Meksipun alam makin praktis dan orang-
orang telah
memberi tanda DILARANG NANGIS.
(Goenawan Mohamad, “Pada Sebuah Pantai: Interlude”)
Tidak ada penyair suka dikekang. Mereka bukan kuda dokar. Beda sekali dengan mereka yang maunya jadi pejabat, dicocok hidung bagai kerbau juga gak masalah.
Makanya jangan tempatkan mereka sebagai pejabat wajib ngantor pagi pulang sore seperti jabatan wakil-wakil dekan. Mereka tak akan betah dengan rutinitas.
Lihat saja karya mereka, dari satu puisi ke puisi lainnya pasti berbeda-beda. Kalau begitu-begitu saja namanya tukang sihir. Dukun itu kalau ngulik satu setan ya terus saja dengan si setan itu.
Hidup para penyair beneran berloncat-loncat seperti bola pingpong jatuh dari tebing miring berbatu-batu. Kalau bola pingpong mengenal jurang yang menghentikannya, mereka bahkan tidak pernah mengenal fin de siècle (akhir abad) untuk loncatan-loncatannya itu. Jadi, kalau kita ketemu pocong yang loncat-loncat sekitar jembatan, itu isinya mayat penyair abad ke-19 yang masih penasaran ingin lanjutkan tradisi loncat dari simbolisme ke modernisme, lalu ke dekadentisme.
Puisi modern Barat agak terlambat jika dibandingkan dengan sejarah modernismenya sendiri–dalam hal ini jika kita reduksi pada sejarah sains modern. Dalam sejarah puisi, yang modern itu malah baru lahir setelah simbolisme menjadi biang keroknya. Pada pertengahan abad sembilan belas (1857), Baudelaire menerbitkan Les Fleurs du mal. Binatang-binatang jalang di Prancis pun kena pengaruh dan berloncatan meninggalkan realisme dan tradisi-tradisi deskriptif waktu itu. Paul Verlaine sampai-sampai mengutuk dirinya sendiri (aku Si Poètes Maudite), dan menyatakan perang pada Rimbaud dan Mallarmé. Bukan perang macam lempar petasan. Ini perang sungguhan, ibarat Putin menantang Biden.
Tapi nun jauh di suatu hari, Herwan FR di Bandung menerbitkan kumpulan puisi Peleburan Luka (1996), dan dialah penyair terkutuk simbolis Indonesia pertama yang saya kenal. Maksudnya, ia pasti menolak mitos penyair sebagai subjek yang menerima derita sebagai metodologi kepenyairan—siapa sih mau hidup susah sesusah-susahnya?—tapi ia sendiri mengambil langkah catur blunder: sekalian saja adu mentri biar terasa sengsara baik dirinya maupun papan puisinya.
Mungkin sampai kini penyair yang juga dosen sastra dan grandmaster jalanan ini menerima takdir jadi simbolis-Verlainean. Apa kelebihan penyair simbolis macam Herwan FR? Seperti Verlaine juga, sanggup membicarakan luka dengan persepsi yang lebih lain, bahkan berlebihan, dibandingkan lain-lain penyair di masanya. Jika kita ambil pandangan Schopenhauer mereka yang simbolis itu optimis dengan pesismismenya. Kalau pesimisme itu modal kepenyairan, mengapa tidak.
Jadi, mengapa pocong penyair senang loncat-loncat di sekitar jembatan? Karena mereka kuda-kuda hitam penyambung zaman-penyambung abad. Akhir abad ke-19, bahasa sudah sedemikian praktis karena pengaruh industri, sedangkan penyair di masa tersebut menciptakan kontras dengan bahasa masyarakatnya. Di tahun 1970-an, GM menulis puisi dengan kata-kata Mesksipun alam makin praktis, dan itu mengarah pada isu yang sama.
Apakah simbolisme waktu itu disukai? Sepertinya bikin muak saja karena berlebihan. Ketika mereka loncat ke dekadentisme, mereka dianggap menghina kehidupan. Gelisahlah mereka, begini ditolak manusia begitu ditolak juga. Matilah, dan jadi pocong penasaran. Kerjanya loncat-loncat, masih.
Jika kamu temukan pocong-pocong sensual, sok ceria, musikal sedikit jika bicara di jembatan, itu pocong baru belaka, isinya mayat penyair yang baru mati di akhir abad dua puluh, abad dengan puisi yang bermacam-macam, tetapi untuk ukuran Barat ada tali simpulnya, yakni suasana prosaik. Di Bandung beberapa calon pocong penyair cowok menyerahkan puisi-puisinya untuk setan-setan cewek, dan berlarat-laratlah dengan prosa. Mereka tidak loncat-loncat di jembatan, tapi ingin didengar sebagai tangisan lirik prosaik. Puisi dan prosa tak mereka kira sebagai suatu kawin siri.
Ada penyair “S”—sudah mati dan jadi pocong di Kota “T”—waktu hidupnya bahkan pernah menulis puisi tentang sumur yang dipersembahkan untuk istri seseorang. Gobloknya, dia sampai memuat puisinya itu di koran yang dia redakturi. Dia pikir dia telah bebas dari sakaratul maut dengan persembahan-persembahan puisi ke setan-setan syahwatnya itu, nyatanya dia mati juga, dan matinya karena gangguan kelenjar prostat. Itu akibat tidak mengerti “DILARANG NANGIS” dan malah mengumbar nafsu dalam puisi.
Akhir abad ke-20, puisi-puisi kita dibasai oleh air mata dan lendir, maka saat mereka jadi pocong mereka loncat lalu tergelincir. []