Modus Operandi Humaniora

Secara konstitusional, kecenderungan humaniora untuk membuka percakapan dunia apa saja seakan-akan dunia tersebut dalam krisis, agak-agak dekat dengan semangat Sokrates. Ia filosof yang dapat kita sebut agak asertif memang, tahu tapi masih belum merasa benar-benar tahu, mengerti tapi belum benar-benar mengerti. Ia tidak mendominasi pembicaraan, dan gara-gara modus operandinya macam itu dunia ini selalu terbuka, tak pernah ada beresnya.

Tapi dalam tradisi kefilsafatan, militansi para filosof adalah mempertebal visi, mau hitam mau putih mereka hidup dan mati atas nama visi. Sedikit dari mereka yang berubah pikiran, dan perubahan itu sebenarnya masih juga tentang visi yang sama. Jika, misalnya, kita mengingat Wittgenstein, antara buku Tractatus di satu sisi dan Philosophical Investigation di sisi lain, tak dapat dikatakan yang terakhir menolak yang pertama, tetapi menambah tajam pengertian kita terhadap bahasa dan dunia.

Sedangkan bidang humaniora berjalan dalam refleksi dan adaptasi yang tidak mau mereka tebalkan. Sastra misalnya, di fakultas-fakultas humaniora, dapat dibicarakan dari bermacam sudut pandang dan akhirnya tidak jelas itu fakultas mau ke mana dengan loncatan-loncatan beragam riset mahasiswa dan dosennya. Apa yang terjadi di pasar, bisa jadi dagangan akademik mereka juga. Sastra yang berurusan dengan rancang bangunnya, pengarangnya, pembacanya, realitas yang jadi acuannya, dan semakin kompleks ketika semua itu berurusan dengan para pembacanya dari generasi ke generasi, tak terbayangkan akan menjadi macam-macam isu.

Jangankan menjadi kuat dengan pertanyaan-pertanyaan bidang kemanusiaannya yang mendasar dan relevan, bahkan dengan bersikap lemah atau di tengah-tengah (asertif), humaniora tetap merasa ada dan penting untuk dunia. Makin banyak mereka berkumpul seperti dalam sebuah fakultas ilmu budaya, makin macam-macamlah yang dapat mereka kembangkan terutama secara teoretis. Setiap individu di dalamnya menjadi inspirasi bagi individu yang lainnya. Ilmu mereka pun silang-menyilang, pinjam sana pinjam sini: filsafat, linguistik, antropologi, ekologi, gender, feminisme, sejarah, seni, pendidikan, sastra, teknologi, sains, politik, psikologi, dan ilmu-ilmu lainnya. Mereka juga menjalin hubungan dengan para praktisi yang masih terkait dan menginspirasi mereka macam pelukis, penyair, dukun, dalang, aktivis buruh, desainer, musisi, juru masak, politisi, kritikus, tukang ngoceh, para pengrajin, novelis, ketua komunitas baca, dll. Suara mereka selalu atas nama publik dan kemanusiaan dalam arti lokal, nasional, dan global. Modus-modus operandi humaniora yang macam itu oleh Warner disebut sebagai “new brutalism” sehingga memang terasa sebagai ancaman bagi otoritas ilmu dan otoritas lainnya.

“Ancaman” ini dalam pandangan Edward Said disebut partisipasi demokratis, sesuatu yang baik, positif, untuk kemajuan manusia, meskipun pada mulanya Said bilang kerja di bidang humaniora adalah suatu kerja kejeniusan-yang-sendirian. Ini yang disebut ralat.

Meski begitu, meskipun bidang humaniora ini paling sibuk dalam memahami dunia sebagai suatu krisis berkepanjangan, kita tidak dapat melihat pengaruh besar mereka terhadap dunia. Riset-riset sarjana, master, hingga doktor, berhenti pada isu selingkung, di dalam fakultas-fakultas mereka. Bahkan dalam lingkungan perguruan tinggi mereka tidak sanggup menghegemoni, selalu terdominasi oleh otoritas lain di luarnya baik itu otoritas administrasi maupun otoritas ilmiah. Jangankan mengubah dunia, kampus mereka sendiri pun tak dapat mereka kritik.

Tapi, kembali kepada modus operandi, situasi lemah mereka pada dasarnya masih merupakan kekuatan mereka. Makin dilemahkan makin merasa ada, urgen, sebagai kaum intelektual yang peduli perubahan. Keluh-kesah mereka adalah modal dasar militansi mereka yang dengan semua itu mereka menulis esai, artikel jurnal, seminar, menerbitkan macam-macam bunga rampai, hingga debat lumayan panas di kantin kampus dan di kafe-kafe mentereng. Setiap kemunculan cara pikir baru menantang cara pikir lama. Ambil contoh, dulu Pak Doktor Culun bin Colohok itu amat antroposentris, terutama di masa awal Reformasi, eh, kemudian banyak menyerang mereka yang humanismenya “merah” dan amat tidak suka mahasiswa yang berdemonstrasi meskipun yang dibicarakannya adalah kemacetan dan ban yang dibakar. Maklum saja ke mana-mana kini ia membawa gelegak darah “hijau”nya atas nama ekokritik dan isu pascamanusia. Seorang humanioris memang mesti adaptif, jangan seperti para humoris yang kelakarnya itu-itu saja dan PPT-nya pun itu-itu melulu.

Tapi mungkin kita ini masih terhibur kehidupan karena manusia itu ada yang jalannya lurus, belok-belok, dan ada pula yang loncat-loncat. Ada kelinci berjalan ke padang rumput, ada kutu kelinci yang coba memanjat bulu dan melihat dunia, ada pula kutu loncat yang meninggalkan kelinci dan memandang rumput sebagai bulu yang lebih baik. []

Share your love
Avatar photo
Arip Senjaya

Pemenang Literasi Terapan Lokal Perpusnas 2022, alumni Batu Ruyud Writing Camp Kaltara, dosen filsafat Untirta, anggota Komite Buku Nonteks Pusbuk Kemdikbud, sastrawan, editor. Alumni UPI dan UGM.

Articles: 28

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply