari lingkaran kekuasaan simbolik PJM dan menjadi realis sosialis tak terhindarkan jika terlalu cinta pemimpin —andaikan Hendra tidak melukis sebagai politik seni sebagaimana dijelaskan di bagian satu. Sedangkan Gebar menjadi impresionis —bukan realis sosialis— karena kecintaan, atau paling tidak pengaruh langsung dari Sang Guru. Ia mempertahankan impresi sebagai jejak/sambungan pada hubungan batin dengan sang guru. Tanpa itu, ia bisa merasa kehilangan masa lalu atau takut tak dikenali sebagai murid Bapak Impresionisme Indonesia tersebut.
Impresionisme lahir di abad ke-19 di Prancis, sekira 1867 – 1886. Secara umum kita dapat melihat persamaan semua impresionis di dunia, yakni mempertontonkan cahaya terbaik yang mengitari objek-objek dan efek-efek yang disebabkanya: bayangan serta pantulan dalam warna-warna komplementer yang mengakibatkan samarnya garis-garis luar objek (outline) sehingga terasa bergetar/hidup/gerak. Namun secara istilah, “impressionist” itu dikatakan pertama kali oleh seorang jurnalis Louis Leroy secara sinis saat membahas karya-karya mereka yang menurutnya tidak lebih baik dari produk-produk kertas gambar pola untuk penutup dinding[6]. Leroy juga yang mengatakan lukisan Monet saat itu sebagai salah satu kasus karya yang belum selesai. Impresionisme memang tidak tentang konten, tetapi inovasi atas struktur yang juga bagi saya pada dasarnya merupakan paradoks terhadap objektivisme yang sedang mereka lawan. Di mana sisi paradoks tersebut? Otoritas akademisme melayani yang objektif, impresionisme mengaburkan objek, tetapi permainan struktur para impresionis adalah objektivisme dalam strukturalis seni!
Siapa saja mereka itu selain Monet? Ada Renoir, Sisley, Degas, Pissarro, Morisot adalah para peletak dasarnya, lantas didukung Gauguin, Seurat, Caillebotte, Cassatt. Ketika objek-objek —khususnya manusia— hadir secara impresif, mereka merasa telah melakukan gerakan perlawanan pada sejarah dan sastra akademik dan seni akademik yang terlalu menonjolkan objektivitas subjek. Suasana akademik saat itu bagi para impresionis sudah memasuki konvensi yang mengeras untuk objek(tivitas), terutama karena dukungan modernisme yang makin otoritatif terhadap kebenaran ilmiah. Gara-gara itu pula mereka sampai-sampai menamai organisasi mereka Masyarakat Anonim (Société Anonyme) (1873) untuk menunjukkan mereka tidak ada kaitan dengan lembaga akademik mana pun. Usia mereka saat itu seumuran Gebar di fase terakhir belajar kepada Hendra di Rutan Kebonwaru Bandung, dua puluhan, maka wajar mereka banyak melukis pemandangan sebagaimana para pelukis remaja puncak umumnya yang belum merasakan masalah-masalah kehidupan (khususnya kemanusiaan) dan mereka pula yang melahirkan gagasan seni sebagai representasi realitas sehari-hari —dalam hal ini terutama realitas alam yang memesona mereka sambil menolak yang objektif tersebut. Selain lanskap alam hutan, mereka juga menggambarkan jalan-jalan di pedusunan dan perkotaan, lengkap dengan rumah-rumah dan pohonan. Apabila manusia disamarkan dari keadaan objektifnya, maka impresionisme jelas tidak dapat mengakomodasi realisme sosialis. Hal ini pula yang membuat saya melihat impresionisme Gebar terhadap objek-objek cagar budaya merupakan sendatan terhadap yang objektif: terlalu impresif maka objektivitas semakin samar, tapi terlalu objektif, lukisan Gebar kehilangan impresionismenya. Dalam beberapa karya tentang cagar budaya itu, saya melihat Gebar ada dalam situasi persitegangan antara konvensi diri dan upaya pendokumentasian.
Bandingkan misalnya karya Gebar di Gb. 2 dan 3 dengan salah satu yang bertema cagar budaya di Gb. 4.

Gb. 2 kelihatannya air terjun —kemampuan impresionis adalah mengurangi kejelasan objek. Kita dapat melihat entah batu, entah tanah, entah awan, dan boleh jadi itu semua adalah asap dan bukan air, boleh jadi itu sungai dan muara.
Dan lukisan berikut juga menyimpan jejak impresionis yang kuat dari sang guru —tampak terutama pada orang-orang di bagian bawah dan sapuan pada kerbau-kerbau.

Objek pada cagar budaya berikut amat menonjol dan objektivitas menjadi tujuannya sehingga ciri impresi hanya dimainkan pada objek-objek pendukung seperti daun-daun dan latar cakrawala.

Persitegangan alih wahana dan bentuk dokumentasi
Gagasan alih wahana dalam karya-karya Gebar Sasmita adalah gagasan persitegangan antara seni dan dokumentasi. Menjadi dokumentasi ia berisiko kekurangan seni, menjadi seni ia berisiko kekurangan dokumentasi. Apakah Gebar Sasmita realis sosialis, apakah impresionis, apakah Pancasilais, tidak akan terlalu jelas dalam kerja seni tergoda dokumentasi. Persitegangan ini kelihatannya agak menghantui Gebar yang impresionis sehingga ia harus menghadirkan pula karya-karya yang bukan lukisan cagar budaya.
Tapi sebentar! Apakah karya-karya Gebar lain bukan dokumentasi? Berdasarkan pengalaman saya lama mengenal Gebar, semua lukisannya yang pernah beliau ceritakan adalah dokumentasi demi dokumentasi pengalaman spiritual[1]. Karena itu kita harus membelah dokumentasi menjadi dua: (1) dokumentasi spiritual dan (2) dokumentasi objektual[2] dan masing-masing saling mencampuri dengan takaran yang berbeda-beda.
Lantas apakah karya yang berbobot dokumentasi objektual itu kurang seni daripada yang spiritual? Mari kita ingat karya Raden Saleh di satu sisi dan Nicolaas Pieneman di sisi lain untuk masing-masing karya mereka tentang penangkapan Diponegoro di abad ke-19. Keduanya tokh dokumentasi dan keduanya dibicarakan sebagai karya seni. Tidak sekadar tentang kejadiannya, dalam dua lukisan tersebut terdapat pula bangunan cagar budaya arsitektur bergaya imperium abad ke-19[3]. Dengan kata lain, mungkin salah satu cara mengambil titik tengah dari persitegangan ini adalah menjadikan cagar budaya sebagai latar!
Catatan Akhir
[1] Istilah spiritual tidak selalu berhubungan dengan aspek batin atau yang transenden. Dalam tradisi positivisme logis, istilah ini juga digunakan untuk menerangkan aspek pembeda manusia dari makhluk lain sebagai “yang berpikir”, “yang mengurai”, “yang mensitesis”.
[2] Adjektif ini pertama kalinya saya gunakan di sini! Tidak dikenal dalam bahasa Indonesia juga Inggris. Bentuk biasa “objektif” dari “objective”.
[3] Dalam lukisan Raden Saleh “Penangkapan Pangeran Diponegoro” (1857), kita dapat melihat gedung bergaya Imperium Hindia —berdasarkan ciri tiang-tiangnya— yang jadi latar orang-orang dalam lukisan tersebut. Jika dibandingkan dengan lukisan “The Submission of Prince Dipo Negoro to General De Kock” (1830) Nicolaas Pieneman, bagunan di latar belakang orang-orang itu jauh lebih tinggi dengan tiang-tiang yang lebih ramping.
[1] Dikutip di Bab II. (1947) bagian II. “Leninism and Literature”, dokumen Andrei Zhdanov 1950 On Literature, Music and Philosophy.
[2] Penebalan dari saya.
[3] Saat itu grup mereka masih bernama Koes Bersaudara, menjadi Koes Plus di tahun 1968.
[4] BP berdiri 14 September 1908 oleh pemerintah Hindia Belanda, untuk mengakomodasi politik etis dan meredam tulisan yang tidak sesuai dengan kebijakan mereka.
[5] Gebar pertama kali masuk rutan di Pandeglang tahun 1965, pindah sebentar ke Serang tahun 1966 dan di tahun yang sama dipindahkan ke Kebon Waru sebelum lanjut ke Nusa Kambangan dan keluar di tahun 1979.
[6] Tulisan Leroy dimuat di majalah Le Charivari tahun 1874. Tulisan tersebut terutama ia arahkan kepada karya Monet “Impression, Sunrise” (1872).
[1] Tema ini dalam psikologi lebih banyak berdasarkan riset kasus orang-orang tua menderita sakit parah, sedangkan dalam Gebar tidak bermakna seperti itu, karena ada juga tokoh anak dan Gebar sendiri tidak terhitung orang tua dalam penderitaan sakit parah.
[2] Lihat dalam artikel Toelle “Hendra Gunawan dalam Ikonografi Panofsky”, 2017. Toelle membahas “Kerokan” (1947).
[3] Cavallaro (2007: 79) menyebutnya sebagai “glorifikasi”.
[4] Dalam beberapa literatur berbahasa Inggris sering ditulis “Andrey”, lihat misalnya dalam Cavallaro (ibid).