MENAFSIR LETAK TEMAWANG LABAI LAWAI

Saya menafsir temawang Labai Lawai berdasarkan tuturan para tua-tua Ketungau van Sekadau (Ketungau Tesaek) di kawasan sungai Kedah. Sampai tahun 1980-1990 cukup banyak penutur yang fasih mengisahkan cerita temawang Labai Lawai. Namun yang paling saya ingat adalah Tengah Seman. Beliau penutur sastra kana yang fasih serta pebayu (pelantun nyanyian balian) manang paling senior yang di kawasan sungai Kedah era 1990-an. Tengah Seman bisa melantunkan buah kana seraya menangis-nangis di tengah malam. Biasanya sastra itu dinyanyikan tatkala dia membuat anyaman. Beliau menangis karena benar-benar menghayati kisah demi kisah yang dituturkan oleh sastra kana ini.

Menurut tuturan para tua-tua yang diturunkan ke kami, temawang Labai Lawai adalah tempat leluhur kami berasal. Tempat ini pernah diserang oleh kaum Biaju dari pantai Selatan Borneo sebanyak tiga kali. Di Temawang ini berdiri cabe yang besar pohonnya sebesar batang mawang. Dari Temawang ini pula leluhur kami membawa padi yang buahnya sebesar buah mawang.

Dimanakah letak temawang itu? Nah, di situlah samar-samar. Sebab leluhur kami pernah hidup di bandar Labai Lawai, sebelum terdampar di muara Batang Adau, karena kecuai Nai Abang yang bergeser. Apakah temawang itu berada di bandar Labai Lawai? Rasanya tidak mungkin. Bandar Lawai adalah bandar raja yang dikuasai oleh Majapahit dan Demak (setelah Majapahit runtuh). Ketika bandar ini konflik, leluhur kami orang Ketungau van Sekadau lari dari Bandar. Pelarian mereka sesungguhnya mengejar kaum kerabatnya yang sudah hijrah duluan ke sungai Ketungau.

Para penghuni sungai Ketungau yang dikejar adalah kaum kerabat mereka dari Tampun Juah. Di sini kita menarik benang merah, tentu ada hubungan orang Ketungau van Sekadau dengan penghuni Tampun Juah.

Satu-satunya petunjuk kala melarikan diri ialah rambu-rambu yang disebut kecuai Nai Abang. Siapakah Nai Abang? Nai Abang dalam buah Kana Sera bernama Balun Balunan, saudara Kumang, orang Tampun Juah.

Apakah temawang Labai Lawai yang dimaksud para tua-tua ini adalah Tampun Juah? Dalam tuturan Mualang sebutan Tampun Juah ini jelas, namun tidak ditemukan dalam tuturan tua-tua Ketungau van Sekadau. Tampun Juah adalah temawang asal suku-suku berbahasa rumpun Iban. Ciri khas utama pengguna bahasa ini adalah menyebut ibu dengan nama Nai/Inai/Indai dan ayah dengan sebutan Pai, Apai, di sini dengan istilah dituk, di sana dengan istilah din, bagaimana dengan istilah keti, kati, besar dengan istilah besai. Beberapa kosakata tadi adalah contoh kata Swadesh yang digunakan untuk tujuan linguistic historis-komperatif.

Sebelum menafsir apakah temawang Labai Lawai adalah Tampun Juah? Marilah kita membedah istilah temawang. Temawang adalah kawasan hutan berisi pohon buah-buahan. Pohon buah ini ditanam oleh warga yang pernah bermukim di sana (ada yang tumbuh karena bijinya dilempar begitu saja oleh penduduk). Kawasan itu menjadi temawang karena penghuninya hijrah ke tempat baru. Temawang memiliki ahli waris yang tentunya menempati kawasan baru.

Temawang biasanya sebagai kawasan untuk mengingat asal-usul, kawasan perekat bagi puak yang leluhurnya pernah bermukim di sana. Saat ini satu temawang bisa dimiliki banyak kampung, ratusan atau bahkan ribuan anak suku.

Orang Ketungau di sungai Kedah mengenal Temawang Kedah sebagai asal leluhur mereka. Lalu mereka dari Temawang Kedah ini membangun pondok untuk berladang di Hulu Melas, Tabai, Setor, Tigur, Sempulau, dsb. Kawasan pondok itu berubah menjadi kampung. Lalu kampung awal itu ditinggalkan dan keturunannya membangun pemukiman di tempat baru, sehingga masing-masing kawasan mula-mula ini kelak disebut temawang oleh warga saat ini. Orang Dayak Biaju di bagian Borneo Tengah dan Selatan menyebut kawasan temawang sebagai Kaleka.

Mari membahas dua tempat asal leluhur orang Ketungau. Tempat itu dikenal sebagai Labai Lawai. Dari banyak dokumen, khususnya tulisan Blume (1813) dan Pires (1515), jelaslah Labai Lawai adalah Bandar Dagang di masa Majapahit dan Demak. Sedangkan Lawai adalah nama sungai Kapuas. Labai kemungkinan bermakna Bandar (pelabuhan dagang). Dua tempat itu ialah Sukadana dan Sukalanting.

Sukadana adalah kawasan yang dibangun oleh Raja Majapahit dan menjadi koloni Majapahit. Kawasan ini dikontrol oleh kerajaan Dipa dan Daha di Borneo Selatan. Sukadana berkali-kali disebutkan oleh bait Hikayat Banjar.

Sukalanting adalah kawasan di sungai Kapuas ke arah muara. Oleh Hikayat Banjar, Sukalanting masuk ke kawasan Batang Lawai. Ada kemungkinan rumah-rumah di kawasan ini adalah rumah lanting, sebagai ciri khas pemukiman bandar dan pedagang pada zaman dulu, sehingga disebut Sukalanting.

Di hulu Sukalanting, adalah kawasan Batang Lawai yang tunduk kepada patih Sukadana. Sukadana di zaman Nai Abang dipimpin oleh Penembahan. Dengan sebutan penembahan, jelaslah kawasan ini tunduk kepada Pati Unus, raja Demak yang disebut Mping Padi oleh Buah Kana. Perihal Pati Unus yang menguasai kawasan Batang Lawai ditulis oleh Pires dan Blume. Perihal leluhur orang Ketungau yang dipengaruhi Majapahit dikarenakan bermukim di Labai Lawai pun dinarasikan oleh Dunselman.

Namun ada persoalan, Pati Unus dan orang-orangnya bertindak kasar penghuni Tampun Juah. Pernah suatu ketika, Dara Kumang, kekasih Keling ingin diambil oleh keponakan Mping Padi (Pati Unus). Hal itu itu menyebabkan seteru besar antara Keling dan keponakan Mping Padi. Syukurlah Keling memenangkan seteru. Dan buah kana dalam bait 2910 (Dunsleman, 1950) menyebutkan Penembah merintah tanah Lawai ujung Pulau Limbung nadai tegensi. Kalimat ini bermakna bahwa penembahan Sukadana memerintah kawasan Batang Lawai bagian hulu (Tampun Juah) dengan semena-mena.

Kembali ke temawang Labai Lawai, memang tidak masuk akal jika yang dimaksud dengan Temawang ini adalah bandar dagang Labai Lawai. Sebab bandar dagang di Borneo pada masa raja-raja dulu pada umumnya berpusat di rumah lanting dan berada di sungai. Jika tafsir ini benar, rujukan serupa ada pada Bandar Marabahan pada masa Daha (zaman Demak) dan Muara Rampiau pada zaman Dipa (zaman Majapahit). Dan kawasan berdagang di Sukalanting adalah wilayah delta, bukan perbukitan yang menjadi tempat lazim membuat tembawang. Andaipun di Sukadana, Temawang Labai Lawai serasa mustahil ada di sana, karena kawasan itu dibangun oleh raja Majapahit sebagai kawasan untuk mengontrol perdagangan di Borneo. Sebagaimana catatan Pires di Borneo (sekitar tahun 1400 – 1500) pada masa itu ada Bandar Tanjungpura, Bandar Labai Lawai, Bandar Brunei, Bandar Sampit.

Mungkinkah temawang Labai Lawai ini sebenarnya tamawai Tampun Juah? Jika Tampun Juah tentu sangat mungkin. Karena Nai (Indai) Abang, Keling, Kumang adalah penduduk Tampun Juah. Sebagian kisah Nai Abang dinarasikan Kana Sera  bait 2895 (Dunselman) yaitu Adi’ Keling Nading Lapis Kumpang, Dara Tunsun Djawa adik Dayang Indai Abang, Balun Balunan benama Dayang Indai Abang.’

Dalam tuturan orang Ketungau di sungai Kedah, temawang Labai Lawai dulu adalah pusat kehidupan leluhur mereka. Namun datanglah serangan orang Biaju yang menyebabkan leluhur mereka lari. Ada tiga kali serangan itu, yaitu ; (1) serangan biasa, (2) serangan binatang menjijikan, (3) serangan najis (kotoran). Perihal serangan ini hampir serupa dengan cerita para penghuni Tampun Juah di Tampun Juah. Bedanya, para penghuni Tampun Juah yang bukan orang Ketungau van Sekadau (Ketungau Tesaek) tidak mengenal Labai Lawai. Oleh karena itu temawang orang Labai Lawai versi leluhur orang Ketungau van Sekadau (Ketungau Tesaek) sangat mungkin adalah Temawai Tampun Juah.

Temawai Tampun Juah adalah tempat asal kaum Iban yang saat ini tersebar dari Kabupaten Sanggau, Sekadau, Sintang, Serawak dan Sabah. Damianus Siyok

Share your love
Avatar photo
Damianus Siyok
Articles: 20

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply