Mengurai Jati Diri Manusia dalam Fenomena “Belalak”

Belalak. Bukan Balala. Balala merupakan ritual adat dalam suku Dayak Kanayatn untuk memohon kepada Jubata agar terhindar dari bencana dan malapetaka.

Belalak sendiri adalah bahasa kami suku Dayak Desa. Istilah ini diartikan sebagai sebuah kondisi di mana seseorang merasa belum terpuaskan baik secara lahiriah/jasmaniah maupun secara batiniah/rohaniah. Setiap sub suku Dayak pasti memiliki istilahnya tersendiri seturut bahasanya masing-masing.

Untuk sedikit membantu kita memahaminya, saya akan memberikan sebuah contoh dari pengalaman pribadi saya. Tahun 2014 saya mendapat tugas perutusan ke paroki Ambalau, Keuskupan Sintang, Kalimantan Barat. Tentu saja saya menyambut dengan gembira hati tugas perutusan tersebut.

Namun, ada satu hal lain lagi yang membuat saya begitu gembira, yakni mengetahui kalau untuk sampai ke paroki Ambalau saya harus menggunakan speed boat. Saya sangat gembira karena ini akan menjadi pengalaman pertama dalam hidup saya menempuh perjalanan sekitar 6-7 jam menggunakan speed boat.

Sebuah perjalanan yang cukup melelahkan tentunya. Namun, rasa lelah itu telah dikalahkan oleh semangat saya yang begitu menggebu-gebu untuk menyusuri sungai Melawi menggunakan speed boat. Setelah sampai di tujuan, saya tetap saja masih merasa belum puas. Karena itu, dalam perayaan misa hari Minggu saya mengatakan kepada umat kalau saya masih belalak naik speed.

 

Belalak: Bukan tentang manusia sebagai makhluk yang tak pernah puas

Dari kehidupan sehari-hari komunitas adat suku Dayak Desa sendiri ada beberapa contoh yang bisa diambil untuk semakin memperjelas pemahaman tentang belalak. Dari dunia kehidupan bayi, misalnya. Saat bayi menangis setelah selesai menyusu atau setelah bangun tidur, oleh masyarakat setempat situasi demikian dinamakan dengan belalak.

Contoh lain lagi ialah dalam hal makan. Ketika seseorang baru selesai makan, lalu masih ada butiran nasi menempel di dagunya, misalnya, oleh mereka yang melihatnya, orang itu akan dikira masih belalak makan.

Dari realitas hidup sehari-hari di mana istilah ini sering digunakan, saya berani menyimpulkan kalau istilah ini mengandung makna yang positif. Dengan kata lain, fenomena belalak tidak hendak menunjukkan bahwa manusia itu adalah makhluk yang tak pernah puas. Memang, saat seseorang berada pada kondisi belalak ada sesuatu yang belum terpuaskan. Akan tetapi, hal ini kemudian tidak berarti orang tersebut akan melakukan apa saja demi memuaskan hasratnya.

Bayi yang menangis sehabis menyusu tidak kemudian dipaksa untuk menyusu kembali oleh ibunya. ASI memang penting untuk tumbuh kembang si anak. Tapi, ibu yang bijaksana pasti tahu kalau terlalu berlebihan juga tidak baik untuk si buah hati. Demikian juga dengan seseorang yang baru selesai makan. Dia tidak akan kembali untuk makan lagi hanya karena menyadari masih ada butiran nasi yang menempel di dagunya.

Bahwa orang tersebut belum kenyang mungkin ada benarnya. Tetapi, keputusannya untuk tidak kembali makan itu mau menunjukkan sebuah sikap: berani berkata cukup. Dia tentu menyadari kalau terlalu banyak makan, juga tidak baik untuk kesehatan badannya.

Fenomena belalak, dalam hemat saya, dapat menjadi instrumen dalam menguak hakikat manusia sebagai makhluk spiritual. Dan juga pada saat yang sama bisa menjadi alat kritik bagi manusia yang mengaku diri sebagai makhluk spiritual, tapi malah seringkali diliputi oleh keserakahan.

Dalam hal ini, saya akan mengaitkan belalak dengan kearifan berladang suku Dayak. Karena, dalam hemat saya, lewat cara berladang yang mereka praktikkan, para peladang menampilkan cara hidup yang tidak diperbudak oleh keserakahan.

 

Manusia sebagai makhluk spiritual

Izinkan saya menggunakan salah satu kisah dalam Kitab Suci. Dalam hemat saya, kisah ini dapat menjadi contoh untuk menunjukkan bahwa manusia itu adalah makhluk spiritual. Atau dengan kata lain, untuk menunjukkan bahwa manusia dalam hidupnya tidak cukup hanya mengejar kepuasan lahiriah. Kisah tersebut adalah tentang Yesus yang menyatakan diri-Nya sebagai roti hidup (Yoh. 6:1-59).

Dalam Yoh. 6:1-15 dikisahkan tentang Yesus yang memberikan lima ribu orang. Orang banyak ini berbondong-bondong mengikuti Yesus karena telah melihat mukjizat-mukjizat penyembuhan yang diadakan-Nya terhadap orang-orang sakit. Melihat orang banyak berbondong-bondong datang kepada-Nya, Ia berkata kepada Flilipus: “Di manakah kita akan membeli roti, supaya mereka ini dapat makan?” Dengan nada pesimis Filipus menjawab: “Roti seharga dua ratus dinar tidak akan cukup untuk mereka ini, sekalipun masing-masing mendapat sepotong kecil saja.” (Ay.5-7)

Di tengah-tengah mereka ada seorang anak kecil yang mempunyai lima buah roti dan dua ikan. Lima roti dan dua ikan itu pun lalu diserahkan kepada Yesus. Yesus kemudian mengucap syukur atas lima roti dan dua ikan itu dan lalu membagi-bagikannya kepada orang banyak itu. Mereka semua pun makan sampai kenyang. Bahkan masih tersisa dua belas bakul penuh dari potongan-potongan roti setelah mereka selesai makan.

Mengetahui bahwa Yesus memiliki kuasa untuk mengadakan mukjizat, orang banyak itu pun selalu berusaha mencari dan menemukan Yesus. Namun, Dia mengetahui gelagat orang banyak tersebut. Karena itu, saat mereka menemukan-Nya, Dia berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya kamu mencari Aku, bukan karena kamu telah melihat tanda-tanda, melainkan karena kamu telah makan roti itu dan kamu kenyang.” (Ay.26).

Kemudian Ia melanjutkan dengan menunjukkan kepada mereka makanan seperti apa yang harus mereka usahakan: “Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal, yang diberikan Anak Manusia kepadamu; sebab Dialah yang disahkan oleh Bapa, Allah, dengan meterai-Nya.” (Ay.27).

Perkataan Yesus tersebut telah menggugah hati orang banyak. Karena itu, mereka berkata kepada-Nya: “Apakah yang harus kami perbuat, supaya kami mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki Allah?” Jawab Yesus kepada mereka: “Inilah pekerjaan yang dikehendaki Allah, yaitu hendaklah kamu percaya kepada Dia yang telah diutus Allah.” (Ay. 28-29).

Yesus kemudian meyakinkan orang banyak bahwa Dia yang telah diutus Allah – yang tak lain adalah diri-Nya sendiri – adalah sungguh roti hidup yang telah turun dari surga. Ia berkata kepada mereka: “Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi.” (Yoh 6:35).

Dari kisah di atas dapat dipahami bahwa Yesus tidak sepenuhnya menyalahkan orang banyak yang mencari-Nya karena telah merasa kenyang. Secara tidak langsung Yesus mau menunjukkan bahwa kepuasan lahiriah itu juga penting bagi manusia.

Sikap dan pandangan Yesus ini juga sejalan dengan pemahaman tentang belalak seperti yang telah saya paparkan. Meski dalam artikel ini saya menekankan kepuasan rohaniah/batiniah sebagai tujuan tertinggi dari hidup manusia, tidak berarti kemudian kepuasan lahiriah itu jelek adanya.

Akan tetapi, sekali lagi, sebagaimana yang diingatkan oleh Yesus terhadap orang banyak, tidak cukup bagi manusia hanya sampai pada kepuasan lahiriah. Oleh karena itulah, Ia menunjukkan kepada mereka untuk melakukan pekerjaan yang dikehendaki Allah, yakni percaya kepada Dia yang telah diutus Allah. Orang banyak dituntut untuk percaya karena Dia yang diutus oleh Allah itu merupakan Sang Roti Hidup yang akan membuat mereka tidak akan lapar dan haus lagi.

 

Konsili Vatikan II ketika secara spesifik mengurai tentang martabat pribadi manusia menyatakan bahwa dengan tubuh jasmaniahnya yang sudah terluka oleh dosa, manusia tetap dipanggil untuk “melambungkan suaranya untuk dengan bebas memuliakan Sang Pencipta… Maka dari itu martabat manusia sendiri menuntut, supaya ia meluhurkan Allah dalam badannya, dan jangan membiarkan badan itu melayani kecondongan-kecondongan hatinya yang tidak baik.” (Gaudium et Spes, 14).

 

Belalak dan kearifan berladang suku Dayak

Belalak, di satu sisi, mau menunjukkan bahwa tingkat kepuasan yang dialami seseorang belum sampai pada titik yang diharapkan. Namun di sisi lain, juga mau menunjukkan bahwa apa yang belum terpuaskan itu tidak lalu dipenuhi secara liar dan membabi buta. Akan tetapi, jika tidak dimaknai dan dihayati dengan benar, ada bahaya kalau belalak dapat sungguh mengubah manusia menjadi makhluk yang tak pernah puas. Menjadi makhluk yang serakah.

Masifnya kerusakan hutan barangkali bisa kita angkat sebagai contoh dari keserakahan manusia. Dikendalikan oleh keserakahannya, manusia tidak lagi melihat alam sebagai sesama ciptaan yang wajib untuk dilindungi, tapi hanya sebagai objek yang wajib untuk dieksploitasi. Hanya dilihat sebagai sarana pemuas kebutuhan.

Cara berladang dalam suku Dayak menghadirkan penghayatan yang benar dari makna belalak yang sesungguhnya. Saya katakan benar dalam artian bahwa di satu sisi, manusia sungguh menyadari dirinya adalah makhluk yang tak pernah puas, tapi di sisi lain, dia bisa mengontrol diri agar hidupnya tidak diperbudak oleh nafsu serakahnya tersebut.

Bahwa berladang bukan didorong oleh motif ekonomi, melainkan semata-mata untuk meneruskan kearifan lokal yang telah diwariskan oleh leluhur adalah bukti nyata bagaimana manusia memanfaatkan alam bukan hanya sebagai sarana pemuas kebutuhan.

Kemampuan para peladang untuk mengendalikan diri didasari oleh kesadaran bahwa alam itu memberikan kehidupan kepada mereka. Maka, mereka tidak boleh serakah dalam menggarapnya. Mereka harus bersikap baik dan sopan ketika memanfaatkan atau bersentuhan dengan alam.

Mahatma Gandhi suatu kali pernah mengatakan: “Bumi menyediakan cukup bahan untuk memuaskan setiap keperluan manusia, tetapi bukan untuk keserakahan manusia.”

 

Ilustrasi Belalak: Warga sedang mengadakan ritual adat pati pada lokasi makam leluhur yang termakan api saat musim bakar ladang. Adat pati dapat menjadi cerminan dari jati diri manusia sebagai makhluk spiritual. Mensyukuri alam sebagai anugerah Petara Raja Juwata dan memanfaatkannya dengan bijaksana, penuh hormat dan beradat. (Dokumentasi Pribadi)

Share your love
Avatar photo
Gregorius Nyaming
Articles: 33

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply