Menerima Jasa Bordil?

Kami pernah melihat sebuah rumah dengan plang bertuliskan “MENERIMA JASA BORDIL”. Benar-benar “bordil” bukan “bordir”. Ditulis dengan huruf-huruf yang besar serta amat mencolok. Tapi mungkin yang membuat kami terkejut bukan itu, melainkan bahwa semua ini terjadi dalam sebuah kawasan perumahan P & K.

Dari beragam pengalaman terkejut membaca kata-kata aneh tentu itu yang paling tidak P & K, alias benar-benar kelihatan abai dari pendidikan dan kebudayaan.

Kata “bordil” sendiri agaknya kita serap dari masa Kolonial, kemungkinan dari kata bordeel Belanda. Tapi bisa saja awalnya dari bahasa Prancis bordel sebab Belanda pernah dirajai Louis Bonaparte adik Napoleon. Baik bordel maupun bordeel mengandung makna yang sama. Asal kedua kata tersebut dari borde (rumah kecil yang dibangun agak terpencil), juga dari bord (yang berarti tepian). Dalam bahasa Indonesia kemudian menjadi “rumah bordil”.

Suatu hari saya iseng cari tahu bagaimana para penutur bahasa Inggris menerjemahkan bordel Prancis atau bordeel Belanda itu, dan ternyata ada para penutur Inggris saleh-salehah yang menerjemahkannya menjadi mess, menghindari kata brothel yang memang bisa bikin gatel kaum Adam itu. “Mes” dalam bahasa Indonesia biasanya identik dengan tempat tinggal bersama para perwira yang belum berkeluarga, atau tempat karyawan perusahaan yang tidak bisa pulang ke rumah tiap hari seperti di perusahaan tambang.

Di masa-masa kejayaan buku-buku P & K itu saya pernah baca drama Achdiat K Mihardja Bentrokan dalam Asrama (bukan bentrokan di mes atau di rumah bordil). Dan “asrama” lain lagi maknanya meski fungsinya kurang lebih sama dengan mes.

Sangat seru memang di masa sekolah itu: saya membaca salah satu cerpen Achdiat juga tentang petinggi partai yang tergoda lacur dan pakai tawar-menawar segala, seperti tawar menawar posisi jabatan saja. Lucunya lagi habis “gituan” si petinggi partai itu kepergok wartawan sehingga ia pun perlu nyogok. Saya sudah lupa judulnya, tapi itu ada di kumpulan cerpen Keretakan dan Ketegangan di zaman kejayaan P & K dan Balai Pustaka.

Di  beberapa wilayah lain di dunia ini mesti juga ada istilah-istilah setingkat bordeel itu. Di kota kami sendiri dulu pernah populer istilah “white house” untuk menyebut sebuah bangunan kos-kosan, mungkin sekira dua puluh kamar, yang sejak dibangun dicat warna putih sekaligus memang dikenal sebagai tempat para penerima jasa “gituan” ngekos.

Ada senior saya dulu yang kalau bawa mobil melintasi White House tersebut pasti memperlambat laju mobilnya itu sambil larak-lirik ke arah gerbangnya. Di kota kami tidak populer istilah “rumah bordil”.

Apakah lacur itu sebuah usaha jasa atau usaha barang? Ini jarang ditemukan kajian ilmiahnya. Jika seorang kesepian mengirimkan hati nuraninya ke rumah bordil (“L’on envoie sa conscience au bordel, demikian menurut teolog Pierre Charron), maka rumah bordil setingkat dengan jasa laundry. Bedanya, jasa laundry membersihkan pakaian kotor, sedangkan jasa lacur menambah kotor nurani. Karena itu mereka yang kena penyakit akibat mengirimkan nurani ke rumah bordil biasa kita sebut “kena penyakit kotor”.

Dalam hal ini bahasa Indonesia sangat berjasa membangunkan nurani kita untuk jagalah hati jangan kau nodai. Karena hati tanpa nurani cumalah tempat mencuci darah, bukan buat mencuci marwah.

Tentu saja semua orang punya hati dalam pengertian liver. Tapi tidak semua punya nurani. Kita selalu memasangkan hati dengan nurani, bukan? Jagalah hati jangan kau nodai nuraninya, itu maksud dari lagu buatan Aa Gym itu. Waktu itu ada juga kita jadi berisik karena Aa Gym menikah lagi.

“Daripada lacur ya mendingan nikah lagi!” Kata senior saya yang suka memperlambat laju mobilnya di depan gerbang White House itu. []

Share your love
Avatar photo
Arip Senjaya

Pemenang Literasi Terapan Lokal Perpusnas 2022, alumni Batu Ruyud Writing Camp Kaltara, dosen filsafat Untirta, anggota Komite Buku Nonteks Pusbuk Kemdikbud, sastrawan, editor. Alumni UPI dan UGM.

Articles: 41

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply