Kenapa Kita Suka Nge-judge?

Bahwa kita kini sering memandang Ide itu ada di akal, setingkat dengan gagasan, sebenarnya ada yang membuatnya jadi begitu dalam sejarah filsafat, dialah Aristoteles. “Ide” Plato tidak lagi abstrak, melainkan sudah semakin dekat dengan akal.

Aristoteles (384 SM – 322 SM) agak naturalistik dalam mendekati bahasa, bahwa prinsip-prinsip universal itu bersifat imanen dalam segala sesuatu, dan dapat ditemukan dengan mengidentifikasi sifat-sifat umum dari objek-objek tertentu. Imanensi Aristoteles harus dipahami dengan baik, sebab dapat membuat kamu terpeleset lagi ke realisme dan nominalisme jika salah memahami.

Apabila realisme memahami bahasa tak lebih dari salinan kedua Ide yang entah di mana, imanensi tidak lagi mempersoalkan salinanya, tetapi meyakini bahwa dalam pikiran setiap subjek terdapat kesadaran sehingga bahasa berangkat dari akal budi.

Melalui teori imanensi tersebut, Aristoteles berpandangan bahasa itu harus mampu memahami dan mengartikulasikan hal-hal universal yang sudah Plato jelaskan. Dengan demikian, berbahasa itu adalah tentang kemampuan merepresentasikan objek atau gagasan. Objek ada di luar kita, gagasan ada di dalam pikiran kita.

Pandangan imenensi bahasa ini masih terus berkembang sampai ke abad dua puluh. Dalam dunia seni, Bryson adalah salah satu representasinya, ia mendukung imanensi Aristoteles. Menurut pandangan Bryson yang nyata harus dipahami bukan sebagai sesuatu yang transenden dan tidak dapat diubah, namun sebagai produksi yang dihasilkan oleh aktivitas manusia yang bekerja dalam batasan budaya tertentu[1]. Sebelum Bryson, ekspresi bahasa sebagai aktivitas —bukan performansi— dipersiapkan oleh Heidegger[2].

Menurut Bryson ketika kamu melihat sesuatu, apa yang kamu lihat bukan sekadar bentuk-bentuk namun sesuatu yang dapat kamu pahami. Dan agar umat manusia dapat mengatur pengalaman visual mereka secara kolektif —ini menyerupai konsep konvensi dalam linguistik Saussure, masing-masing diharuskan menyerahkan pengalaman retinanya ke dalam deskripsi yang disepakati secara sosial tentang dunia yang dapat dipahami.

Tapi bagaimana jika apa yang kamu lihat itu fatamorgana atau hanya halusinasi kamu sendiri? —Lagi-lagi belajar filsafat membuatmu senang sebentar dan kecewa lagi kemudian karena menyadari selalu ada kelemahan pada masing-masing pemikir.

Jangan panik dulu. Saya akan coba mempercepat pembahasan imanensi dengan menghadirkan pihak yang keberatan terhadapnya. Kadang-kadang kita ini lebih cepat memahami ilmu dengan melihat pertentangan di dalam pertumbuhan ilmu tersebut.

Sejak abad ke-3 Masehi, keberatan terhadap imanensi itu sudah dimulai oleh seorang skeptis bernama Sextus Empiricus (200 M)[3]. Nama si Skeptis ini pula yang menjadi aliran filsafat “empirisme” yang mulai berkembang di abad ke-16, dan makin matang di abad ke-18. Biasanya para ahli menyebut Francis Bacon (1561 -1626), Thomas Hobbes (1588 – 1679), John Locke (1632 – 1704), George Berkeley (1685 – 1753) dan David Hume (1711-76) untuk tokoh-tokoh empirisme yang terbentang di abad-abad tersebut. Mereka ini pula yang menyempurnakan pandangan Aristoteles. Mereka mem-follow Aristoteles dalam hal imanensi-bahasa, meyakini bahwa kata-kata memberi nama pada gagasan dan bahwa gagasan merujuk pada benda.

Akan tetapi mereka teruskan teori itu menjadi teori distorsi-bahasa, bahwa bahasa merupakan media yang berpotensi mengaburkan gagasan.

Bagaimana bisa? Bukankah hanya dengan media bahasa kita dapat menjelaskan gagasan? Mengapa jadi mengaburkan?

Menurut Lock ide-ide itu bisa saja dipahami dan konsep-konsep apa pun bisa saja dibagikan. Tapi kata-kata untuk semua itu harus benar-benar mewujudkan konsep-konsep tersebut. Jika tidak, maka semua pernyataan bersifat kosong atau menyesatkan. Hal ini pula yang di abad ke-20 merangsang lahirnya pemikiran pragmatisme bahasa.

Dan menurut Berkeley kata-kata yang tidak sesuai dengan gagasan termasuk tidak ilmiah dan tidak dapat diandalkan juga. Ia percaya bahwa kata-kata tanpa ide mungkin masih memiliki fungsi seperti dalam mempengaruhi orang lain, menyalurkan hasrat, dan menciptakan emosi.

Jadi, sekalipun sebuah kata tidak sepenuhnya sesuai dengan gagasan, kata tersebut masih dapat menghasilkan efek tertentu dan karenanya memiliki makna tertentu.

Jalan Keluar Kant

Bagaimana kita dapat keluar dari kebingungan empirisme? Ada baiknya kita segera mengenal teori fenomena dan noumena Immanuel Kant (1724 – 1804). Istilah “fenomena” sudah sering kamu dengar, tapi tidak dengan “noumena”. Hanya lazim digunakan para mahasiswa filsafat.

