Palingan Linguistik

Pagi ini menyinar lain masa
Nanti, kau dinanti-dimengerti!
Chairil Anwar (puisi “Hukum”)

Para akademisi filsafat di Indonesia sering kali menyebut istilah “palingan linguistik”, ada pula yang menyebutnya dengan “peralihan linguistik” atau, atau mungkin boleh saja “giliran linguistik”, sangat mungkin juga “putaran linguistik”. Semua itu mengacu pada istilah “linguistic turn” dalam bahasa Inggris. Saya menyarankan agar kita lebih memilih kata “palingan” atau “alihan” karena istilah tersebut memang tentang “gerakan” filsafat yang di satu waktu berpaling atau beralih ke linguistik.

Kapan itu terjadi? Pada abad ke-18 dan awal abad ke-19, filsafat Barat sangat dipengaruhi fenomenologi Immanuel Kant, bahwa kita tidak pernah punya akses ke benda-benda dalam dirinya sendiri kecuali karena kita menyadari. Menyadari itu sendiri dapat disebabkan karena kita mengalaminya, bersentuhan dengannya, dan atau memikirkannya.

Kalau tidak salah ingat, di film Beautiful Mind (2001) saya pernah mendengar tokoh John Nash kurang lebih berkata bahwa ia memberikan nilai kepada sesuatu dan dengan demikian nilai itu bukan dari sesuatu tersebut, melainkan karena kita memiliki pengalaman khusus tentangnya sehingga sesuatu itu menjadi bernilai. Katakanlah Anda pernah mendapatkan hadiah buku tulis dari seorang sahabat, buku tulis tersebut pun amat bernilai. Di antara begitu banyak buku tulis yang Anda miliki, bahkan ada beberapa lainnya yang lebih bagus dan mahal, hanya buku tulis hadiah sahabat tersebut yang amat bernilai.

Masalah yang muncul kemudian adalah tidak mudahnya para filosof dan para ahli di bidang ini untuk memahami konsep kesadaran. Atau dalam diskusi-diskusi lain: kesadaran itu tidak dapat dengan mudah diterima begitu saja sehingga dari perkembangan tradisi fenomenologis—bahkan analitik Anglo-Amerika—kemudian berpaling/beralih ke bahasa (linguistic bukan linguistics) untuk menyelidiki apa itu pengalaman, juga persepsi dan pemahaman, yang menciptakan kesadaran tersebut karena kesadaran itu bersifat bahasawi. Itu semla dimuali di abad ke-20.

Menyadari benda-benda sudah barang tentu menyadari dengan bahasa, atau dapat dikatakan bahwa kesadaran demi kesadaran itu merupakan bentuk-bentuk bahasawi. Juga dikatakan para ahlinya bahwa tidak sekadar benda-benda dalam dirinya, tetapi hal-hal yang metafisik sekali pun kita sadari sedemikian rupa melalui bentuk-bentuk bahasa.

Jika yang fisik dan metafisik itu kita sadari dengan bahasa maka seluruh realitas kita sadari dengan bahasa pula. Pandangan tersebut berimbas pada cara pandangan antropologis yang mengaitkan struktur bahasa dan struktur budaya. Biasanya hal ini diasoiasikan pada pemikiran Benjamin Lee Whorf: cara kita mengakses struktur suatu budaya tertentu sama artinya dengan mengakses struktur bahasa budaya tersebut.

Menurut saya perkembangan palingan linguistik tersebut bukan tidak ada masalah jika mengingat lagi pikiran Roland Barthes tentang tanda yang menghilangkan statusnya sendiri sebagai tanda linguistik. Barthes menyebutnya “penanda taksehat” (unhealthy signifier). Hal ini terutama dibuat dengan sengaja dan dikembangkan oleh para sastrawan. Sebuah fiksi boleh jadi dibangun dengan struktur sangat realistis, akan tetapi kerealistisannya itu sebenarnya untuk menutupi strukturalitas strukturnya itu sendiri.

Maksudnya seperti apa? Dengan mudah kita dapat membayangkan realitas keseharian kita yang strukturnya tidak terstruktur, akan tetapi fiksi dapat membuat semua itu dalam struktur yang terstruktur. Makin terstruktur dunia sastra, makin kehilangan struktur realitas yang jadi acuannya.

Karenanya saya sendiri lebih percaya (atau mungkin lebih suka) bentuk-bentuk sastra yang apa adanya, demikian halnya, tidak dalam rangka merapikan dunia. Puisi dalam hal ini masih lebih banyak bertahan dengan struktur dunia yang tak terstruktur tersebut dan puisi juga yang dapat menambah porsi ketakterstrukturan itu sehingga memasuki “kekacauan” bahasa. Puisi akan menjadi gagal jika berorientasi pada rima–sekadar contoh bagi usaha penstrukturan.

Saya kadang-kadang berpikir sekacau apapun struktur puisi, sebatas itulah kekacauannya dan mungkin memang realitas apa pun ada batas order dan sekaligus ada batas disorder-nya. Setiap order adalah modal dasar buat disorder dan setiap disorder membangun struktur ke-disorder-annya masing-masing. Adakah realitas yang tidak terstruktur jika kekacauan sekalipun merupakan tatanan bagi kekacauan itu sendiri?

Kalau saya kembali mengingat tokoh Nash di film Beautiful Mind–tokoh ini mengacu pada Pemenang Penghargaan Abel John Forbes Nash, Jr.saya dapat belajar bahwa alam pikir yang paling berantakan sekalipun macam disebabkan gejala skizofrenia sebenarnya masih dalam struktur yang dapat dibaca penderitanya, sehingga kalau dibalik boleh jadi yang kacau dan tidak terstruktur (berkesadaran) itu adalah orang-orang normal. Menjadi matematikawan sehebat Nash  perlu memasuki mana yang terstruktur dan mana yang tidak secara bersamaan (katakanlah itu metode skizofrenia). Tidak saat ini para pemikir hebat dimengerti, mungkin suatu hari seperti kata Chairil dalam puisi “Hukum”. []

Share your love
Avatar photo
Arip Senjaya

Pemenang Literasi Terapan Lokal Perpusnas 2022, alumni Batu Ruyud Writing Camp Kaltara, dosen filsafat Untirta, anggota Komite Buku Nonteks Pusbuk Kemdikbud, sastrawan, editor. Alumni UPI dan UGM.

Articles: 28

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply