Ojong dan Jakob, bagi kami yang langsung merasakan kepemimpinan duet pendiri Kompas-Gramedia (KG), mereka bukan sekadar pemimpin dan pengusaha.
Kedua tokoh ini melambangkan lebih dari itu. Mereka adalah pencipta ke-Indonesiaan sejati. Kompas-Gramedia, di mana saya berpartisipasi sebagai salah satu dari 19.000 pegawai pada periode 1988-2013.
Baca Industri Buku di Era the New Media
KG bukan sekadar sebuah perusahaan media. Lebih dari itu, perusahaan ini menjadi arsitek “Indonesia Mini.”
Sebagai sebagian kecil dari mosaik keberagaman tersebut, saya, seorang Dayak, berada di tengah-tengah rekan-rekan sejawat yang berasal dari mayoritas Jawa-Katolik dari Klaten, Jogja, Ambarawa, dan Muntilan. Kendatipun keberagaman itu tak berhenti di situ.
Berbagai etnis: Indonesia mini
Kelompok usaha penrbitan dan media yang dikenal seantero Nusantara dan Asia Tenggara itu juga menjadi rumah bagi individu dengan latar belakang etnis yang beragam seperti Manado, Flores, Batak, Tionghoa (yang menjadi kelompok terbesar kedua setelah Jawa), Nias, Ambon, Papua, Bali, dan banyak lagi.
Kompas-Gramedia di bawah kepemimpinan Ojong an Jakob menciptakan lingkungan yang mewadahi dan merangkul keberagaman Indonesia secara nyata. Mereka tidak hanya membangun suatu entitas bisnis, tetapi juga membentuk semacam “Indonesia mini” yang mencerminkan kayaan budaya dan keragaman bangsa.
Dalam lingkungan ini, setiap pribadi dihargai bukan hanya atas kemampuannya, tetapi juga sebagai bagian integral dari keberagaman yang memperkuat persatuan.
Baca Karena Tidak Semua yang di Internet Itu: BENAR
Keberhasilan Kompas-Gramedia dalam membangun”Indonesia Mini” ini bukan hanya sekadar prestasi bisnis, melainkan pencapaian dalam membangun jaringan kehidupan yang saling melengkapi di tengah keberagaman.
Ojong dan Jakob dengan visi ke-Indonesiaan sejati mereka memberikan sumbangan besar dalam membentuk identitas perusahaan sebagai agen perubahan positif, menciptakan ruang bagi setiap individu untuk tumbuh dan berkontribusi, tidak peduli dari mana asal usul mereka.
Bukam pada jumlahnya, tapi simbol keasetaraan
Di Kompas-Gramedia, suasana Indonesia bukan hanya terlihat, tetapi juga terasa secara mendalam. Hubungan yang erat dengan nilai-nilai Pancasila menjadi kenyataan sehari-hari.
Saya masih membawa ingatan tentang kesederhanaan dan kebersamaan yang tercermin dalam praktek sehari-hari, di mana uang makan yang diterima setiap harinya memiliki nilai yang sama, baik untuk karyawan paling bawah maupun direktur utama. Pembagian uang makan ini dilakukan dengan tanda tangan setiap Senin siang sebelum jam makan.
Praktik ini bukan sekadar soal jumlah uang, tetapi menjadi simbol keadilan dan kesetaraan di antara seluruh anggota Kompas-Gramedia. Setiap individu, dari lapisan terbawah hingga puncak kepemimpinan, diperlakukan dengan penuh hormat dan dianggap setara. Tradisi ini menciptakan iklim kebersamaan yang kuat, memupuk rasa belarasa yang mempersatukan seluruh keluarga besar Kompas-Gramedia.
Baca Mediamorphosis| Turning Obstacles into Opportunities
Kejelasan aturan ini mencerminkan semangat kebersamaan dan rasa keadilan yang melekat dalam struktur organisasi. Dalam lingkungan seperti itu, setiap individu dapat merasakan bahwa mereka adalah bagian integral dari suatu kesatuan yang lebih besar.
Praktik-praktik sederhana seperti pembagian uang makan menjadi simbol konkret dari komitmen Kompas-Gramedia untuk menciptakan lingkungan kerja yang adil, inklusif, dan berlandaskan nilai-nilai ke-Indonesiaan sejati.
Apakah kini, di tangan generasi kedua (mestinya ke-3; sebab sudah dipegang cucu), Kompas-Gramedia masih menerapkan nilai-nilai lama?
Silakan Pembaca yang menilainya!