Kant membagi dunia menjadi yang fenomena dan yang noumena. Yang pertama dunia yang kita persepsi, yang kedua adalah dunia gagasan. Kant membantah pendekatan empiris dengan menegaskan pentingnya penilaian.

Kamu mungkin suka bilang “Jangan nge-judge gitu dong!” Itu pasti artinya “Jangan main hakim sendiri.” Nge-judge memang berkaitan dengan judgement. Kemampuan tersebut memungkinkan kita untuk menjembatani kesenjangan antara dunia fenomena dan dunia noumena.

Orang yang nge-judge pada dasarnya orang yang mencoba memahami, namun menjadi negatif maknanya jika apa yang dipahami berbeda dengan maksud pembicara. “Gue gak bermaksud begitu, itu hanya judgement kamu!” Ucapan macam itu menunjukkan judgment berada pada sisi negatif, merugikan satu pihak.

Apakah nge-judge pada dasarnya memasuki dunia noumena? Mungkinkah itu?

Menurut Kant itu tidak mungkin. Kita tidak pernah mengetahui segala sesuatu sebagaimana adanya, misalnya benda dalam dirinya sendiri. Kita hanya menduga-duga dan sejauh menduga-duga kita masih aman. Tidak aman jika nge-judge untuk hal-hal yang tidak disepakati pihak-pihak terkait. Kita hanya dapat mengetahui realitas dengan bagaimana hal itu tampak bagi kita —ini yang disebut fenomena.

Maka fenomena itu bukan sesuatu di luar kita macam peristiwa dalam dirinya sendiri tetapi bagaimana peristiwa tersebut menampak pada kita. Fenomenalisme dengan kata lain memberi tempat pada subjektivisme mengingat cara semua menampak bergantung pula pada cara setiap subjek menerimanya. Bendanya mungkin sama, tetapi cara membaca benda yang sama tidak mungkin sama bagi setiap subjek.

Mari kita bayangkan ada rumah mewah dengan mobil mewah di depan kita. Apakah yang kamu lihat itu sama dengan yang saya lihat? Secara fisik iya, tetapi cara kita masing-masing memahaminya ternyata beda-beda. Kamu mungkin bilang “Enak sekali ya jadi orang kaya!” padahal belum tentu pemilik rumah dan mobil mewah itu kaya, mungkin saja semua ia dapatkan dari cara menghutang uang dari bank, atau boleh jadi pemiliknya sendiri sedang dalam penjara dan menderitakan kemiskinan akibat semua hartanya itu ada dalam pengawasan negara. Karena itu, ide subjek memanggul pengalaman masing-masing subjek dalam memasuki fenomena.

Kita ini selalu mampu mempersepsi sesuatu belaka, namun kita tidak dapat benar-benar mengetahuinya karena kita hanya dihadapkan pada penampakan sesuatu, dan tidak pernah mengerti esensi sesuatu itu. Dari mulai benda-benda yang sudah ada maupun yang kita adakan macam dalam karya-karya seni, kita hanya berurusan dengan fenomena demi fenomena.

Lantas bagaimana yang noumena dapat kita kenali? Kant menjawab: ketika kita melakukan penilaian macam penilaian estetika. Penilaian macam itu membuat kita tetap terikat pada kenampakan tetapi juga mampu mendeteksi pola di dalamnya yang memberi kita gambaran-gambaran tentang dunia noumena.

Penilaian juga merupakan faktor perantara antara kata-kata dan benda, bahasa dan realitas.

Jadi, kalau kita kembali pada kemelut realisme versus nominalisme masalah keduanya kini seakan diselesaikan oleh Kant. Ia mengakui keberadaan benda-benda dan gagasan, tetapi kita hanya mungkin mengerti karena kita menilai.

Tapi, kita sedang belajar filsafat, tidak elok jika kita sendiri tidak berfilsafat. Kita bisa tanyakan kepada Kant jika nge-judge hanya perantara, apakah itu perantara yang dapat kita percaya? Jangankan ke orang lain, sebaiknya ke diri sendiri pun kita tetap ragu, bukan? Karena jika dari judgment ke judgment yang jadi urusan kita, kita akan saling nge-judge belaka sampai kiamat nanti. Iya gak sih?

 

Rujukan

[1] Lihat Norman Bryson, 2001, Vision and Painting: The Logic of the Gaze, London: Palgrave.

[2] Martin Heidegger, 2013, Poetry, language, thought. New York: Harper Perennial Modern Thought New York.

[3] Doktrin Empiricus yang terkenal adalah bahwa kata-kata secara radikal terpisah dari benda-benda. Dalam ilmu-ilmu retorika yang ditinjau ulang, kita akan menemukan pada banyak hal bahasa merupakan gambaran retoris yang membenarkan doktrin Empiricus.

Share your love
Avatar photo
Arip Senjaya

Pemenang Literasi Terapan Lokal Perpusnas 2022, alumni Batu Ruyud Writing Camp Kaltara, dosen filsafat Untirta, anggota Komite Buku Nonteks Pusbuk Kemdikbud, sastrawan, editor. Alumni UPI dan UGM.

Articles: 30

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

One comment

  1. Risma Fitriyani-2222230050-2A
    Mohon izin bertanya. Dari teori Kant ini, membuat saya berpikir berarti semua pergerakan di dunia ini dikendalikan oleh pemikiran masing masing? lantas bahasa juga tercipta karena adanya pemikiran? lalu pemikiran ada karena hasil dari indra mata, jadi semua ini berasal dari alam? lantas apa perpecahan dari pemikiran ini?

Leave a Reply