Kelebihan fiksi memang osmosisnya, dari enceran ke pokok-pokok utamanya kita diajak larut. Dan itu pula kekurangannya, kita dibawa tembus ke kerangka belakang sejak membaca bagian-bagian awalnya.
Rasanya setiap hentian fiksi itu hanya skat-skat membran tipis dan nyaris tembus pandang. Sejauh saya membaca novel demi novel, fiksi adalah macam itu, dan agaknya refleksi ini tidak amat berlaku untuk fiksi mini, mengingat istilahnya itu masih saja membuat saya terasosiasi pada rok mini—dan bagaimana pun memang ada hubungannya—yang di masa saya masih kanak dan remaja suka jadi masalah buat berkehidupan berketetanggaan. Roknya sih sejengkal belaka, mirip dengan sejengkal fikmin di medsos, tapi gibah-fitnah rok mini di masa saya kanak dan remaja bisa jadi gosip sekampung penuh dan makin melebar hingga ratusan meter ke perbatasan kecamatan tanpa skat-skat lagi. Apalagi jika yang pakai rok mini adalah anak Pak Ustaz yang juga kepala sekolah. Apakah fikmin di medsos menyebarkan gosip genting di dalamnya sehebat fitnah urusan rok mini?
Dalam setiap gibah memang selalu ada fiksi tapi tidak berlaku sebaiknya. Fiksi bisa jadi bahan diskusi dan lantas pembaca menggibahkan kehidupan yang dikenalinya dan mirip sang fiksi.
Fikmin yang melekat dalam ingatan saya terbatas belaka, yakni yang punya kecerdasan penyamaran berkelanjutan. Mengingat tujuannya untuk singkat maka ia mesti suatu ongoing disguise. Bahkan karya-karya tersebut sering terkena aturan selingkung penyedia ruang kreatif bersama seperti yang biasa saya perhatikan di FB.
Fikmin medsos sebenarnya pernah saya bayangkan akan jadi pilihan alternatif abad ke-21, abad buat para pembaca yang haus sugesti, haus akan lintasan-lintasan kategoris, dan haus intelektualitas yang terlalu disadari (saya tidak mau menyebut intelektual dangkal, karena memang ada juga bakat-bakat terpendam yang kalau diteruskan jadi sumur satelit). Dan karena biasanaya ada aturan-aturan selingkung itu—terutama sekali dalam lomba—maka fikmin kerap terancam gagal, misal judul harus tiga kata dan ketiga kata itu harus ada dalam bagian isi. Alih-alih menjadi alternatif malah menjadi karya-karya kriya abad ke-21.
Fikmin itu punya inti, yakni subversi terhadap ekspektasi formal, dan inti tersebut sebenarnya ditransformasi dari semua karya sastra yang baik. Puisi mbeling, misal, adalah subversi bagi puisi-puisi mapan di zamannya. “Subversi” sendiri dipopulerkan di negara kita oleh Pak Harto, Presiden RI di masa ORBA, maka para dosen sastra waktu itu agak jarang gunakan istilahnya, takut disebut pecinta berat Bapak Pembangunan. And this is not gossip at al bahwa berkehidupan-berkebangsaan yang bebas memang begitu eratnya dengan kebebasan berkehidupan berkesusastraan. Beberapa sastrawan pun ORBA penjarakan gara-gara karyanya subversif namun itu ada hikmahnya: karya mereka diburu para pembaca haus. Jasa Pak Harto dalam kesusastraan di antaranya membesarkan Pramoedya Ananta Toer.
Saya tidak mengada-ada, di masa buku-buku Pram sulit dicari, justru berbagai karyanya menyebar melalui cara lain: difotokopi diam-diam, dijualbelikan di bawah meja kasir dengan bungkus kertas kopi. Sekarang, di berbagai toko buku dapat temukan karya-karya Pram, di berbagai perpustakaan juga mudah temukan, tapi sepi dari pemburu-sepi dari pembaca.
Yang mungkin menjadi pesona fikmin dan bukan novel atau cerpen adalah kompresinya dan karenanya cerpenis-min harus pandai membikin kiasan yang sesegera mungkin menjadi familiar. Kalau tidak, fikmin demi fikmin, terutama dengan kepanitiaan yang serba mengatur-tanpa makna tertentu, akan menjadi pabrik yang sebentar padat karya sebentar kemudian gulung tikar. Kiasan itu memadatkan dunia yang terlalu bertele-tele.
Boleh juga sih sebenarnya membuat sastra-sastra fana dan muat saja di story atau status sendiri. Fananya story kita hanya 24 jam, lebih abadi dari umur kita jika sedetik kemudian setelah posting kita mati. Yang fana adalah waktu, kata Pak Sapardi, aneh sekali, kata saya. Ayam demi ayam hilang kena telo, kandang demi kandang tetap membuka ruang. Medos itu kandang, telo itu waktu yang membunuh fikmin demi fikmin.
Saat kita kembali hidup dan berkunjung ke kandang FB, ia bertanya Apa yang Anda pikirkan? Mungkin di antara yang kepikiran itu adalah fiksi karena pada dasarnya “Anda” sendiri pun sedang didefinisi ulang oleh setiap Anda. Sejauh Anda tidak pernah merasa benar-benar ada kecuali menyatakan diri dengan cara mereka-reka, mengurangi, atau melebihkan, maka Anda adalah suatu fiksi-potensial. []